
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ada jemaah yang kekeh azan setiap waktu walau suaranya jelek. Diingatkan oleh jemaah lain agar yang bersangkutan tak perlu azan, biarkan yang lain. Dia menolak. Satu waktu datang seorang nasrani ke masjid, mencari sang jemaah yang senang azan tersebut. Jemaah yang lain berpikir, pasti ada masalah dengan suaranya yang parau, serak-serak basah, tak berirama setiap kali azan dan enggunakan toa dengan volume maksimal. Ada apa gerangan?
Sang nasrani yang rumahnya berada di sebelah masjid itu menemui bapak setengah baya tersebut. Tanpa banyak kata, dia memberi hadiah sang muazin. Satu paket sembako dan satu buah amplop. Semua orang bingung melihat, dan menyaksikannya. Kok bisa ya?
Advertisement
Mereka berpikir akan ada masalah, yang terjadi justru sebaliknya. Kejadian itu pun dilaporkan ke pengurus masjid. Pengurus masjid juga merasa ada yang aneh. Maka diputuskan, mereka akan mendatangi dan bersilaturahmi dengan sang nasrani. Mengklarifikasi, apa yang melatarbelakangi memberi sejumlah hadiah ke muazin?
Sang nasrani menjelaskan, hadiah itu sebagai ucapan terim akasih. Loh kenapa? tanya sebagian pengurus. Sebab sebelumnya putri bungsunya bersikeras akan masuk Islam. Sejak beberapa hari mendengarkan kebisingan suara toa dari masjid dia mulai meragukan Islam sebagai agama yang akan dipeluknya. Kemudian dia pun yakin untuk mengurungkan niatnya, masuk Islam. Sebagai orang tua saya pun bangga dan senang. Sebagai ungkapan rasa syukur pada tuhan saya berbagi dengan muazin masjid.
Mendengar penjelasan sang nasrani, pengurus masjid tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa mengucapkan terima kasih. Mereka berpamitan.
Nah, ternyata niat atau perbuatan baik itu butuh cara yang baik. Amal baik jika dilakukan dengan cara yang tidak tepat, tidak baik akan berdampak buruk. Tak menghasilkan manfaat. Area ini sebenarnya yang sedang ditata ulang oleh Gus Menag Yaqut Cholil Coumas dengan mengeluarkan SE 05 Tahun 2022 yang mengatur penggunaan pengeras suara masjid. Bagaimana mewujudkan syiar yang menyejukkan, membawah manfaat dan merahmati lingkungan dengan menggunakan toa masjid?
SE tersebut sepertinya banyak disalapahami. Dianggap kontroversial oleh publik secara luas. Padahal sebenarnya itu bukan hal baru. Sebelumnya Departemen Agama RI melalui Intruksi Dirjen Bimas Islam pada tahun 1978 telah mengatur hal yang serupa. Di beberapa negara Islam yang lain juga menerapkan hal yang sama, tentu ada berbagai perbedaan di dalamnya.
Kontroversi mencuat saat Gus Yaqut menjelaskan tentang SE yang dianggap kurang tepat oleh sebagian kalangan. Beliau memberi contoh kebisingan yang lain dengan menyebut suara anjng yang menggonggong saling bersautan juga dentum mesin mobil-mobil truk. Semua perlu diatur, tegasnya.
Keterangan sang menteri salah dipahami oleh publik. Gus Menteri Agama asal Rembang itu dianggap telah menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Hal itu terjadi karena ada upaya pihak tertentu yang melakukan pemlintiran dan penggorengan isu. Publik disuguhi rekaman video sang menteri yang tidak utuh. Video yang beredar secara luas (baca:viral) di media sosial hanya 30 detikan, padahal aslinya Gus Yaqut menjelaskan soal SE lebih dari 2 menit.
Dalam tulisan ini saya mengajak pembaca berpikir jernih, tidak bergeser jauh dari subtansi masalah. Pertama, SE mengakui bahwa penggunaan pengeras suara sebagai salah satu media syiar agama sekaligus kebutuhan bagi umat Islam. Namun, kita hidup dalam masyarakat yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang dan lainnya, sehingga diperlukan merawat persaudaraan dan harmoni sosial. Untuk tujuan tersebut SE Menteri dibuat dan dikeluarkan. Dari awal SE tersebut sesungguhnya tak ada masalah. Tujuannya jelas, sangat baik yakni menciptakan harmoni sosial masyarakat dalam menjalankan ajaran agama.
Kedua, dalam SE Menag penggunaan pengeras suara tak dilarang. Dalam hal azan juga tak ada larangan. Azan boleh menggunakan toa suara luar. Untuk pembacaan tarhim atau lainnya sebelum azan dikumandangkan waktunya dibatasi 10 menit untuk salat subuh dan 5 menit untuk empat salat wajib lainnya. Jadi apa masalahnya?
Kecuali jika SE itu melarang menggunakan pengeras suara luar saat azan maka hal tersebut jelas bertentangan dengan filosofi dan tujuan dikumandangkannya azan. SE hanya mengatur waktu, cara penggunaan pengeras suara baik terkait volume, suara dalam dan suara luar, serta lainnya. Semua kegiatan yang biasa dilakukan di masjid atau mushalah seperti pengajian rutin, salat jumat, salat idul fitri, tadarus alquran dan lainnya diperbolehkan menggunakan pengeras suara.
Ketiga, berbeda dengan aturan serupa di negara lain SE yang ditandatangani Gus Yaqut 18 February 2022 itu tak memuat sanksi apapun. Artinya SE itu dipahami sebagai; imbauan semata. Sehingga, pemberlakuannya pun bersifat kondisional. Bisa saja satu daerah semua warganya muslim, mereka tidak keberatan serta merasa nyaman mendengar berbagai suara dari toa sehingga pengurus masjid dapat menggunakan pengeras suara tersebut secara bebas.
Hal serupa tentu tak boleh dilakukan oleh masjid yang lingkungannya beragam latar belakang agama. Walhasil, semua kembali kepada keadaan, lingkungan, dan masyarakat sekitar masjid. Pengurus masjid sepantasnya bijak dalam hal ini. SE dapat dijadikan pedoman manakala masjid mendapat protes dari sebagian masyarakat lantaran pengeras suara masjid yang dianggapnya mengganggu.
Sekarang persoalan sudah tidak murni lagi, ada upaya menariknya ke area politik. Isu diciptakan untuk menjatuhkan seseorang. Itu terlihat dengan munculnya tuntutan mundur bagi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Lebih jelas lagi manakala sang menteri dilaporkan ke polisi dengan dugaan penistaan agama. Disinyalir Gus Yaqut diupayakan seperti Ahok. Berawal dengan editan video, demo berjilid-jilid hingga proses hukum yang tertekan oleh massa secara brutal.
Hanya bedanya, Gus Yaqut bukan Ahok. Gus Yaqut adalah tokoh Islam, cucu kiai besar, pemimpin ormas kepemudaan NU. Mustahil beliau melakukan penghinaan atau penistaan terhadap agama yang selama ini sedang dijaganya dari upaya radikalisasi.
Memetik hikmah
Sebaiknya kita mengambil pelajaran dari kasus ini. Pertama, sepantasnya kita berhati-hati dalam menyatakan sesuatu. Pelajari terlebih dahulu, lakukan tabayun atau klarifikasi sebelum melakukan tuduhan terhadap orang lain. Sebab tuduhan yang dilakukan secara serampangan akan menjadi senjata makan tuan. Bisa jadi anda dilaporkan balik oleh pihak yang anda laporkan.
Kedua, ditegaskan kembali bahwa perbuatan baik itu butuh cara yang baik. Cara, metode dan pendekatan itu sangat penting. Hal baik jika dilakukan dengan cara yang tidak baik akan menjadi buruk. Berdakwa, melakukan syiar Islam membutuhkan metode yang tepat, nan indah sehingga menarik orang lain. Lakukanlah dengan penuh hikmah, arif dan bijaksana. Demikian sepatutnya kita memahami soal pengaturan pengeras suara masjid yang dilakukan Kementerian Agama.
Ketiga, tak ada salahnya jika dijadikan pelajaran untuk semua pejabat publik agar berhati-hati dalam berbicara atau menyatakan pernyataan. Walaupun dalam kasus ini saya tak melihat kesalahan sedikit pun pada statemen Menag. Andai tak diplintir atau digoreng sebenarnya tak akan muncul polemic.
Walhasil, mari kita akhiri semua. Saya melihat bangsa Indonesia terlanjur sering menghabiskan waktu dan energi dengan isu-isu yang tak penting. Hal itu hanya mendatangkan perpecahan, konflik antara anak bangsa. Sudah, saatnya kita bersatu. Fokus mengejar ketertinggalan. Indonesia akan lambat maju menyaingi bangsa lain jika kita sibuk berpolemik, memainkan isu untuk saling menjatuhkan, saling menyerang. Berpolitik itu lima tahun sekali saja, sudah cukup. Selebihnya kita manfaatkan untuk mengisi pembangunan. Untuk apa sepanjang waktu kita berpolitik? Wa Allahu Alam Bishawab.
***
*) Oleh: Amirudin Mahmud, Pemerhati Sosial-Politik dan Keagamaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
_____
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |