
TIMESINDONESIA, MALANG – Sawit terbukti berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2017, total nilai ekspor yang dihasilkan mencapai Rp 239 triliun mengalahkan sektor minyak gas. Akan tetapi, dampak buruk terhadap lingkungan dan persoalan lain yang muncul juga tidak bisa diabaikan faktanya.
Sepertinya, pasangan kepala daerah terpilih Kabupaten Malang, HM Sanusi-Didik Gatot, tidak main-main dengan janji yang mereka sampaikan melalui salah satu kampanyenya terkait keinginan mereka membangun pabrik sawit di wilayah Malang selatan. Sebagai incumbent, program yang mereka tawarkan terkait program ini sudah cukup jelas. Proyek ini rencananya dilakukan pada lahan seluas 60 ribu hektar (ha) yang berada di tiga kecamatan berbeda yakni Kecamatan Kalipare, Donomulyo, dan Pagak. Pasangan tersebut mengklaim bahwa proyek ini akan berpotensi meningkatkan perekonomian dengan asumsi bahwa dalam setiap 1 ha menghasilkan 50 ton dengan pendapatan yang dihasilkan bisa mencapai 100 juta/ha.
Advertisement
Angka ini, bisa menjadi sangat realistis mengingat bahwa kontribusi komoditas sawit cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi
Dalam penjelasannya yang dikutip oleh beberapa media, Ia mengatakan bahwa proyek ini sudah dikoordinasikan dengan secara langsung dengan Wakil Gubernur dan Menko Perekonomian. Tidak hanya itu, ia telah mengklaim bahwa sudah banyak investor yang akan terlibat dalam proyek pembangunan pabrik Sawit mengingat bahwa wilayah Malang Selatan menjadi bagian dari pembangunan Jalur Lintas Selatan (JLS).
Dan sepertinya, proyek ini akan dipaksa berjalan mengingat saat ini periode kedua. Bagaimanapun proyek ini juga merupakan janji pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah Malang selatan. Dan selayaknya perlu mendapatkan dukukan seluruh pihak.
Meskipun bahwa proyek ini bertujuan untuk menyejahterahkan masyarakat, perlu sebaliknya pemerintah menimbang kembali proyek tersebut. Mengingat dalam berbagai kasus di Indonesia, ekspansi perkebunan sawit menjadi malapetaka terutama bagi masyarakat lokal.
Janji Kesejahteraan dan Ancaman Degradasi Lingkungan
Di balik narasi besar bahwa sawit berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, perlu secara kritis kita mengajukan sebuah pertanyaan besar. Apakah pertumbuhan ekonomi yang didukung proyek perkebunan sawit secara langsung berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat terdampak?.
Pertanyaan ini secara jelas bisa terjawab dari beberapa hasil studi terkait korelasi industri sawit dengan kesejahteraan masyarakat. Pertama, hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Madani (2020) di berbagai daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia seperti Riau, Kaltim, dan Jambil.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa meskipun sektor ini menyumbang devisa yang cukup besar bagi negara, akan tetapi masyarakat lokal terutama petani belum dapat meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat. Dalam skala lokal, keuntungan dari bisnis sawit ini hanya dinikmati oleh segelitnir orang seperti pengusaha dan petani dengan luas lahan diatas 8 ha. Bahkan dalam beberapa kasus yang terjadi, banyak perusahaan yang tidak membayarkan THR kepada buruhnya (FWI, 2019). Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Institute for Economic, Social, and Cultural Rights (2019) di 12 desa dengan komoditas sawit di tiga provinsi berbeda yakni Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penduduk tersebut memiliki peningkatan pendapatan yang tinggi. Akan tetapi, tingginya pendapatan tersebut disertai dengan rendahnya akses mereka terhadap air bersih dan kesehatan.
Tidak hanya itu, hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti Elsam (2017) di wilayah Nabire, Papua. Penelitian menunjukan bahwa selain rendahnya kesejahteraan masyarakat, kondisi tersebut diperburuk terhadap lingkungan seperti susahnya mendapatkan air bersih dan wilayah tersebut kerap terjadi banjir akibat dari deforestisasi.
Memperpanjang Deretan Konflik Agraria dan Pelanggaran HAM
Saat ini, wilayah Malang selatan menjadi perhatian khusus. Selain karena potensi alam dan pariwisatanya, wilayah ini kerapa menjadi perhatian publik terutama bagi para peneliti ataupun aktivis sosial akibat persoalan konflik agrarian yang tak kunjung usai. Setidaknya, dari beberapa sumber yang dihimpun oleh penulis, terdapap beberapa titik letupan konflik yang tersebar di berbagai kecamatan seperti Kecamatan Tirtoyudho, Kecamatan Dampit, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, dan Kecamatan Ampelgading. Konflik ini melibatkan aktor negara yakni pihak perkebunan dan militer. Jika diakumulasikan, luas lahan konflik agraria yang di Malang saat ini hampir mencapai lebih dari 5000 ha. Dan sampai saat ini, tidak ada titik temu penyelesaian konflik tersebut.
Melihat fakta demikian, rencana proyek industri sawit tentu saja berpotensi menambah deretan konflik yang ada di wilayah Malang selatan.
Anggapan ini tentu saja tidak berlebihan melainkan didukung fakta bahwa sektor perkebunan menyumbang konflik agraria terbesar di Indonesia terutama perkebunan Sawit (KPA, 2020). Sektor ini menjadi penyebab jumlah konflik tertinggi karena ekspansi perkebunan sawit memerlukan lahan yang luas sehingga dalam beberapa kasus banyak mencaplok tanah-tanah adat atau masyarakat lokal.
Sejalan dengan ini, persoalan baru yang menyertai konflik di sektor perkebunan sawit ialah pelanggaran HAM. Beberapa pelanggaran HAM yang kerap kali dilakukan oleh korporasi sawit seperti kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Beberapa fakta ini masih sebagian kecil dari studi-studi yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti yang memiliki fokus pada persoalan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia. Hal ini seharusnya bisa menjadi dasar atau alarm peringatan bagi kepala daerah yang berambisi memajukan pembangunan daerahnya melalui industri sawit. Kecuali memang jika proyek ambisius ini adalah bagian dari Ijon Politik yang kerap terjadi ketika Pilkada di Indonesia.
***
*)Oleh: Abdul Kodir, Staff Pengajar di Jurusan Sosiologi dan Tim Peneliti di Pusat Studi Bencana, Mitigasi, dan Lingkungan Universitas Negeri Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |