Kopi TIMES

Singkong dan Ketahanan Pangan

Selasa, 16 Maret 2021 - 18:35 | 73.09k
Muthiah Raihana S.TP, M.P (Alumni UB)
Muthiah Raihana S.TP, M.P (Alumni UB)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Ketahanan pangan menjadi menjadi isu strategis bagi kemandirian bangsa. Pasalnya, pencapaian ketahanan pangan bisa dilakukan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity), kemandirian pangan (food resilience), serta keamanan pangan (food safety).

Berbicara tentang ketahanan pangan, menurut UU No. 18/2012 menyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah "kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan" (bulog.co.id). 

Advertisement

Ketahanan pangan bisa dicapai jika selaras dengan arah kebijakan dan sistem pangan sebagai bentuk kedaulatan sehingga dapat menjamin hak atas pangan bagi  rakyat sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Melihat kondisi hari ini, Ketahanan pangan belum mampu diwujudkan negeri. Apalagi ancaman krisis pangan dimasa mendatang terus menghantui. Sebagaimana prediksi FAO bahwa akan ada 27 negara terancam krisis pangan saat pandemi sehingga semua negara harus bersiap, tak terkecuali Indonesia. Apalagi ada sekitar 22 juta warga Indonesia yang mengalami kelaparan kronis, sebagaimana laporan ADB (news.detik.com).

Food estate atau lumbung pangan cadangan nasional menjadi amanat negara pada 23 september 2020 dalam menjawab tantangan global dan mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah telah menyiapkan lahan seluas 165.000 hektar di Kalimantan tengah menjadi lumbung pangan baru, dengan mengkonversi lahan gambut menjadi sawah.

Terlepas dari pro kontra pengadaan proyek ini, dan fakta yang menyatakan bahwa ambisi food estate malah merugikan petani, nyatanya langkah ini tetap serius dijalani.

Kabar terbaru menyatakan bahwa, singkong telah ditetapkan sebagai prioritas proyek food estate. Dilansir dari Republika (14/03/2021), sekitar 30 ribu hektar lahan akan disulap menjadi perkebunan singkong pada 2021. Potensi singkong sebagai bahan baku diversifikasi pangan memang menjanjikan, karena dapat diolah jadi tepung tapioka dan tepung mokaf sebagai bahan baku roti, nasi sampai mie.

Meski begitu, banyak kritik terkait urgensitas, pilihan tempat, pilihan komoditas dan tidak adanya keselarasan dengan kebijakan lain terkait pertanian dan impor.

Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Nur Hidayati menilai penunjukan Prabowo bersifat politis, dan masih belum jelas latar belakang pemilihan singkong. Niko, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat juga khawatir, pembukaan lahan baru ini menimbulkan konflik baru dan ancaman lingkungan.

Benarkan proyek estate dan pemilihan singkong benar-benar dapat mewujudkan ketahanan pangan?, atau ada persoalan lain yang harus dibenahi?.

Menjadi pikiran pribadi. Bila pangan pokok Indonesia adalah padi, mengapa lumbung pangan tidak diprioritaskan pada padi?. Apalagi beras memiliki nilai strategis, sebagaimana yang dilansir pada bulog.co.id bahwa Industri perberasan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi (dalam hal penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan, sebagai wage good), lingkungan (menjaga tata guna air dan kebersihan udara) dan sosial politik (sebagai perekat bangsa, mewujudkan ketertiban dan keamanan).

Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin.  

Apabila yang terkendala adalah kurangnya lahan yang sesuai karena penguasaan oleh swasta maka harus ada kebijakan tegas menghentikan alih fungsi lahan agar lahan yang cocok bisa ditanami padi. Juga harus ada kebijakan menyokong pertanian dan menghentikan impor. Karena faktanya, lahan seluas 4000 hektar di industri terpadu Batang Jateng disiapkan untuk investor asing. 5 dari 7 perusahaan adalah milik China.

Bahkan negara memberi diskon harga tanah dengan murah. Ketergantungan impor pun masih tinggi. Bahkan indonesia membuka kembali impor beras akibat lonjakan permintaan dan menipisnya pasokan akibat corona. Mirisnya, justru RI juga sukses mengekspor 20 ton beras ke Singapura di tengah corona. Ditambah lagi adanya kebijakan omnibus law yang dinilai pro pengusaha. Jangan sampai proyek berdana besar food estate ini rentan didomplengi kepentingan segelintir investor pro kapital tanpa bisa mencapai target kedaulatan pangan.

***

*)Oleh: Muthiah Raihana S.TP, M.P (Alumni UB)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES