
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Ketika membaca berita kasus operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Probolinggo yang diduga melakukan jual beli jabatan, saya pun mundur ke beberapa waktu lalu. Saya mengernyitkan dahi, bukankah baru-baru ini juga ada OTT Bupati? Lah kok belum kapok ya? Apakah Bupati Probolinggo tak belajar dari kesalahan koleganya? Atau memang ia sudah terperangkap dalam nafsu serakah?
Saya pun teringat pernyataan filsuf Plato bahwa setiap orang bisa hidup sejahtera secara merata, asal manusia perlu dan berkewajiban mengendalikan nafsu keserakahannya untuk memenuhi semua keinginan yang melebihi kewajaran.
Advertisement
Inilah persoalan utama kita. Jujur saja kita acap tergiring untuk mengejar keinginan dan sering lupa mensyukuri kebutuhan yang telah terpenuhi. Andai saja Bupati berhenti pada kebutuhannya, dan tidak lagi mengejar keinginannya, saya rasa tak akan terjebak dengan permainan jual beli jabatan. Sebab, kalau ini kata Aristoteles, kebutuhan manusia itu tidak terlalu banyak, tetapi keinginannyalah yang relatif tidak terbatas. Manakala diperbudak keinginan yang tak terbatas itu, maka terperangkaplah kita pada keserakahan.
Bicara keserakahan mengantarkan saya kepada pemikiran filsuf Diogenes. Filsuf yang berpegang teguh pada hidup asketik ini pernah menyatakan "Orang yang paling kaya adalah orang yang paling nyaman dengan kepemilikan yang paling sedikit".
Diogenes itu mau menegaskan bahwa kekayaan materi adalah persoalan terkait jumlah. Bilamana menempatkan materi sebagai tujuan hidup maka jumlahnya tak terbatas. Walau jumlahnya banyak, namun tetap saja merupakan kekayaan semu. Tak ada batasnya.
Kekayaan sejati itu, kata Diogenes, jika kita sudah merasa cukup. Ukuran cukup ini didasarkan atas pertimbangan akal budi, bukan dorongan emosi dan hasrat materi. Artinya jika manusia menerima kesederhanaan saat ini, maka ia sudah hidup dalam kekayaan.
Tentu saja Diogenes paham benar arti kesederhanaan. Ia memang asketis. Bahkan ia digambarkan hidup seperti gelandangan. Tidur di jalanan ditemani anjing- anjing. Terbiasa ditemani anjing, keberaniannya juga seperti anjing. Diogenes dari Sinope ini dikenal dengan sebutan "si anjing" atau "Diogenes Kunikos" (dalam bahasa Yunani kunikos berarti anjing). Hal itu dikarenakan ia sangat berani dalam menyatakan pandangannya layaknya seekor anjing yang menyalak. Jalan asketik diperoleh dari gurunya yang bernama Anthisthenes, yang merupakan murid dari Socrates. Umurnya sekitar dua puluh tahun lebih tua daripada Plato.
Banyak di antara kita menyamakan kebutuhan dan keinginan. Padahal berbeda. Kebutuhan ada batasnya. Keinginan tak terbatas. Terus dan terus, sehingga ditempatkan sebagai ketidakwajaran di mana yang dikejar adalah kepuasan semu.
Bupati Probolinggo terjebak keinginan. Ia tidak cukup sampai kepada kebutuhan. Manakala manusia tidak pernah merasa cukup dan terus memburu keinginannya maka jadilah manusia serakah. Filsuf Bernard de Mandellive dalam buku klasik The Fable of the Bees (1714) mengemukakan sifat serakah manusia yang selalu lebih mementingkan diri sendiri akan memberi dampak sosial bagi masyarakat.
Benar saja, tindakan Bupati Probolinggo cenderung merugikan masyarakat. Sayang Bupati Probolinggo tidak belajar kepada penganut Diogenes, bagaimana menjadi seseorang yang tidak serakah. Sayang pula Bupati lebih mengutamakan “balik modal” dalam proses politiknya. Akibat keserakahannya, ia pun dijebloskan ke balik terali besi. Tetapi, terlalu “njomplang” membandingkan kehidupan Bupati Probolinggo dan seorang filsuf. Memang, zamannya berbeda. Namun kisah Diogenes sekadar mengingatkan kita bersama agar tidak terjebak keserakahan. Untuk Bupati Probolinggi lebih pas jika saya kutipkan pernyataan para pemuka agama.
Begini, para ulama menganalogikan sikap manusia identik dengan unggas. Empat ungags mewakili sikap manusia. Ayam merepresentasikan hawa nafsu, bebek menggambarkan sifat rakus, merak menunjukkan sikap angkuh, dan gagak menunjukkan keinginan. Ternyata bebek lebih dominan. Artinya keserakahan menguasai hidup manusia. Maka, ulama itu mengingatkan bahwa tujuan hidup manusia bukanlah untuk berlomba mengumpulkan harta hingga melimpah ruah. Dunia hanyalah sementara; ladang untuk menentukan pilihan berbuat kebaikan. Oleh sebab itu hiduplah dengan kesederhanaan.
Begitulah saran manusia bijak. Memang susah untuk mempraktikkannya. Namun kalau tidak membiasakan diri akan lebih susah lagi. Keutamaan moral itu terbangun dari kebiasaan yang kita lakukan. (*)
***
*) Oleh: Toto TIS Suparto; Penulis Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |