Kopi TIMES

Keunggulan Bangsa dan Bahasa Indonesia Dibanding Bangsa Lain

Kamis, 17 Februari 2022 - 23:17 | 206.33k
Burhanuddin Ramli,  Mahasantri Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF AL-Farabi Kelahiran Wajo, Sulawesi Selatan
Burhanuddin Ramli,  Mahasantri Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF AL-Farabi Kelahiran Wajo, Sulawesi Selatan
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Berdasarkan hitungan ethnologue (2021) terdapat 7.139 bahasa yang bertahan di seluruh dunia dengan berbagai kriteria. Sedangkan di Indonesia menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2010 ada 1158 bahasa atau sekitar 16% dari bahasa di dunia. Sebagian bahasa dunia sudah punah karena tidak adanya lagi penutur, kecuali  yang berhasil menjadi bahasa pengetahuan, Latin, misal. Penuturnya sudah tidak ada tapi bahasa ini tetap dijadikan rujukan dalam pengetahuan terlebih karena beberapa negara di dunia menyerapnya menjadi bahasa mereka.

Namun, yang menarik nan mengesankan dan sekaligus menjadi pukulan telak bagi mereka yang memandang rendah bahasa Indonesia  adalah, saat beberapa negara tidak mampu melakukan perlawanan melalui bahasa, kalah dalam percaturan politik kebahasaan, mereka terpaksa menggunakan bahasa Inggris  sebagai lingua frangca, beberapa diantaranya bahkan  membentuk dua atau tiga bahasa resmi negara dengan semboyan pidgin english atau english speaking people yang diistilahkan oleh peraih nobel Sir  Winston Churchill.  Berbeda dengan Indonesia, kita justru mampu mengambil satu bahasa dari daerah sendiri menjadi bahasa nasional dan lingua frangca di tengah gerakan politik penginternasionalan bahasa Inggris kala itu.

Advertisement

Langkah awal nan brilian ini, pertama kali diusung oleh salah seorang pujangga dan sejarawan, keturunan Bugis-Melayu pada abad-19 di Riau, Ali Haji bin Raja Haji Ahmad (1808-1873) . Ia menyusun Kamus pertama: Bustanul Katibin, pedoman bahasa yang nantinya dijadikan rujukan dalam sumpah pemuda 1928 untuk mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai lingua Frangca. Inilah yang menjadikan bangsa Indonesia lebih unggul dibanding bangsa lain. Hal ini pula yang perlu terus dirawat. Kebanggan bahwa Indonesia sekali lagi adalah bagaian terencana dan mampu bertahan di gempuran bahasa asing.

Pada titimangsa ini setelah melakukan riset atas beberapa literatur,  setidaknya ada beberapa hal yang sedari dulu para pendahulu kita upayakan dalam rangka menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia. Pertama, gerakan pembakuan bahasa etnis, Apakah ini perlu? Ya, tentu. Jangan lupa bahwa Indonesia sebagai etnis, budaya dan kemanusian—salah satu subnya adalah bahasa—Jauh lebih kompleks dan luas dari pada Indonesia sebagai negara dan apalagi agama sebagaimana yang disinggung Ach. Dhofir Zuhry dalam bukunya Kondom Gergaji.  Pada bahasa etnis inilah berakar kebudayaan kita. Olehnya, gerakan transliterasi dari bahasa etnis dari semua suku yang memiliki budaya tulis ke dalam bahasa Indonesia perlu terus-menerus dirawat.

Beberapa tahun lalu saat mengunjungi  perpustakaan kerajaan Luwu yang bertepatan dengan Festival keraton Nusantara ke-13. Abdi dalem kerajaan menunjukkan kurang lebih seratus delapan belas buah karya para penulis bugis yang tersimpan rapi. Dan, tentu karya-karya besar lain, di Sumatra, Jawa, Madura, Kalimantan  dan lainnya juga akan semakin menambah khazanah pengetahuan bahasa kita. Belum lagi data yang dirilis perpustakaan nasional bahwa ada dua puluh enam ribu naskah kuno yang dijarah oleh negara kincir angin. Hitungan  ini belum termasuk perpustakaan Britsh Library London di Inggris, the Bodleian Library di Oxford dan Perpustakaan Berlin di Jerman. Gerakan pembakuan atau diistilahkan dengan bahasa serapan, mesti menomorsatukan  bahasa etnis. Hal ini tidak lain adalah upaya menghindari efek buruk, serupa yang dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro, bahwa menghilangkan bahasa etnis akan mengerdilkan bangsa dan kekayaan intelektual serta memengaruhi politik bangsa. Selain itu, menjaga keterhubungan dengan konteks masa lalu bangsa agar kita tak kehilangan akar sejarah. Agar kita tidak menjadi generasi yang meninggalkan yang lama sebelum menguasai yang baru melainkan melestarikan hal baik dari sejarah bangsa dan mengambil yang lebih baik dari perkembangan saat ini.

Tak kalah penting, mencari padanan bahasa pengetahuan yang sedimikian berkembang di luar sana dalam kebudayaan kita, misal, moderenisme (pembaharuan), ideologi (adicita), globalisasi (kesemestaan), power point (salindia), snack (kudapan), handbody  (calirraga). Jika tak ada padanannya maka menjadikannya sebagai bahasa serapan adalah pilihan selanjutnya, agar tak terlambat sebagaimana istilah pengetahuan yang baru jamak  digunakan secara formal pada 1951 menggantikan istilah Belanda, wetenschap (science). Sekalipun, belakangan istilah sains juga dibakukan. Di sini kita patut mendukung penuh upaya para penyusun KBBI selama ini, apalagi di tengah Internet of Thing (IoT) dengan dikembangkannya gagasan dunia metavers oleh Mark Zuckerberg pendiri facebook, control bitchoin oleh Elon Musk, arsitek Tesla dan pendiri neuralink dengan memanfaatkan ekonomi naratif, dan analysis yang tajam oleh Yuval Noah Harrary serta kritik atas itu olah pakar ekonomi, Alan Greenspan, dengan irrational exuberant atau keasyikan yang tidak rasional akan melahirkan istilah-istilah baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Tujuannya tidak lain untuk tetap terhubung dengan perkembangan pengetahuan.

Kedua ialah gerakan penerjemahan. Mengenai pentingnya mempelajari bahasa asing, saya pikir tidak perlu kita bahas atau pertanyakan lagi. Justru, kekeliruan terbesar adalah dengan mengabaikan perkembangan, karena kita tidak hanya berhadapan dengan sekelumit masalah di dalam negeri, melainkan juga gelombang pengaruh buruk dari luar. Terlebih di era kesemestaan yang dikemukakan oleh Yasraf Amir Piliang. Perihal ini Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam bukunya, Islam and Secular State mengomentari semboyan kaum aktivis sosialis bahwa, “Think globally act locally” (berpikir global dan bertindak local). Bukan hanya itu kata cendekiawan asal Sudan ini,  kita perlu pula, “Act globally and think locally” (bertindak global berpikir lokal).

Minat tinggi terhadap bahasa asing, anehnya tidak berbanding lurus dengan karya terjemahan yang lahir. Hal ini menghunus sekian tanya, jangan-jangan kita sekadar pada tataran keperluan pasar saja atau justru keliru dalam tujuan. Pasalnya, jurusan pendidikan bahasa di sebagian kampus yang sudah sedemikian menjamur, bukannya mengajarkan bagaimana menerjemahkan melainkan sibuk dengan teori yang bertele-tele. Padahal, sepanjang sejarah kebangkitan di negara-negara besar diawali dengan gerakan penerjemahan, revolusi bahasa.  Sebut saja. Arab, generasi Baitul Hikmah.  Prancis yang melahirkan renaisans dengan memboyong banyak karya dari Timur. Teranyar di Asia Tenggara, China dengan bahasa mandarin, bahkan di APBNnya menganggarkan biaya penerjemahan dan riset luar angkasa. Waow.

Ketiga, menulis dan berbicara yang baik dalam bahasa Indonesia. Apa pentingnya? Bahasa tidak sekadar kumpulan kata, ia juga membawa makna yang mempengaruhi kejiwaan penutur dan pendengarnya. Selain itu, dengan media bahasalah kita menalar sesuatu. Tak kalah penting menjembatani perbedaan bahasa di antara banyak suku serta memupuk kecintaan terhadap tanah air kita, NKRI. Janggalnya, tidak jarang kita dapati pembelajar bahasa asing malah menanggap remeh bahasa Indonesia. Kita lupa kalau-kalau mempelajari bahasa asing apapun itu mengharus-wajibkan bahasa Indonesia. Mengapa? Karena hanya dengan penguasaan bahasa target (bahasa Indonesia), kita bisa mengetahui bahasa sumber (bahasa asing). Penguasaan terhadap bahasa target mempengaruhi bahasa sumber. Di sinilah kemudian “jihad” kaum milenial dan zilenial yang sesungguhnya. Bukan sok Inggris, Arab dengan hanya mengutip satu dua kata, apalagi berbondong-bondong ingin jadi Arab seperti sekawanan kaum hijrah, dedengkot 212, kadal gurun lalu teriak, takbir (Take a bir). Mabuk.  Terlebih, ikut-ikutan gaya bicara sinetron kelas kampung dan artis yang bukan Indonesia bukan Inggris itu.

Terakhir, mengapa mesti bahasa? Bahasa ini paralel dengan kesusastraan; kebudayaan, agama dan bahkan kemanusiaan. Nah, itu artinya menjaga bahasa Indonesia—dengan berbicara, menulis dalam bahasa Indonesia yang baik—berarti menjaga negara dengan prinsip menjungjung tinggi bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing.

 

*) Penulis: Burhanuddin Ramli,  Mahasantri Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF AL-Farabi Kelahiran Wajo, Sulawesi Selatan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

_____
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES