
TIMESINDONESIA, BANYUMAS – Baru-baru ini, kembali terjadi aksi bom bunuh diri yaitu pada Minggu, 28 Maret 2021 di depan halaman gereja Katedral Makassar yang menyebabkan sekitar 20 orang luka-luka serta tewasnya dua orang yang diduga pelaku.
Dan pada Minggu malam, dilansir dari CNN Indonesia (28/03/21), diketahui bahwa pelaku aksi bom bunuh diri tersebut merupakan seorang muslim bagian dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Informasi tersebut tidaklah mengejutkan karena ini bukanlah pertama kalinya terorisme dikaitkan dengan Islam. Dan tiga hari setelahnya, yaitu pada Rabu 31 Maret 2021, lagi-lagi seorang muslim yang berafiliasi dengan jaringan terorisme, melakukan aksi teror dengan menyerang Mabes Polri.
Advertisement
Jika kita tengok ke belakang sebenarnya aksi terorisme ini dimulai dari peristiwa penabrakan gedung WTC pada 11 September 2001. Pasca tragedi tersebut, serangkaian aksi bom bunuh diri pun terjadi di dunia termasuk Indonesia. Bom bunuh diri pertama di Indonesia yaitu bom Bali pada tahun 2002 dan kemudian yang terbaru terjadi di Makassar ini.
Dari semua serangkaian aksi bom bunuh diri tersebut, semua pelakunya adalah muslim yang terlibat dengan jaringan terorisme. Pada kasus di Makassar sekaligus kasus penyerangan Mabes Polri ini pun demikian, identitas pelaku yang seorang muslim berhasil terungkap dengan sejumlah bukti-bukti seperti foto-foto beberapa saat sebelum kejadian dan ada pula bukti surat wasiat bertanda tangan milik pelaku. Semua bukti-bukti tersebut berhasil didapatkan pada hari yang sama saat kejadian. Cepatnya penanganan kasus-kasus terorisme ini nampaknya perlu dicontoh dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Melihat semua pelaku yang seolah kompak meninggalkan bukti bahwa mereka adalah seorang muslim, sangatlah wajar mencurigai peristiwa-peristiwa semacam ini justru dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang berniat mendiskreditkan Islam. Karena jelas sekali dalam ajaran Islam, aksi terorisme tentu dilarang. Umat Islam sama sekali tidak diajarkan untuk melukai diri sendiri ataupun orang lain. Maka jika aksi teror ini disebut jihad, itu adalah hal yang keliru dan pastilah dilakukan oleh orang yang tidak paham Islam. Maka hendaknya jangan mengaitkan aksi teror tersebut dengan ajaran Islam terutama dakwah dan jihad. Rasulullah SAW pun sudah mencontohkan bagaimana berdakwah tidak boleh menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi sampai membunuh umat agama lain.
Para musuh Islam tentu tak akan berhenti menyebarkan Islamopobhia, tak terkecuali di negeri muslim sendiri. Islamopobhia inilah yang membuat umat Islam buta akan akar masalah yang sebenarnya. Mereka dicekoki paham bahwa agamanya lah yang selama ini menjadi ancaman negara, seperti tuduhan keji yang kerap kali dialamatkan pada ajaran Islam terutama dakwah dan jihad fi sabilillah, sampai-sampai ajaran tentang jihad dan khilafah dihilangkan dari buku-buku sekolah. Ulama-ulama yang gemar mendakwahkan Islam pun banyak dikriminalkan dengan tuduhan menyebarkan paham radikalisme yang padahal definisi radikalisme yang dimaksudkan pun masih rancu dan belum jelas. Kemudian simbol-simbol Islam seperti bendera tauhid seringkali dicurigai.
Demikianlah bukti-bukti bahwa Islamophobia sudah akut di negeri ini. Padahal ancaman negara yang sebenarnya adalah penerapan sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan yang menjauhkan syariat Islam dari manusia. Sekulerisme inilah yang membuat seorang muslim hari ini tak paham ajarannya sendiri, yang membuat muslim menganggap agamanya berbahaya.
Jangan sampai umat Islam alergi terhadap ajaran Islam itu sendiri. Karena Islam merupakan agama yang sempurna, dimana didalamnya terdapat berbagai macam aturan yang dapat memecahkan segala macam problematika kehidupan manusia. Sebagai muslim, kita harus menguktuk keras atas aksi teror ini dan juga meluruskan opini di tengah umat bahwa aksi teror ini sama sekali bukanlah ajaran Islam.
***
*)Oleh: Wahyu Dyah Safitri; Mahasiswi FIKOM UNPAD.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |