Kopi TIMES

Mengawal Kasus Kekerasan Seksual Melalui Literasi Digital

Sabtu, 29 Januari 2022 - 16:54 | 134.83k
Dian Asmi Setoningsih, Pendidik di Thursina IIBS Malang.
Dian Asmi Setoningsih, Pendidik di Thursina IIBS Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia sepanjang 2021 menyebabkan hilangnya rasa aman bagi perempuan, baik di lingkup domestik maupun ruang publik. Pasalnya kasus-kasus ini terjadi di tempat yang selama ini dianggap aman seperti perguruan tinggi, sekolah, pesantren, hingga lingkungan keluarga. Korbannya pun beragam, mulai dari santri, mahasiswa, pegawai, tetangga, istri, adik kandung sampai difabel.

Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) menerbitkan Catatan Tahunan (Catahu) 2021 kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun dari berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah di hampir semua provinsi di Indonesia. Berdasarkan data-data yang terkumpul, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat, yaitu KDRT dan Relasi Personal, yaitu sebanyak 79% (6.480 kasus). Rinciannya, terdapat kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua.

Dalam survei temuan tersebut, Komnas Perempuan menyatakan adanya penurunan signifikan jumlah kasus yang terhimpun di dalam Catahu 2021. Sebanyak 299.911 kasus dilaporkan pada tahun 2020, turun 31% dari 431.471 kasus pada tahun 2019. Penurunan dramatis dalam data kasus ini lebih mencerminkan kemampuan untuk mendokumentasikan dari keadaan sebenarnya kekerasan terhadap perempuan selama pandemi yang cenderung meningkat.

Banyak kasus yang terjadi berlarut-larut dikarenakan korban tidak berani melapor karena dekat dengan pelaku selama masa pandemi atau pembatasan pergerakan, seperti Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Diketahui bahwa selama pandemi banyak orang harus berdiam di rumah. Selain tidak berani melapor, korban juga cenderung mengadu pada keluarganya atau memilih diam. Persoalan literasi teknologi dan model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi, yang belum beradaptasi mengubah pengaduan online, juga menjadi masalah.

Penting untuk masyarakat mendapat pendidikan literasi digital. Peran masyarakat dalam literasi digital juga sebagai jendela informasi dan jembatan korban kekerasan seksual untuk menghubungi lembaga layanan dan pendampingan isu kekerasan seksual.

Hentikan Budaya Memviralkan Kasus Kekerasan Seksual

Dengan mudahnya akses informasi di berbagai media sosial, kasus kekerasan seksual kerap kali diungkap ke publik dengan cara memviralkannya agar kasus tersebut mendapat simpati dari masyarakat dan ditangani oleh pihak yang berwenang. Namun cara tersebut sebenarnya tidak disarankan jika korban belum memiliki pendampingan hukum sekaligus dukungan moral. Video yang viral tersebut bisa jadi memperparah dampak psikologis korban kekerasan seksual. Tindakan pertama yang harus dilakukan keluarga, teman atau masyarakat saat mendapati kasus kekerasan seksual menimpa korban adalah dengan menghubungi lembaga pendampingan. Sebab, fokus utama yang dilakukan adalah memberikan pemulihan pada korban secara fisik dan psikis. Setelah itu, barulah korban akan diberikan pendampingan hukum professional. Masyarakat bisa mengajukan laporan kasus kekerasan seksual lewat call centre Sahabat Perempuan dan Anak milik Kemen PPPA, yakni SAPA129 atau hotline Whatsapp 08211-129-129.

Peran Literasi Digital dalam Pencegahan Kasus Kekerasan Seksual

Meskipun kemajuan digital telah membawa banyak kemudahan dalam kehidupan, masyarakat tetap perlu mewaspadai dampak negatif yang rentan terjadi pada perempuan dan anak, seperti kekerasan online dan kejahatan dunia maya. Menurut data KPAI 2017-2019, pengaduan kasus pornografi dan kejahatan online terhadap anak meningkat menjadi 1940. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut, perempuan dan anak-anak harus diberikan pemahaman literasi digital yang memadai. Sebab, perempuan yang memiliki literasi digital mampu melindungi diri mereka sendiri. Literasi digital yang baik akan mendorong perempuan berani, bijak dan cerdas bermedia, terutama saat menjumpai atau bahkan mengalami pelecehan seksual. Tentu saja, hal ini harus didukung oleh semua lapisan masyarakat, termasuk pemerintah. Dengan begitu, akan tercipta ruang yang ramah bagi perempuan untuk menggaungkan suaranya.

***

*) Oleh: Dian Asmi Setoningsih, Pendidik di Thursina IIBS Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES