Managing The Nation 'Kepemimpinan dan Partai Politik'

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Saat ini, perjalanan demokratisasi di Indonesia telah memasuki usia 23 tahun. Dalam perjalanan panjang itu, telah banyak perubahan yang dicapai. Di antaranya sistem politik menjadi makin demokratis, meskipun masih adanya kelemahan-kelemahan. Transisi demokrasi di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1998 dimaknai sebagai perubahan sistem pemerintahan yang terbuka, partisipatif dan akomodatif.
Terbuka dalam arti bahwa setiap orang dan setiap pihak berhak untuk ikut serta dalam setiap pelaksanaan mekanisme politik dan pemerintahan. Partisipatif berarti bahwa praktik pemerintahan dan politik menuntut keikutsertaan masyarakat demi tegaknya legitimasi dan akuntabilitas.
Advertisement
Sementara akomodatif mempunyai arti bahwa demokrasi menghendaki adanya rekognisi dan akomodasi dari semua warga maupun kelompok warga negara. Dengan demikian tidak ada marginalisasi kelompok atas nama keputusan mayoritas.
Transisi demokrasi sesungguhnya merupakan saat-saat yang cukup kritis termasuk dalam konteks Indonesia. Hal ini karena transisi demokrasi merupakan saat-saat rentan dimana kerusuhan sosial politik akan menjadi bagian yang mengancam komitmen berbangsa dan bernegara.
Kerawanan dalam sistem pemerintahan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ini berlanjut pada saat terwujudnya konsolidasi demokrasi yang mapan dalam negara-bangsa tersebut. Pada saat demokrasi telah terkonsolidasi, mekanisme politik dan pemerintahan beserta konflik-konflik yang terjadi sudah terlembaga dengan baik.
Pada saat konsolidasi demokrasi, komitmen kebangsaan dan bernegara juga lebih tertata sehingga potensi disintegrasi bisa ditekan. Hal ini terjadi karena negara beserta alat-alat kelengkapannya sudah mampu mewadahi setiap aspirasi warga negara dan secara adil menjadi penengah bagi setiap konflik antar warga negara maupun antar kelompok.
Untuk menuju pada demokrasi yang mapan tersebut, kepemimpinan politik menjadi kebutuhan utama. Kepemimpinan politik yang ideal adalah kepemimpinan yang mampu mengarahkan setiap sumberdaya manusia dan sumberdaya institusional untuk mewujudkan cita-cita demokrasi maupun cita-cita berbangsa dan bernegara. Cita-cita demokrasi adalah mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan sehingga terwujud akuntabilitas pemerintahan. Sedangkan tujuan berbangsa dan bernegara adalah mewujudkan kesejahteraan dankemakmuran bagi setiap warga negara dan memajukan negara tersebut.
Untuk itu demokrasi seharusnya memunculkan sosok-sosok pemimpin yang mempunyai karakter kepemimpinan tersebut. Karakter yang dimaksud adalah karakter yang tidak saja mempunyai kemampuan manajerial politik tetapi juga kemampuan manajerial administrasi, birokrasi dan pembangunan. Artinya, pemimpin yang seharusnya terbentuk dalam demokrasi adalah pemimpin yang bukan saja mampu mengkonsolidasikan sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai kekuasaan, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan bangsa dan negara untuk mewujudkan politik kesejahteraan.
Kepemimpinan dan partai politik
Dalam demokrasi, upaya untuk mewujudkan model kepemimpinan yang ideal tersebut dilakukan dengan mekanisme yang juga demokratis. Pihak utama yang mengemban tugas itu adalah partai politik. Mengapa? Karena sejak semula partai politik diasumsikan sebagai saluran-saluran legal dari kehendak rakyat dalam setiap mekanisme demokrasi. Menurut John Locke, melalui partai politiklah demokrasi yang berupaya mewujudkan kedaulatan rakyat diwujudkan. Dalam teori modern, inilah yang disebut sebagai pilar demokrasi yang utama.
Secara ideal, partai politik bukan hanya harus mampu menjalankan fungsi komunikasi politik dari warga negara pada pembuatan kebijakan, tetapi juga harus mampu mewujudkan kadersasi kepemimpinan nasional. Untuk itu memang dibutuhkan partai-partai politik yang sehat didukung oleh sistem pemilu dan sistem kepartaian yang sehat pula.
Partai politik yang sehat adalah partai politik yang secara internal mampu mewujudkan nilai-nilai demokratis dalam setiap pembuatan kebijakan kepartaian. Partai politik yang sehat adalah miniature demokrasi itu sendiri. Dalam partai politik yang sehat ini semua anggota mempunyai kesempatan yang sama untuk muncul sebagai pemimpin bagi anggota yang lain. Proses seleksi dilakukan secara alamiah berdasarkan kapabilitas dan integritas yang dipunyai, bukan disebabkan oleh faktor keturunan atau semata-mata karena kekuatan ekonomi.
Tentu saja, partai politik yang sehat tidak terpisah dari sistem kepartaian dan sistem pemilu yang sehat. Sistem kepartaian dan sistem pemilu yang sehat adalah sistem kepartaian yang mampu menyeleksi partai politik secara alamiah menurut kepasitas dari partai politik tersebut dalam mewujudkan suara rakyat. Kegagalan sistem kepartaian dan sistem pemilu untuk menyeleksi partai politik yang terus bermunculan akan mengakibatkan tidak berjalannya seleksi alamiah dalam partai politik.
Kekecewaan-kekecewaan yang dialami oleh anggota yang tersisih dalam proses seleksi internal akan dengan mudah membentuk partai politik baru. Dalam kasus ini, konsep pelembagaan partai politik tidak akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pada akhirnya, bukan hanya partai politik yang dirugikan tetapi demokrasi itu sendiri akan dirugikan.
Pelembagaan partai yang gagal akan menyebabkan partai politik tidak mampu menjadi pilar dari demokrasi tapi justru menjadi penghambat bagi demokrasi.
Proses seleksi alamiah yang baik pada sistem kepartaian dan sistem pemilu akan berimbas pada proses seleksi alamiah dalam internal partai. Disinilah pemimpin-pemimpin yang memang punya kapasitas intelektual, mental dan moral yang teruji akan muncul. Pada akhirnya, pemimpin yang muncul dari proses ini akan menjadi pemimpin bangsa yang bukan hanya tangguh, tetapi berintegritas dan berkomitmen terhadap kemajuan dan kesejahteraan.
Kasus indonesia
Kita harus menyadari bahwa konsep ideal itu belum terwujud di indonesia. Secara internal, partai politik belum mampu mewujudkan demokrasi.
Sistem yang berlaku dalam partai politik masih sangat kental dengan sistem dinasti, nepotisme dan dominasi dari mereka yang punya kekuatan ekonomi besar. Mereka yang muncul menjadi pemimpin tidak merupakan mereka yang teruji secara sungguh-sungguh dalam proses-proses dalam internal partai. Dalam sistem partai seringkali terjadi diskriminasi terhadap anggota-anggota yang berpotensi namun tidak punya modal ekonomi maupun tidak mempunyai garis keturunan (dinasti) dengan elit partai.
Hal ini umum terjadi dalam hampir semua partai politik. Akibatnya, proses punish and reward tidak diukur oleh besarnya kapabilitas, tetapi oleh faktor-faktor yang seharusnya tidak menjadi indikator kemampuan. Itulah sebabnya mengapa partai gagal melahirkan pemimpin-pemimpin ideal untuk menghantarkan demokrasi indonesia menuju konsolidasi yang mapan. Dalam kasus indonesia, partai politik belum berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin muda. Calon-calon pemimpin muda gagal muncul ke permukaan hegemoni politik yang melahirkan oligarki kekuasaan.
Pada saat yang sama, politisi-politisi muda terjebak dalam pragmatism politik. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang cenderung mencari kekuasaan secara instan dan kemudian melakukan korpusi dari kekuasaan yang telah mereka dapatkan. Tidak heran jika akhir-akhir ini kita akrab dengan kasus-kasus korupsi kekuasaan yang dilakukan oleh politisi-politisi muda.
Pemilu 2024 seharusnya merupakan tangga baru dalam upaya konsolidasi demokrasi Indonesia. Pada pemilu 2024 seharusnya muncul pemimpin-pemimpin baru yang dimaksud. Hal ini penting karena dilihat demokrasi membutuhkan figur-figur baru yang akan menyegarkan kehidupan politik dan pemerintahan kita. Pada umumnya, rakyat indonesia sudah jenuh dengan pemimpin yang itu-itu saja karena dianggap tidak cukup mampu mewujudkan keinginan mereka. Pemimpin-pemimpn baru memang tidak menjamin seratus persen perubahan, namun paling tidak akan memberikan alternative.
Dalam survey terbaru yang diadakan oleh berbagai lembaga,kita perlu mendorong calon-calon pemimpin-pemimpin muda yang berpotensi. Ini bisa dilakukan dengan dua cara: pertama, memberi kesempatan pada munculnya pemimpin-pemimpin muda baik dalam internal partai, civil society maupun institusi-instusi yang menjadi saluran demorkasi. Kedua, kita juga harus memberdayakan orang-orang agar mampu mengupgrade kemampuan kepemimpinan mereka sehingga mampu menjadi pemimpin yang tangguh, berkapapibilitas dan berintegritas.
Semua upaya itu tidak bisa dilepaskan dari kesadaran dari sistem dalam partai-partai politik yang ada karena seperti dikemukakan di atas, partai politik adalah pilar demokrasi. Partai politik adalah wadah warga negara untuk berhimpun dan menyuarakan opini dan kepentingan mereka dalam proses politik dan pemerintahan. Oleh karena itu, partai politik harus membuka ruang bagi munculnya tokoh-tokoh muda. Di mana muda yang dimaksud adalah pemikirannya, visinya, namun memiliki pengalaman dan memimpin.
***
*)Oleh: Gugun Gumilar, Eksekutif Direktur IDE Indonesia, Mahasiswa PhD di Dublin.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |