
TIMESINDONESIA, MALANG – Ada gejala menarik belakangan ini tentang turun gunungnya sejumlah kaum oportunis politik yang sudah lama tenggelam ditelan roda sejarah atau setelah sekian cukup lama menghilang dari percaturan jagad politik Indonesia. Mereka tiba-tiba kembali jadi publik figure yang menggegerkan arena dengan jargon-jargon politik pertarungan dan membuat panasnya suhu persaingan layaknya paradigma “buto cakil” untuk mengejar kepentingan eksklusifnya (kursi).
Kursi yang akan diincar bisa ada di jalur legislatif dan eksekutif maupun lainnya, khususnya dalam menyambut 2024 mendatang. Kedua jalur ini dianggap menjadi jalur paling strategis, karena antara eksekutif dan legislatif bisa saling mempengaruhi dan menentukan. Kedua jalur ini dianggap sebagai area basah yang bisa dijadikan jembatan untuk mengatrol, mengamankan, dan bahkan melebarkan posisi-posisi strategis di aspek lainnya. Kursi masih ditempatkan sebagai target utama dan barangkali sangat mutlak wajib diperoleh.
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Kursi yang diobsesikan atau diambisikan bukannya tidak sekedar dijadikan jalan memperoleh identitas social dan politik, tetapi juga dibuat garansi untuk mengail dan menggali lading-ladang basah yang bisa membuatnya jadi “the upper class” atau komunitas elit yang disegani dan kalau perlu disembah-sembah.
Kursi bukannya ditempatkan sebagai jalur menegakkan amanat publik, membumikan kemaslahatan umat, dan mengimplementasikan komitmen kerakyatan, melainkan dijadikan alat menciptakan disparitas social, mengalinasikan dari persaudaraan kemasyarakatan (ukhuwah basyariyah)dan persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah).
Pengalaman selama ini mengisyaratkan, bahwa politisi yang sudah merengkuh kemapanan dari “harta rakyat Indonesia” lewat gaji berlimpah, ternyata tidak atau jauh dari menunjukkan pola hubungan yang berbasiskan kemanusiaan dan kerakyatan. Pola hubungan yang dibangunnya lebih berbentuk sebagai “tuan-tuan” yang membutuhkan disembah-sembah, dan bukan sebagai abdi rakyat yang wajib merakyatkan totalitas pengadiannya.
Pengalaman itu juga dibuktikan dengan gugatan rakyat yang menunjukkan rendahnya tingkat kredibilitasnya kepada kaum politisi yang menjadi representatornya di legislative. Mereka merasa dikecewakan oleh politisi ini karena selama menduduki kursi empuknya di dewan, mereka jarang atau bahkan ada yang tidak kenal arena tugas kemanusiaan dan kerakyatannya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Mereka berlaku seperti selebriti-selebriti dadakan atau orang kaya berkelas instan yang demikian tergiur dan terbius oleh pesona kebendaan, seperti gaji besar dan fasilitas lengkap yang diperolehnya, sampai melupakan kalau apa yang diperolehnya ini berasal dari keringat rakyat dan jerit tangis orang-orang yang dilanda kelaparan, kekurangan gizi, dan segmen bangsa yang sedang marjinal serta jadi mustadh’afin, yang menurut istilah Jalaluddin Rachmat “orang-orang yang dibuat teraniaya”.
Dengan perilaku itu, rakyat kemudian, antara lain berusaha menkritiknya secara radikal dengan mengancam hendak uzlah atau menjatuhkan opsi “menyepikan” (menjauhkan) diri dari hiruk pikuk: keramaian pergulatan politik. Sedang titik kulminasinya, rakyat berusaha menjatuhkan opsi Golput, alias tak menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi.
Di tengah kondisi itu, tiba-tiba rakyat kembali dirayu oleh sejumlah orang-orang lama yang sebenarnya sudah tenggelam atau lama tak muncul ke permukaan. Mereka kembali mendekati, merayu, dan berusaha menjinakkan ideologi rakyat yang sudah diarahkan pada Parpol tertentu atau figur-figur yang selama ini jadi anutannya, setidak-tidaknya punya muatan moral yang patut dipilih.
Orang-orang lama yang sekarang jadi publik figur itu tentu saja telah membangun obsesi dan berusaha mewujudkan ambisi-ambisi politiknya guna memenuhi target berupa “kursi”. Dari kursi ini, mereka ingin merebut pasar, memenangkan wilayah pengaruh, dan menguasai zona-zona strategis yang bertebaran di tengah masyarakat yang bisa menguntungkan diri dan kelompoknya.
Orang-orang lama itu menganggap bahwa apa yang dilakukan ini ibarat sedang melakukan safari spiritualisme politik, artinya mereka turun menjemput bola untuk mengajarkan kembali tentang doktrin bernegara, redefinisi, refungsionalisasi, dan reiinterpreasi amanat kebangsaan seperti isyarat yang berbunyi “mencintai negara itu bagian dari iman”.
Mereka itu mencoba menggunakan paradigma lama berupa pendekatan eksklusif kalau rakyat masihlah obyek atau “keranjang sampah” yang belum dan tak akan mungkin cerdas, bisa dan mudah digiring-giring, dan dijadikan sebagai tumbal komoditi doktrin Partai Politik.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |