Kopi TIMES

Mengonsumi Mie Instant Cukup Sekali Per Hari

Senin, 22 Maret 2021 - 13:33 | 117.95k
Oki Krisbianto, S.TP., M.Sc.Dosen Teknologi Pangan Universitas Ciputra Surabaya.
Oki Krisbianto, S.TP., M.Sc.Dosen Teknologi Pangan Universitas Ciputra Surabaya.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Banyak isu kesehatan terkait mie instan. Bukan hanya masyarakat, dokter dan ahli gizi pun ikut serta mengeluarkan opini seberapa banyak mie instan masih boleh dikonsumsi oleh kita tiap bulannya.

Ada yang berpendapat bahwa mengonsumsi mie instan sebaiknya hanya satu atau dua kali per bulan. Ada juga yang berpendapat sekali per minggu, atau dua hingga empat kali per minggu.

Advertisement

Sebagai seorang teknolog pangan, bolehkah saya ikut berpendapat bahwa kita boleh mengonsumsi mie instan hingga satu kali per hari?

Apa saja alasan yang diberikan untuk menjustify bahwa mie instan itu tidak sehat atau mungkin malah berbahaya bagi kesehatan? Saya sudah menelurusi beberapa artikel yang saya peroleh melalui mesin pencari dan menemukan beberapa argumen, antara lain: terlalu tinggi kalori dan karbohidrat, mengandung pengawet, mengandung penyedap rasa, menghambat penyerapan nutrisi. Artikel-artikel tersebut juga menyebut masalah tingkat kandungan garam, mengandung lilin, dan miskin nutrisi. Ada juga yang beragumen mie instan dikemas dengan sterofoam yang berbahaya sehingga bisa menyebabkan keguguran, kanker, usus bocor, lebih berbahaya bagi kesehatan wanita dibandingkan kesehatan pria, dan masih banyak lagi.

Saya pun menelurusi penjelasan yang berusaha disampaikan pada masing-masing artikel, sebagian ada yang hoaks dan sebagian tidak didukung referensi ilmiah yang jelas. Bahkan, tidak jarang juga artikel yang saling mengutip satu sama lain. Sangat disayangkan karena tidak sedikit website dari artikel-artikel tersebut yang memiliki nama besar hingga cenderung dipercayai oleh masyarakat, bahkan ada juga website yang menggunakan nama ‘dokter’.

Saya akhirnya sampai pada kesimpulan awal saya bahwa mie instan menjadi kambing hitam beberapa golongan untuk membuat kehebohan pada masyarakat sehingga bisa menaikkan viewer, meskipun hal yang disampaikan adalah hoaks. Sebagian kelompok yang lain masih lebih ramah, yaitu mengeluarkan opini yang sangat (atau terlalu) berhati-hati terkait mie instan karena mereka bergerak di bidang kesehatan.

Secara garis besar, saya mengelompokkan isu-isu terkait mie instan menjadi dua topik, yaitu mie instan sebagai junk food dan mie instan mengandung bahan kimia berbahaya.

1. Mie Instan adalah Junk Food?

Junk Food seringkali dikaitkan dengan instant food sehingga kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian, padahal artinya sangat jauh berbeda. Istilah junk food lebih mengarah pada makanan yang tidak memberikan nutrisi seimbang (tinggi lemak dan kalori tapi miskin zat nutrisi yang lain), berbeda dari makanan instan atau makanan siap saji yang bisa disajikan dengan cepat tanpa perlu teknik memasak yang lama dan repot.

Bagaimana dengan mie instan? Beberapa artikel menyebutkan bahwa mie instan miskin zat gizi, menghambat penyerapan nutrisi pada anak, hingga susah dicerna. Saya juga berusaha menelusuri, apa kira-kira penyebab masyarakat berpendapat bahwa mie instan adalah junk food?

Sepertinya ada dua alasan, yaitu pendapat ahli dan komposisi nilai gizi yang terdapat pada label kemasan mie instan. Di Indonesia, para ahli yang bergerak di bidang kesehatan dan gizi cenderung memberikan pendapat yang simpang siur terkait keamanan dan kesehatan mie instan. Bukan hanya itu, di luar negeri pun sebenarnya juga sama, yaitu bahwa mie instan dianggap sebagai junk food. Hal ini sebenarnya berkaitan dengan komposisi nilai gizi dari mie instan yang menjadi alasan kedua saya.

Saya berusaha mengumpulkan data nilai gizi enam produk mie instan dari berbagai merk yang berasal dari Indonesia.  Saya mengumpulkan data nilai gizi dari label mie instan yang bukan termasuk mie instan premium (tidak menyertakan daging dalam kemasannya) serta memiliki takaran saji sekitar 70 gram, yaitu berupa jumlah maupun persen Angka Kecukupan Gizi (AKG) berdasarkan orang yang memiliki kebutuhan kalori harian sebesar 2150 kkal.

Dari keenam merk mie intan yang saya kumpulkan, kalori yang dikandung adalah sekitar 280-360 kkal atau memenuhi sekitar 13-17% AKG. Kabohidrat sebesar 43-50 gram atau memenuhi sekitar 13-15% AKG. Protein sebesar 7-8 gram atau memenuhi sekitar 11-13% AKG. Lemak total sebesar 5-17 gram atau memenuhi sekitar 8-27% AKG, sementara lemak jenuhnya 2,5-8 gram atau memenuhi sekitar 12-42% AKG.

Kandungan kolesterol keenam merk mie instan adalah sebesar 0 mg, gula sebesar 1-3 gram, natrium sebesar 1030-1330 mg (memenuhi sekitar 68-89% AKG), dan serat pangan sebesar 2-4 gram (memenuhi sekitar 6-13% AKG).

Berdasarkan data di atas, benarkah mie instan bisa dikategorikan sebagai junk food? Kita mungkin terkejut melihat besar kalori 70 gram mie instan kering lebih tinggi daripada 100 gram nasi basah yaitu 130 kkal, atau melihat kadar protein mie instan yang teramat jauh lebih rendah daripada karbohidratnya. Namun, kita seringkali tidak menyadari bahwa memang kebutuhan nutrisi manusia hanya segitu.

Maksud saya, jika kita melihat AKG, bukan melihat jumlah, ternyata antara kalori, karbohidrat, dan protein yang terkandung dalam mie instan ternyata kurang lebih setara, yaitu memenuhi sekitar 13% kebutuhan kalori, karbohidrat, dan protein harian seseorang yang memiliki kebutuhan kalori harian sebesar 2150 kkal. Jika kebutuhan kalori harian kita adalah 2150 kkal, kita masih membutuhkan lebih dari 80% kalori, karbohidrat, dan protein untuk memenuhi kebutuhan harian kita.

Sekali lagi pertanyaan saya, bisakah mie instan disebut sebagai junk food berdasarkan kandungan kalori, karbohidrat, dan proteinnya? Benarkah mie instan pantas disalahkan sebagai penyebab diabetes, obesitas, dan penyakit sejenisnya yang lain? Tentunya, jika ada seseorang makan mie instan sebagai lauk pelengkap nasi, bukan mie instannya yang salah. Mie instan seharusnya dikonsumsi sebagai pengganti nasi, bukan sebagai pengganti lauk.

Bagaimana dengan kandungan lemak dan nutrisi yang lain? Rata-rata lemak total dari mie instan tetap lebih kecil dari sepertiga kebutuhan lemak harian kita, meskipun kadar lemak jenuhnya cukup tinggi mendekati 50 persen. Akan terlalu panjang jika kita membahas mengenai dilema lemak jenuh, karena sumber minyak makan kita yang paling murah dan bisa diproduksi secara melimpah di seuruh dunia adalah minyak kelapa sawit yang tergolong ke dalam minyak jenuh.

Intinya, lemak jenuh bukanlah lemak jahat, tetapi lemak tidak jenuh memang lebih sehat asalkan tidak digunakan untuk memasak pada suhu tinggi. Sebaliknya, lemak tidak jenuh sendiri sangat mudah teroksidasi menjadi radikal bebas jika terkena suhu tinggi. Sebagai tambahan, mie instan juga mengandung berbagai jenis vitamin dan mineral seperti Vitamin A, Vitamin E, Vitamin B kompleks, dan zat besi. Saya tidak mencantumkan data terkait vitamin dan mineral ini pada data di atas karena terlalu bervariasi.

Poin terakhir yang pernah booming ini adalah bahwa mie instan (atau lebih tepatnya ramen instan di luar negeri) ternyata masih bisa bertahan tidak hancur setelah berjam-jam berada di dalam usus manusia. Dunia, dan Indonesia tentunya, cukup heboh terhadap penemuan ini, yang membuat saya jadi bertanya-tanya, “Sebenarnya masyarakat ini takut mie instan kelebihan kalori, kekurangan kalori, atau hanya mau mencari-cari berita negatif saja?”

Jika memang benar ramen instan susah dicerna oleh manusia (bukan mie instan, karena sejauh pengetahuan saya belum ada yang meneliti ketercernaan mie instan sebagaimana yang dilakukan pada ramen instan), seharusnya tidak ada yang perlu khawatir mie instan kelebihan kalori, karbohidrat, dan lemak, karena tubuh kita pasti akan kesulitan juga mencerna ketiganya.

Namun, berita ini cukup heboh sampai muncul berbagai anggapan bahwa mie instan bisa menyebabkan sembelit hingga usus bocor. Padahal, Dr. Branden Kuo sendiri berkata bahwa percobaannya tersebut masih belum bisa digunakan untuk menyimpulkan apa-apa, masih belum diketahui dampak negatif atau positifnya, dan juga berkata pada suatu wawancara bahwa ia sendiri tidak berhenti makan ramen instan setelah mengetahui hal tersebut (Unruh, 2012).

Kesehatan usus kita tidak tergantung dari mie instan melainkan pada makanan apa saja yang kita konsumsi pada hari itu. Kita tetap bisa mengalami sembelit jika kita kurang mengonsumsi serat, meskipun hari itu kita tidak makan mie instan sama sekali. Perlu diperhatikan pula bahwa mie instan bukan miskin serat karena kandungan serat pangan pada mie instan bisa memenuhi hingga 6-13% AKG serat pangan harian kita.

2. Mie Instan penuh Bahan Kimia?

Semua benda di alam semesta ini, baik yang alami maupun buatan manusia, tersusun atas senyawa kimia. Jadi, tidak ada ada bahan apapun, termasuk bagian tubuh kita, yang tidak tersusun atas senyawa kimia. Akan lebih baik jika kita mengatakan bahwa mie instan banyak mengandung senyawa kimia sintetik, jawabannya memang benar.

Sebelumnya, saya akan menyangkal terlebih dahulu hoaks berikut: bahwa mie instan mengandung lilin. Kenampakan mengilap di permukaan mie instan bukanlah lilin, melainkan karena mie instan dikeringkan dengan cara digoreng sehingga permukaannya menjadi mengilap.

Selain isu mengenai lilin, mie instan juga dianggap berbahaya karena mengandung MSG dan pengawet, sehingga bisa menyebabkan kanker, keguguran, batu ginjal, jerawat, mengganggu jadwal menstruasi, kerusakan hati, hingga kerusakan jaringan otak.

Ada pula yang mengangkat topik gluten pada mie instan sebagai penyebab penyakit. Perlu diketahui bahwa MSG tidak berbahaya dan tidak akan menyebabkan penyakit sebagaimana yang diisukan selama ini, tidak mempengaruhi kinerja otak, dan tidak menyebabkan kebodohan. Demikian pula dengan gluten yang juga dimusuhi selama beberapa tahun terakhir ini. Saya rasa ada banyak artikel yang sudah menyangkal isu negatif mengenai MSG dan gluten sehingga saya tidak akan mengulangnya lagi di sini.

Saya sudah membaca pula label komposisi pada kemasan mie instan dan menemukan bahwa komposisi mie pada mie instan adalah tepung terigu dan tepung lain, minyak nabati, garam, pengatur keasaman, penstabil fosfat, antioksidan TBHQ, pewarna kuning Tatrazine Cl 19140. Sementara bumbunya mengandung garam, gula, perisa sintetik ayam, MSG, inosinat, gualinat, antioksidan (tokoferol dan askorbil pamitat), pewarna caramel, serta berbagai bumbu dan vitamin.

Akan cukup banyak jika dibahas satu per satu, tetapi saya berani menjamin bahwa semua bahan kimia yang sintetik maupun alami pada mie instan berada pada batas yang aman untuk dikonsumsi per hari. Semua sudah diatur oleh BPOM melalui PerBPOM Nomor 11 tahun 2019 mengenai Bahan Tambahan Pangan.

Peraturan tersebut mewajibkan bahwa setiap label tidak boleh menyembunyikan semua BTP yang ditambahkan, BTP tersebut sudah terbukti tidak membahayakan kesehatan, serta jumlahnya diatur dalam PerBPOM yang bersangkutan. Konsekuensi bagi industri makanan yang melanggar sudah ditetapkan dalam PP RI Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 59 yaitu sanksinya berupa denda, pemberhentian produksi, penarikan produk dari pasar, ganti rugi, hingga pencabutan izin edar.

Ada satu argumen yang sering saya dengar terkait kadar bahan tambahan pangan, yaitu bahwa jika kita makan satu produk mengandung misalnya saja TBHQ, mungkin memang tidak berbahaya. Namun, dalam sehari ada berapa banyak produk mengandung TBHQ yang kita makan? Saya bisa menjawabnya dengan dua argumen, yaitu bahwa industri pangan juga tidak berniat memberikan bahan tambahan pangan dalam jumlah banyak hingga berlebih karena akan meningkatkan biaya produksi mereka.

Kedua, meskipun kita mengonsumsi makanan mengandung TBHQ dalam jumlah banyak dalam sehari, setidaknya butuh sekitar lebih dari 300 porsi makanan yang kita makan sampai efek kesehatannya bisa muncul pada tubuh kita, dan tentunya hal tersebut tidak mungkin terjadi. Dalam menentukan ADI atau maksimal asupan harian yang diperbolehkan, kita menurunkan dosisnya menjadi seperseratus dari NOAEL atau dosis maksimum yang masih tidak muncul efek buruknya pada kesehatan, atau LOAEL atau dosis minimal yang mulai tampak efek buruk pada kesehatan.

Sebagai contohnya ADI dari TBHQ adalah 0,7 mg/ kg berat badan per hari; NOAEL adalah 72 mg/ kg berat badan per hari; sementara LOAEL ADI adalah 220 mg/ kg berat badan per hari (EFSA, 2004). Pada artikel tersebut, panel EFSA juga menegaskan bahwa TBHQ tidak bersifat karsinogen atau sebagai penyebab kanker.

Dari kedua topik yang saya sebutkan di atas, saya menarik kesimpulan bahwa mie instan masih aman untuk dikonsumsi sebanyak satu kali per hari, dan mungkin bisa lebih jika kita mengurangi bumbunya. Terdapat dua hal yang menjadi konsen saya, yang pertama dan terutama adalah kadar garam pada mie instan, sementara yang kedua adalah kadar lemak jenuhnya yang sebenarnya bisa dibaikan jika kita tidak malas bergerak. Permenkes RI Nomor 30 Tahun 2013 menyebutkan bahwa kadar natrium yang dianjurkan adalah maksimal 2000 mg per hari atau sekitar 5 gram garam per hari.

Sebenarnya kita sebagai masyarakat bisa mengubah hal tersebut dengan meningkatkan perhatian pada kesehatan. Industri pangan tidak mengatur masyarakat, justru sebaliknya kebiasaan masyarakatlah yang mendikte industri pangan.

Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu pernah keluar beberapa minuman kemasan yang mengeluarkan varian rendah gula, tetapi sepertinya kurang laku sehingga tidak banyak lagi diproduksi. Memang tinggal di iklim tropis yang panas membuat kita secara naluriah menyukai makanan yang asin untuk menyuplai kembali garam yang keluar melalui keringat. Namun, perkembangan zaman yang tidak lagi menuntut kita untuk selalu kepanasan saat bekerja atau di rumah tentunya juga perlu dipertimbangkan.

Saat kita sebagai konsumen memiliki kesadaran untuk mengurangi garam, saya yakin industri pangan pasti akan menuruti kemauan kita. Bukan hanya mie instan, kita pun perlu untuk mengurangi garam pada masakan yang kita masak di rumah atau meminta chef pada restoran yang kita kunjungi untuk mengurangi garam pada masakan yang kita pesan.

Referensi:

EFSA (European Food Safety Authority). (2004). Opinion of the Scientific Panel on Food Additives, Flavourings, Processing Aids and Materials in Contact with Food on a request from the Commission related to tertiary-Butylhydroquinone (TBHQ). The EFSA Journal 84, 1-50.

PerBPOM Nomor 11 tahun 2019 mengenai Bahan Tambahan Pangan. https://standarpangan.pom.go.id/dokumen/peraturan/2019/PerBPOM_No_11_Tahun_2019_tentang_BTP.pdf

Permenkes RI Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan Untuk Pangan Olahan Dan Pangan Siap Saji. http://www.p2ptm.kemkes.go.id/dokumen-p2ptm/permenkes-no-30-th-2013-gula-garam-lemak

PP RI Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan. http://bkp.pertanian.go.id/storage/app/media/Bahan%202020/PP%20Nomor%2086%20Tahun%202019%20plus%20lampiran.pdf

Unruh, H. (2012, 18 Mei). Inside stomach: Ramen Noodle digestion goes viral. WCVB5. https://www.wcvb.com/article/inside-stomach-ramen-noodle-digestion-goes-viral-1/8170542

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES