Kopi TIMES

Melewati Ujian Kejujuran

Senin, 04 Oktober 2021 - 14:40 | 69.40k
Arie Hendrawan – Guru SMA, Alumni Magister Ilmu Politik Undip.
Arie Hendrawan – Guru SMA, Alumni Magister Ilmu Politik Undip.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta, pernah mengatakan bahwa, “tak ada harta pusaka yang sama berharganya dengan kejujuran.” Ucapan Bung Hatta tersebut bisa dipahami, sebab kejujuran adalah mata uang yang berlaku di seluruh dunia. Nilainya tetap, tidak fluktuatif. Setiap kali bertransaksi dengannya, kita juga bisa mendapatkan kepercayaan. Jadi, tidak heran jika kejujuran dianggap sebagai harta pusaka yang sangat berharga.

Namun saat ini, “kejujuran” tengah mendapatkan ujian di “masa pandemi”. Apa korelasi dari keduanya? Kita mafhum, sekarang banyak aktivitas yang terpaksa dilakukan secara daring, tak terkecuali dengan kegiatan ujian. Ujian bisa ada di mana saja, tetapi yang paling banyak tentu berlangsung di lingkungan sekolah. Pertanyaannya, mampukah para peserta didik tetap jujur dalam menjalani ujian virtual, dengan atau tanpa pengawasan?

Pada medio bulan September seperti saat ini, dalam dunia pendidikan, banyak sekolah yang sedang melaksanakan kegiatan Penilaian Tengah Semester (PTS)—dulu disebut Ujian Tengah Semester (UTS). Tidak sedikit sekolah berusaha yang menerapkan sistem ujian secara “ketat” untuk menjamin integritas. Misalnya, mewajibkan peserta menggunakan dua kamera yang menyorot bagian wajah dan layar perangkat gawai ketika mengerjakan ujian.

Apakah upaya tersebut efektif? Iya, tetapi tidak sepenuhnya. Pada akhirnya, masih ada saja modus kecurangan yang dapat dilakukan oleh anak-anak. Contoh, berpura-pura terjadi galat pada perangkat keras atau jaringan, yang lantas dimanfaatkan untuk “berselancar” mencari jawaban di internet. Alih-alih menyontek dengan membuka catatan, ujian yang terkoneksi internet juga membuat peserta dengan mudah menemukan jawaban dari sana.

Sementara itu, menjadi dilematis bila guru ingin mengambil tindakan tegas, misalnya dengan mendiskualifikasi peserta ujian yang mengalami galat. Lantas, bagaimana jika kendala itu benar-benar dihadapi oleh anak? Sebab, posisinya sangat sulit untuk memastikan hal tersebut. Belum lagi, kondisi sekolah yang hanya mampu mengadakan ujian online secara sederhana, yakni dengan mengirimkan soal di WhatsApp Group tanpa pengawasan kamera.

Hal yang sama juga sangat mungkin terjadi di perguruan tinggi atau kampus. Untuk tes TOEFL sebagai syarat sidang kelulusan atau wisuda misalnya. Kita sama-sama tahu, bahwa di wilayah Indonesia yang luas ini masih ada kesenjangan digital (digital divide), salah satunya dari aspek infrastruktur internet. Oleh sebab itu, sebagai upaya menjamin mahasiswa daerah agar tetap dapat mengerjakan tes TOEFL dengan baik, maka tidak ada syarat menyalakan camera.

Namun, siapa yang berani menjamin bahwa semua peserta tes akan mengerjakan soal secara jujur? Tanpa bantuan orang lain, atau bahkan digantikan oleh orang lain. Lagi-lagi, itu menjadi tantangan yang sulit. Bukan hanya pada tes, dalam ajang perlombaan pun, seperti Kompetisi Sains Nasional (KSN) virtual juga tidak luput dari risiko tersebut. Beberapa waktu yang lalu, bahkan sempat ramai di Twitter bukti indikasi kecurangan yang terjadi.

Logika sederhananya begini, ujian atau perlombaan apapun yang berjalan secara langsung saja masih rentan dengan kecurangan, apalagi yang dilaksanakan secara virtual. Dalam domain yang lebih luas, di kehidupan sehari-hari kita saat ini, kejujuran juga sedang “diuji”. Ada banyak sekali contohnya. Kini, untuk masuk ke mall ada syarat melakukan scan barcode pada aplikasi peduli lindungi, bukan? Tetapi, sesuai pengalaman saya, tidak ada kewajiban menunjukkan KTP.

Kemudian, siapa yang dapat memastikan bahwa orang yang datang adalah pemilik akun peduli lindungi yang teregistrasi di Handphone-nya? Jadi, andai belum vaksin sekalipun, kita tetap bisa “lolos” masuk mall dengan cara meminjam akun orang lain yang sudah vaksin. Itu baru satu hal. Pada contoh yang lain, untuk pemantauan kesehatan, kita sering kali diminta mengisi skrining kondisi tubuh dengan beberapa indikator gejala umum Covid-19 dan riyawat perjalanan.

Akan tetapi, apakah ada garansi bahwa setiap orang menjawab isian mandiri tersebut secara jujur? Belum tentu. Sama seperti ketika banyak orang yang terpaksa bekerja dari rumah (WFH), berapa persen pekerja yang sungguh-sungguh melaksanakan kerjanya secara maksimal? Saya kira, tidak mungkin 100%. Kita memang selalu dihadapkan pada keputusan-keputusan untuk berbuat tidak jujur. Namun, itu bukan diberikan, tetapi kitalah yang mengambil.

Kembali ke dunia pendidikan. Dalam waktu dekat ini, pada akhir bulan September sampai November 2021, akan diselenggarakan Asesmen Nasional (AN) untuk SD-SMA sederajat. AN yang menggantikan Ujian Nasional (UN) tidak menjadi indikator kelulusan, melainkan untuk pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan. Oleh sebab itu, tak ada persiapan khusus    yang perlu dilakukan, karena tidak ada nilai minimal yang wajib diraih.

Di satu sisi, ketiadaan target nilai yang perlu dicapai oleh peserta didik dianggap akan mampu mencegah terjadinya kecurangan. Namun sebenarnya, pada sisi yang lain, bukan tidak mungkin anak-anak justru tidak jujur kepada dirinya sendiri. Mereka sangat berpotensi mengerjakan AN secara asal-asalan, tidak sesuai kemampuannya, sebab memang tak ada tuntutan/ keharusan bagi peserta didik untuk memperoleh capaian nilai tertentu.

Di sini kita dapat menyimpulkan, bahwa ketidakjujuran seseorang bukan hanya bisa terefleksi dari perbuatan culas dalam ujian demi mendapatkan nilai yang tinggi, tetapi juga dapat berasal dari sikap setengah hati ketika menyelesaikan asesmen pemetaan sesuai kemampuan terbaik. Intinya sama, hal ini menjadi ujian kejujuran kita. Maka, ujian yang sebenarnya eksis bagi kita sekarang adalah ujian kejujuran. Apakah kita telah jujur pada diri sendiri?  

Pada akhirnya, kita sendiri jugalah yang menjadi pihak paling berdaulat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebaik apapun sistem dibuat, pasti tetap akan mampu ditembus. Ada istilah, “no system is safe”. Jadi, semua tergantung pada pribadi kita. Dalam momentum ini,  kita perlu berlatih jujur pada diri sendiri dan orang lain. “Seseorang harus adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”, ungkap Pramoedya Ananta Toer. 

***

*) Oleh: Arie Hendrawan – Guru SMA, Alumni Magister Ilmu Politik Undip.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES