Kopi TIMES

Pendidikan Sebagai Jendela Dunia dan Inspirasi Kesuksesan

Kamis, 07 April 2022 - 09:27 | 175.48k
Prof. Dr. H. M. Asy'ari , Guru Besar IAIN Madura.
Prof. Dr. H. M. Asy'ari , Guru Besar IAIN Madura.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MADURA – Pendidikan dan implementasinya sangat penting dalam meningkatkan kualitas setiap pribadi manusia dalam tatanan kehidupan duniawi menuju kehidupan ukhrawi.

Dalam kacamata saya, untuk dapat menjelajahi dunia harus dengan pendidikan dan untuk mengantarkan pada kehidupan akhirat harus dengan penguatan dan peningkatan ibadah khususnya berbagai ibdah dalam bulan suci Ramdaan.

Advertisement

Saya optimistis bahwa ibadah apapun yang dilakukan jika didasari pendidikan terutama pendidikan agama, maka akan sangat baik dalam pandangan manusia dan tinggi nilainya di sisi Allah SWT.

Oleh karena itu pendidikan khususnya pendidikan agama lebih khusus lagi dalam Ramadan merupakan sebuah keharusan mutlak untuk dikaji, dihayati, direalisasikan secara maksimal dan istiqamah, namun dengan penuh rasa tanggung jawab dan ikhlas guna mewujudkan kesejahteraan lahir batin sebagai manifestasi dari peribadatan untuk mencapai al-ihsan dan ketaqwaan yang benar-benar taqwa kepada Allah yang berdasar pada Naqli Quran, Hadis, ijma' dan qiyas.

Pendidikan yang berdasar pada empat sumber itu merupakan syarat mutlak untuk dapat mencapai suatu kemajuan dan kesuksesan. Kita harus yakin bahwa dengan pendidikan kita akan dapat mengimbangi roda perkembangan kemajuan dunia yang akan meninggalkan orang-orang yang tidak berkompeten untuk mengikutinya.

Pendidikan berkaitan erat dengan ikon-ikon pelaku, pendukung dan proses dari pendidikan tersebut. Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, mutu sumber daya manusia (SDM) pendidikan harus diperbaiki terlebih dahulu. Singkatnya, mutu pendidikan amat bergantung pada SDM pendidikan dan proses dari pendidikan tersebut. Mutu SDM pendidikan amat besar pengaruhnya terhadap mutu dari pendidikan itu sendiri.

Berdasarkan pemikiran di atas, pendidikan sebagai ujung tombak “penghasil SDM” mengemban tugas yang penting dan sangat strategis. Sehubungan dengan itu, keberadaan seorang yang ahli pendidikan adalah sebagai orang yang memegang peranan kunci (key position) dalam rangka mencapai tujuan di atas. Keberadaan seorang pemimpin dalam dunia pendidikan sangat diperlukan walaupun seringkali sulit untuk memilih dan mendapatkannya.

Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, kita sebagai anak bangsa harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global dan suatu saat menjadi pemimpin bisa mengedepankan kepemimpinan demokratis.

Untuk itu, pendidikan dalam penerapannya harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami, inovatif dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan harus mencetak anak bangsa atau lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam hal ini, peran pemimpin pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia amat besar pengaruhnya dalam menghadapi lingkungan dunia pendidikan di era gelobal yang sedang berubah mengarah pada 4.0 dan 5.0. Para petinggi dan Pemimpin pendidikan di Indonesia harus bisa membawa output dunia pendidikan Indonesia sebagai generasi yang memiliki daya saing yang tinggi dalam persaingan global baik dalam skala lokal, regional, nasional dan internasional.

UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan angin segar terhadap sistem pendidikan nasional, konsekuensi kongkrit dampak dari UU tersebut terwujudnya paradigma baru dalam sistem pendidikan nasional yakni apa yang disebut dengan Demokratisasi Pendidikan. Melalui paradigma baru ini pola sentralistik berubah menjadi desentralisasi, dan tentunya akan berdampak kepada kebijakan yang akan diambil, termasuk kebijakan apa yang akan dilakukan, tentulah disesuaikan dengan situasi dan kondisi negeri kita kini maupun yang akan datang, terutama di dalam menghadapi era globalisasi.

Demokratisasi pendidikan harus dijadikan suatu paradigma baru dalam memperkokoh sistem pendidikan Indonesia, dengan demokratisasi maka dapat ditemukan jati diri dan sistem pendidikan yang tepat. Sistem pendidikan yang demokratis memberikan ruang yang lebih besar kepada lembaga penyelenggara pendidikan dengan tawaran sebuah kosep merdeka belajar dan kampus/sekolah merdeka yang berpengaruh pada masyarakat untuk berperan dengan lebih nyata. Dengan demokratisasi pendidikan itulah dasar-dasar pembentukan masyarakat madani akan dapat dicapai secara maksimal.

Masalah pendidikan sangat terkait dengan kepemimpinan yang muncul bersamaan dengan dimulainya sejarah kehidupan manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok dengan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu maka harus adanya seorang pemimpin.

Rumusan kepemimpinan dari sejumlah ahli menunjukkan bahwa dalam suatu organisasi terdapat orang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi, mengarahkan, membimbing dan juga sebagian orang yang mempunyai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mengikuti apa yang menjadi kehendak dari pada atasan atau pimpinan mereka. Karena itu, kepemimpinan dapat dipahami sebagai kemampuan mempengaruhi bawahan agar terbentuk kerjasama di dalam kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.

Apabila orang-orang yang menjadi pengikut atau bawahan dapat dipengaruhi oleh kekuatan kepemimpinan yang dimiliki oleh atasan maka mereka akan mau mengikuti kehendak pimpinannya dengan sadar, rela, dan sepenuh hati.

Organisasi yang berhasil dalam mencapai tujuannya serta mampu memenuhi tanggung jawab sosialnya akan sangat tergantung pada para manajernya (pimpinannya). Apabila manajer mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, sangat mungkin organisasi tersebut akan dapat mencapai sasarannya. Suatu organisasi membutuhkan pemimpin yang efektif, yang mempunyai kemampuan mempengaruhi perilaku anggotanya atau anak buahnya. Jadi, seorang pemimpin atau kepala suatu organisasi akan diakui sebagai seorang pemimpin apabila ia dapat mempunyai pengaruh dan mampu mengarahkan bawahannya ke arah pencapaian tujuan organisasi.

Ada suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami kesuksesan dari kepemimpinan, yakni dengan memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Jadi yang dimaksudkan disini adalah gayanya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia inginkan.

Gaya kepemimpinan dalam organisasi sangat diperlukan untuk mengembangkan lingkungan kerja yang kondusif dan membangun iklim motivasi bagi karyawan sehingga diharapkan akan menghasilkan produktivitas yang tinggi.

Dibutuhkan pemimpin pendidikan Indonesia di era milenium yang memiliki jiwa kepemimpinan seutuhnya yaitu orang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi, mengarahkan, membimbing dan juga sebagian orang yang mempunyai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mengikuti apa yang menjadi kehendak dari pada atasan atau pimpinan mereka sehingga terbentuk kerjasama di dalam kelompok untuk mencapai tujuan organisasi dengan sadar, rela, dan sepenuh hati dengan gaya kepemimpinan yang khas.

Pemimpin pendidikan ini harus mampu menghadapi globalisasi. Dalam menuju era globalisasi, pemimpin pendidikan Indonesia harus mampu melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel. Demokratisasi pendidikan harus dijadikan suatu paradigma baru dalam memperkukuh sistem pendidikan Indonesia karena memberikan ruang yang lebih besar kepada lembaga penyelenggara pendidikan dan masyarakat untuk berperan dengan lebih nyata.

Di samping itu, pemimpin pendidikan tersebut harus mampu mengelola aspek-aspek kelembagaan, kurikulum, sumber daya manusia, pembiayaan, dan sarana prasarana dimana implementasi dari kebijakan tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi daerah.

Pemimpin pendidikan Indonesia harus mampu mengemas sistem pendidikan nasional berorientasi agar berorientasi pada pembangunan jiwa, harus berani mengambil kebijakan memajukan dunia pendidikan dan membuat alokasi dana pendidikan dana yang lebih besar di sektor pendidikan sebagai bagian investasi jangka panjang demi kepentingan masa depan bangsa. Kebijakan pendidikan nasional harus lebih pragmatis, kreatif, dan segera.

Pendidikan, dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya 

Pendidikan dalam Islam, antara lain berusaha untuk mengembangkan alat-alat potensial dari manusia tersebut seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan.

Pengertian pendidikan jika lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena dimana peristiwa perjumpaan antara dua bulan hidup, sikap hidup atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak. 

Semuanya akan dijadikan suatu proses yang dilakukan oleh masyarakat yangmana untuk mempersiapkan dan mencetak regenerasi seterusnya agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi serta memecahkan berbagai persoalan dalam kehidupan sosial mereka, karena pendidikan merupakan bagian daristrategi dalam kehidupan. 

Perkembangan pendidikan yang memunculkan fenomena universal, unsur orientasi yang mutlak terhadap kebutuhan manusia secara duniawi ataupun religius menuntut adanya pemilahan atau verifikasi terhadap pendidikan dengan konsep yang jelas. Tujuan pendidikan adalah untuk membangkitkan dan meneguhkan kembali cara-cara lama yang lebih baik.

Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan ahli filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para siswa dan anak didik. 

Pendidikan sebagai usaha memanusiakan manusia dalam arti bersifat manusiawi senantiasa perlu diorientasikan komponen-komponennya, sehingga tetap bermakna dan relevan dengan kebutuhan zaman, sosial masyarakat serta alam semesta. 

Dalam Islam, konsep pendidikan bukan hanya dikenal dengan konsep tarbiyah dan ta’lim, tetapi juga ta’dib yang meliputi pembinaan potensi intelektualitas, emosinalitas, dan spiritualitas (Al-Attas, 1984, p. 58). Pemaknaan pendidikan lebih jauh juga didefinisikan sebagai usaha untuk menginternalisasikan nama-nama keagungan Tuhan. Intensitas pengajaran Tuhan kepada Adam yang menyebabkannya harus dipatuhi dan dimuliakan adalah karena telah memiliki tiga macam kecerdasan yakni:kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dengan kecerdasan intelektual, Adam membaca, memahami, memanfaatkan dan memakmurkan alam semesta. 

Sistem dari pendidikan modern sekarang, belum mampu memberikan kesejahteraan hidup manusia, keluhuran moral, kemajuan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan keharmonisan sosial budaya. Pendidikan modern tidak lebih dari menambah daftar manusia yang tidak mampu hal apa yang sudah terlanjur diketahui, artinya mereka mendapat gelar ”pengangguran intelektual”, yang memunculkan kejahatan intelektual terus membengkak laksana kanker ganas.

Sistem pendidikan yang mampu mengkonstruksi pribadi yang intelektualis, moralis, dan spiritualis. Keterpaduan antara potensi intelektual, moral dan spiritual, akan melahirkan beragam kecerdasan, seperti kecerdasan transcendental atau kecerdasan spiritual plus (Tasmara, 2001, p. xii). 

Ary Ginanjar Agustian dalam (Tasmara, 2001, p. xi) melahirkan sebuah istilah yang segar berupa pemahaman dan pendalaman kedua inti rukun Iman dan rukun Islam. Ia memberi nama ESQ (emosional and spiritual quotient), atau kecerdasan emosi dan spiritual. Kecerdasan spiritual, yakni suatu kecerdasan yang bukan hanya tertumpu pada kualitas manusiawi (kognitif, afektif, dan psikomotor) seperti halnya yang diterjemahkan oleh psikolog barat, 

Benyamin Bloom, tetapi juga tertumpu pada pada nilai-nilai ke-Tuhanan (transenden). Kecerdasan seperti ini akan menjadikan kekuatan moralitas yang berpihak dan hanya akan terus berpihak secara konsisten pada nilai-nilai ke universalan. Kecerdasan spiritual merupakan fenomena baru yang lahir di abad XXI. Fenomena kehadiran aliran spiritual yang bermakna spirit atau semangat, lahir di era modern dan menyimbolkan dirinya sebagi new age, new thought, dan religion science. 

Pemaknaan apa itu kecerdasan spiritual masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan para pakar, di antaranya: Pertama, Ary Ginanjar Agustian, kecerdasan emosi dan spiritual bersumber dari suara hati. Sedangkan suara-suara hati itu ternyata berasal dan sama persis dengan nama-nama sifatsifat Ilahiyah yang telah terekam di dalam jiwa setiap manusia, seperti dorongan ingin mulia, dorongan ingin belajar, dorongan ingin bijaksana, dan dorongan-dorongan lainya (Agustian, 2007, p. 200).

Kedua, Jalaludin Rakhmat dan Komaruddin Hidayat berpendapat sebaliknya, bahwa kecerdasan spiritual tidaklah sama dengan agama. Orang yang beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual, karena agama di samping sebagai aturan-aturan formal, juga kadang-kadang berperan terhadap tragedI saling bunuh sesama manusia (Hidayat & dkk., 2002, p. 21). 

Dalam dunia pendidikan masa kini, yang lebih bercorak modern dan sekuler kadang-kadang berakibat ke arah hilangnya kualitas manusiawi (spiritual dan moral). Oleh karena itu perlu diterapkan suatu sistem pembelajaran yang lebih memprioritaskan keseimbangan antara pemimpin dan yang dipimpin (pendidik dan peserta didik), antara kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.

Proses Pembelajaran yang diarahkan kepada kualitas intelektual saja, belum tentu akan menghasilkan kecerdasan emosional dan spiritual. Sebaliknya proses pembelajaran yang diarahkan kepada kualitas emosional dan spiritual dengan sendirinya akan melahirkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual sekaligus memberi manfaat bagi kehidupan ummat baik dalam kehidupan duniawi dan kehidupan ukrawi.

***

*) Oleh: Prof. Dr. H. M. Asy'ari, Guru Besar IAIN Madura.

- Lulusan S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hi dayatullah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_______
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES