
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam cerita pewayangan, nama dari sebuah negara Astinapura sangat terkenal. Raja Astinapura di era pertama bernama Prabu Abiyoso (Pendiri Kerajaan). Prabu Abiyoso adalah satu sosok raja yang sangat bijaksana dan bersungguh sangat memikirkan rakyat agar bersatu padu (Sak eyek Sak eko kapti) memberi kontribusi kepada negara. Setelah rakyat bersatu padu, Prabu Abiyoso lantas menganggap tugas keduniawian selesai dan memilih untuk Mandita (bertapa).
Setelah Abiyoso turun tahta, lalu naik tahta Raja Astinapura kedua yang bernama Prabu Pandu Dewanata (yang artinya abdi yang ingin menata negara). Kepemimpinan Prabu Pandu Dewanata membuat lambat laun Negara semakin baik dan disegani Negara lain. Di era pemerintahannya, Prabu Pandu Dewanata mempunyai pembantu bernama Patih Gondomono (artinya Bau yang Harum dimana-mana) telah memberi kemanfaatan rakyat Astinapura. Pasangan Prabu Pandu Dewanata maupun Patih Gondomono ibarat Keris dan Rangka yang membawa kerajaan Astinapura menuju kejayaan dalam dekade cukup lama dan mapan.
Advertisement
Karena terlalu mapannya situasi Negara Astinapura, ternyata tidak membuat nyaman bagi sekelompok orang. Ironisnya, dalam perjalanan memimpin Astinapura, Pasangan Prabu Pandu Dewanata dan Patih Gondomono terpaksa harus turun tahta karena difitnah Sengkuni sebagaimana yang tergambar dalam lakon wayang Gondomono Tundung dan berakhir lepas dari kekuasaan istana.
Inilah Babad pewayangan bertajuk Pandu Banjut yang mempunyai arti Raja yang dilengserkan rakyat sebelum waktunya, sekalipun kiprah selama menjabat sudah mampu menaklukkan banyak negara-negara dan membawa Astinapura ke era yang diperhitungkan dunia.
Sebagai penggantinya, naiklah sang Ratu Wakil sebagai Raja Ketiga bernama Prabu Yomo Widuro yang kekuasaannya hanya seumur jagung atau sebentar saja. Tragisnya selama kepemimpinan Prabu Yomo Widuro justru menghilangkan beberapa wilayah kekuasaan besar dari Astinapura. Ratu wakil ini tidak mempunyai kuasa besar dalam mengendalikan pemerintahan Astinapura, sehingga pada era pemerintahannya mudah diombang-ambingkan lawan politik. Durasi kekuasaan Prabu Yomo Widuro singkat dan tidak berselang lama, naiklah Raja Astinapura yang keempat, yakni Prabu Destarata.
Prabu Destarata adalah sosok raja yang tuna netra tetapi baik dan bijaksana dalam memimpin negara. Dalam gambaran pewayangan, Prabu Destarata adalah sosok yang kesatria jujur dan apa adanya dalam menjalankan amanah kekuasaan. Tetapi karena tidak lengkap inderanya, maka Prabu Destarata teramat sangat mudah dipengaruhi dan dibelokkan pembisiknya, terutama oleh Sengkuni. Meskipun belum sampai akhir masa jabatan, Prabu Destarata harus rela turun tahta sebagai raja sebelum waktunya karena ada sebuah kesalahan yang berakibat fatal.
Sebagai ganti Prabu Destarata, kekuasaan berpindah kepada Raja Kelima bernama Prabu Duryudono (namanya bermakna “penuh pertengkaran secara terbuka”). Selama pemerintahan Prabu Duryudono, istana banyak dikelilingi Kurawa yang penuh dengan kecurangan, intrik dan tipu muslihat. Pada era pemerintah Prabu Duryudono tidak bertahan lama karena sebatas melanjutkan sisa dari pemerintahan Prabu Destrarata.
Rakyat Astinapura ternyata tidak mendukung keberadaan Prabu Duryunono yang pada akhirnya harus berganti kekuasaan dengan Prabu Parikesit (disebut sebagai Prabu Kresno Dipoyono) sebagai Raja Astinapura yang Keenam.
Sebenarnya Prabu Parikesit adalah Raja yang baik, tetapi dalam pemerintahannya banyak sekali intrik dan keresahan karena antara trah Pandawa dan Kurawa terus menerus berselisih. Sikap tidak tegas dari Prabu Parikesit mengakibatkan konflik antara Pandawa dan Kurawa semakin panjang dan melebar. Sehingga sampai pada akhir pemerintahannya, rakyat menjadi bingung dan bimbang karena sikap ragu-ragu dari Prabu Parikesit. Gambaran Prabu Parikesit ini identik dengan seorang sosok yang sering terlambat dan peragu dalam menghadapi persoalan pemerintahan.
Era Gendroyono
Setelah Prabu Parikesit selesai periode pemerintahannya, naiklah Raja Ketujuh yang bernama Prabu Gendroyono (bermakna banyak permasalahan timbul dimana-mana) sebagai gantinya. Era Prabu Gendroyono tidak membuat pemerintahan semakin baik, tetapi justru semakin amburadul karena ketidakmampuan Raja yang hanya sebatas dikendalikan cecunguknya. Ibaratnya, Prabu Gendroyono hanyalah Raja Boneka yang tidak punya kekuatan penuh dalam pemerintahan. Dia hanya sebatas menjadi sosok Raja tanpa kuasa dan tidak mempunyai kekuatan riil untuk mengendalikan kuasa atas kehendaknya.
Di era Prabu Gendroyono ini, pemerintahan Kerajaan Astinapura bergeser menjadi Kerajaan Yowastino. Pemerintahan Negara menjadi carut marut. Tatanan kenegaraan diobrak-abrik tidak jelas pangkal ujungnya karena raja tidak punya kuasa. Sistem tatanan hukum Negara dijungkir balikkan. Persoalan hukum dan aturan perundangan dilemahkan segelintir kelompok yang memiliki kepentingan. Seluruh lini kehidupan dalam Negara dilemahkan. Diberbagai daerah terjadi pertikaian karena keberadaan Raja Gendroyono tidak mampu mengelola dan mengakomodir kepentingan rakyat. Pergolakan terjadi pada era pemerintahan Prabu Gendroyono ini akhirnya membuat rakyat sadar bahwa Negara dalam masa suram dan rakyat banyak yang menderita karena Raja Gendroyono tidak mampu mengelola negara.
Pada titik inilah, rakyat sadar dan menginginkan raja yang benar-benar berwibawa. Sosok Raja yang benar-benar memiliki prinsip, keberanian dan kekuatan nyata. Raja yang jujur dan memiliki kemampuan mengelola Negara, bukan hanya sebatas mahir dalam pencitraan semata. Rakyat merasakan banyak dibohongi Prabu Gendroyono karena banyak janjinya yang tidak ditepati. Rakyat merindukan sosok pemimpin yang jujur, berani, mampu dan bijaksana dalam mengelola Negara.
Karena Prabu Gendroyono sudah tidak dinginkan rakyat, dan rakyat menginginkan raja baru kedelapan, yakni Prabu Sudarsono. Prabu Sudarsono mempunyai makna sebagai contoh kebaikan, memberikan contoh perilaku baik dan bijaksana dalam tata praja dan bermasyarakat. Naiknya tahta Prabu Sudarsono memang sangat dinantikan rakyat karena awal mula yang membantu menaikan pamor dari Gendroyono adalah Sudarsono. Saat itu, Sudarsono sebelum menjadi Raja telah dikhianati Gendroyono sendiri. Pada akhirnya, rakyat tahu dan menginginkan Sudarsono menjadi Raja Astinapura dengan julukan Prabu Sudarsono. Inilah raja yang mengawali perjalanan babat tanah Astinapura menuju era keemasan.
Setelah Prabu Sudarsono, muncul Raja yang Kesembilan, yakni Prabu Kijing Wahono (Tanda Jaman) yang memberi tanda-tanda semakin membaiknya kehidupan rakyat. Puncaknya, adalah Raja yang Kesepuluh, yakni Prabu Joyoboyo (Masa Kejayaan yang Menentramkan). Dimana Prabu Joyoboyo mendapatkan julukan sebagai Ratu Gung Binatoro (gemah ripah loh jinawi) karena mampu membawa Negara dan rakyat dalam masa kemakmuran. Era Prabu Joyoboyo makin berjaya seiring dengan meninggalnya Raden Hanoman si Kera Putih. Di era Prabu Joyoboyo ini, orang Jawa kembali kepada Jawanya.
Kerajaan mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin Prabu Joyoboyo. Seluruh sendi kehidupan Negara berjalan dengan baik, adil dan makmur rakyatnya. Pada masa pemerintahan Prabu Joyoboyo ibarat bertiga saudara yang bersatu, yakni Joyoboyo (Masa Kejayaan yang Menentramkan), Astro Darmo (Masa Menata Kenegaraan) dan Ameng Joyo (Masa Kejayaan Panglima Kenegaraan). Di era Prabu Joyoboyo ini muncul Sabdo Palon Noyo Genggong yang menjadi tanda-tanda perubahan jaman.
***
*) Oleh: Gombloh Sudjarwanto, Budayawan Pengging.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |