Kopi TIMES

Menara Gading Demokrasi dan Kecemasan Publik

Minggu, 06 Februari 2022 - 12:26 | 106.66k
Amas Mahmud (Direktur Democracy Care Institute)
Amas Mahmud (Direktur Democracy Care Institute)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Demokrasi menjadi sistem nilai yang terbaik, dibanding dengan sistem monarki. Itu sebabnya, penerapan demokrasi mesti membawa manfaat kemajuan bagi rakyat. Percuma sistem demokrasi dipuja-puja, tapi hasilnya menciptakan kemiskinan dan kesengsaraan bagi rakyat. Demokrasi hanya membuat orang kaya makin kaya, lalu rakyat miskin makin miskin. Hal itu yang tidak diharapkan publik.

Demokrasi di Indonesia melahirkan kecemasan. Dalam tataran wawacana publik, framing pemberitaan media massa banyak kita temukan kontroversi. Para politisi kita melibatkan diri dalam pemerintahan, hasil dari kerja-kerja politik malah hanya memperlihatkan kesedihan. Dimana praktek korupsi dilakukan para politisi, terbuka dipublik. Walau tidak semua politisi korup.

Advertisement

Kalau kita membaca terminologi atau doktrin Trias politica, dari Montesquieu, tentang pemisahan kekuasaan. Ditemukan ada tiga hal yang diajarkan. Yakni kewenangan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. 

Indonesia yang menganut sistem Presidensial, bukan ministerial (parlemen). Seharusnya lebih maju dan tertib, karena otoritas Presiden begitu luas. Parlemen hanya memiliki wewenang membuat undang-undang, menetapkan anggaran dan mengawasi. Tidak lebih dari itu.

Dalam berdemokrasi, semua rakyat termasuk kompetitor politik adalah sahabat (bestie). Tidak ada musuh, selain pesain. Lawan dalam kompetisi, pertarungannya terbatas pada kompetisi. Setelahnya, bersahabat dan tidak ada lagi kompetisi. Melainkan kolaborasi yang dirajut.

Tidak ada permusuhan yang abadi. Rakyat dididik untuk berdemokrasi secara sportif. Suasana seperti inilah yang diharapkan terjadi dalam Pemilu 2024. Pemerintah dan elit partai politik menjadi garda depan untuk dijadikan teladan rakyat.

Demokrasi mesti berada pada posisi dan level menara gading. Bukan melah melahirkan kecemasan, apalagi kegaduhan. Pengelolaan pemerintahan yang semrawut juga menyumbangkan friksi demokrasi. Membuat rakyat hidup sebagai berada dalam bara api. Ketenangan, kedamaian diusik dengan tindakan kekerasan premanisme dan kemiskinan sistematis.

Konsolidasi demokrasi juga harus dilakukan pemerintah secara terukur. Tidak sekedar bermakna politis. Jangan lagi rekonsiliasi sekedar menjadi tema menyerukan, ternyata di dalamnya rapuh. Rakyat mudah dibenturkan. Kemudian pemerintah menganggap rakyat sebagai sumber masalah, ini yang menjadi bahaya serius. Mestinya pemerintah lebih sejuk, dan hebat melahirkan percakapan publik.

Para juru bicara Presiden perlu lagi memilah dan memilih diksi yang mempersatukan elemen rakyat. Bukan retorika yang penuh tuduhan, kecurigaan dan berpotensi merusak persatuan di tengah rakyat. Yang didapat setelah retorika para juru bicara pemerintah, bukan persatuan, malah umpatan dan keterbelahan makin menganga lagi.

Konflik akibat penggunaan aksara yang buruk membawa resiko pada stabilitas negara. Kondisi seperti itu harusnya mampu dideteksi pemerintah. Agar merubah pola komunikasi publik yang dilakukan selama ini. Lebih banyaklah menggunakan persuasif, edukatif, dan literasi berlanjut. Bukan bersifat memukul, menyerang, bertendensi menghasut, yang malah mengundang kebencian publik

Narasi yang sejuk sangat jarang kita temukan. Terlebih saat publik diperhadapkan dengan klarifikasi atau penyampaian KSP, melalui Ustad Ali Mochtar Ngabalin. Yang selalu merasa pandai, tapi kurang pandai merasa. Argumentasi pembenahan lebih dominan ditunjukkan. 

Sejatinya, pemerintah mendengar masukan, aspirasi dan keluhan rakyat, lalu menjawab dalam kebijakan. Bukan memperkuat argumen pembenaran yang retoris. Pendekatan merangkul, mengayomi, mengakomodasi, menindaklanjuti kepentingan rakyat itu yang lebih prioritas. 

Jangan selalu mengedepankan debat dengan rakyat. Yang disampaikan rakyat, baik secara individu maupun organisasi, harusnya direspon secara baik. Lantas pemerintah mengartikulasikan itu dalam prodak program kerja keberpihakan pada rakyat. Sekali lagi rubahlah cara pendekatan klasik yang selalu offensive dan represif. 

Demokrasi dengan posisi yang mulia dan terhormat itu jangan dikotori dengan kebijakan pemerintah yang mencekik kehidupan rakyat. Sebetulnya demokrasi tidak boleh sedikitpun mendatangkan kecemasan pada rakyat. Mestinya mendamaikan, membawa rakyat pada dunia kemajuan. 

Rakyat disejahterakan dan keadilan diberikan, itulah visi besar demokrasi yang patut direalisasikan. Berhentilah untuk mengurusi pencitraan, mengerjakan hal-hal yang biasa tidak singnifikan menyumbangkan kemajuan bagi rakyat, tapi begitu besar pemberitaannya. Perlu ada perubahan terhadap pola pencitraan tersebut.

Perbanyaklah bekerja pemerintah untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Itu yang akan dikenang seluruh rakyat Indonesia. Kita membutuhkan narasi penguatan, juga jangkauan pergerakan yang nyata bahwa negara (pemerintah) wajib membawa demokrasi ke posisi puncak yakni menara gading. Dari titik itulah, rakyat akan menikmati kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesejahteraan, maka akan terlahirlah kedamaian dan persatuan permanen.

***

*) Oleh : Amas Mahmud (Direktur Democracy Care Institute)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES