Menyikapi Quarter Life Crisis sebagai Pribadi Muslim

TIMESINDONESIA, MALANG – Globalisasi telah membawa berbagai macam perubahan pada kehidupan manusia. Sebagai sebuah fenomena global yang cepat akselerasinya dan dalam penetrasinya, globalisasi memiliki proses yang panjang dan ditandai dengan banyak hal. Salah satu aspek kehidupan manusia yang disentuh oleh globalisasi ialah kemajuan pada bidang teknologi dan informasi.
Kemajuan pada bidang teknologi dan informasi memungkinkan manusia untuk berhubungan dan bertukar informasi antara satu dengan yang lainnya dari manapun, dan kapanpun. Kini, terdapat banyak platform sosial media seperti Instagram, Facebook, TikTok, Twitter, Snapchat, dan sebagainya yang semakin memudahkan manusia mencari informasi.
Advertisement
Informasi yang ditawarkan internet dan sosial media semakin beragam dan semakin tak terbendung, mulai dari kabar sanak saudara hingga perkembangan konstelasi politik global. Misalnya kabar kelahiran seorang sepupu, wisuda seorang teman kelas, pernikahan seorang sahabat dengan mudah berhamburan di sosial media.
Kabar-kabar tersebut tentunya merupakan kabar bahagia yang harus dirayakan, namun berbeda dengan Generasi Z (selanjutnya disebut Gen Z). Sebagian besar Gen Z justru tertekan dengan kabar-kabar semacam itu, sebab menimbulkan kebingungan, kecemasan, dan keraguan akan masa depan. Keadaan emosional ini kita kenal dengan Quarter Life Crisis (QLC).
Gen Z (kelahiran 1997 - 2012) kini menginjak usia yang rentan akan Quarter Life Crisis atau Krisis Usia Seperempat Abad. Sebagian besar dari Gen Z mulai bertanya-tanya tentang tujuan hidup, motivasinya ada di dunia, atau apa alasan ia hidup. Seakan-akan merasa frustasi dengan kehidupan dan menghindari kehidupan sosial. Apalagi setelah mendengar kabar tentang kehidupan teman dan keluarga yang sepertinya berjalan sangat mulus di sosial media.
Menurut Dr. Oliver Robinson, Quarter Life Crisis memiliki empat tahapan. Pertama, keadaan psikologis dimana perasaan terjebak pada suatu situasi atau kondisi, seperti perkuliahan, pekerjaan, dan sebagainya. Kedua, keyakinan bahwa perubahan masih mungkin terjadi. Ketiga, tahapan membangun kembali kehidupan baru. Dan fase terakhir, yaitu memantapkan komitmen tentang minat dan nilai yang dipegang seseorang.
Quarter Life Crisis menjangkit sebagian besar Gen Z tanpa memandang suku, ras, maupun agama, pekerjaan, atau jenjang pendidikan. Selalu ada yang dirasa kurang dari kehidupan dan membuat insecure. Lalu, bagaimana sikap seorang muslim menghadapi Quarter Life Crisis?
Tahapan Umur Dalam Islam
Jika berkaca pada konsep tahapan umur dalam Islam, maka keadaan emosional bernama Quarter Life Crisis menjadi sangat tidak relevan. Seperti yang diketahui, Islam membagi tahapan umur menjadi tiga fase, yaitu fase kelemahan (janin dan masa kanak-kanak), fase kekuatan (dewasa), dan fase tua (degenerasi).
Batas usia fase kelemahan sebelum akil balig adalah lima belas tahun. Kemudian ketika seseorang melewati usia enam puluh tahun, maka ia mulai masuk pada saat peralihan ke fase tua. Dalam Islam, lima belas tahun merupakan waktu yang cukup untuk seorang anak mencapai usia balig. Meski begitu, dewasa kini seorang anak belum dianggap dewasa sebelum menginjak dua puluh tahun.
Sesuai dengan konsep Islam, Quarter Life Crisis seharusnya sudah dilewati sebelum seorang muslim akil balig. Sebab, akan sangat berbahaya jika seseorang yang menginjak usia 25 tahun mengalami kecemasan dan kebingungan terkait kehidupannya.
Pegangan Seorang Muslim
Sebagai seorang manusia, tentunya kita perlu memiliki pedoman dalam menghadapi persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Jika memosisikan diri sebagai umat Islam, maka pedoman hidup tersebut adalah Al-Quran.
Sejatinya, Al-Quran telah menawarkan segala solusi bagi umat muslim, termasuk menghadapi Quarter Life Crisis. Al-Quran mengajarkan manusia untuk senantiasa berikhtiar dalam keadaan apapun. Salah satunya ketidakpuasan atas pencapaian pribadi yang tidak membanggakan.
Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan membawa manusia pada lingkaran setan ketidakpuasan. Sangat sulit bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan standar kaku yang ditetapkan masyarakat. Misalnya, seseorang dapat dikatakan sukses apabila telah menjadi PNS atau lulus kuliah dalam waktu 3,5 tahun.
Hal semacam itu penting untuk sekedar dijadikan motivasi, bukan justru menjadikannya alasan untuk merenung arti hidup dan tidak produktif. Manusia diharuskan berikhtiar terlebih dahulu dengan segala kemampuan yang dimilikinya (fisik maupun non-fisik). Sesuai dengan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Setelah berikhtiar, langkah selanjutnya adalah bertawakal kepada Allah SWT. Tawakal, atau menyerahkan segala sesuatu yang dilakukan kepada Allah SWT akan menuntun umat Islam untuk memperkuat keteguhan hati dan menjauhkannya dari segala godaan.
Dalam konteks Quarter Life Crisis, bertawakal kepada Allah SWT akan memperteguh hati manusia dan tidak terpengaruh dari faktor-faktor eksternal seperti pencapaian orang lain. Dengan bertawakal, maka manusia dapat fokus pada apa yang bisa dilakukannya. Sesuai dengan firman Allah SWT, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal pada-Nya” (QS. Ali Imran: 159). Berikhtiar dan bertawakal tentunya harus diiringi dengan usaha lain pula, yaitu doa.
Sebagai umat Islam, kita mengenali istilah Tauhid (keimanan). Rasa khawatir itu pasti ada, namun iman seorang muslim membuatnya tahu ke mana harus bergantung dan kembali. Pada intinya, Quarter Life Crisis dapat dihadapi dengan baik jika beriman dan berbaik sangka pada sang maha pencipta.
Sebagai manusia, terkadang kita khawatir dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Padahal, setiap manusia memiliki garis yang berbeda-beda dalam menjalani kehidupan, dan semuanya telah didesain sedemikian rupa oleh Allah. Jadi, untuk apa lagi kita khawatir?
***
*) Oleh: Rivyan Bomantara, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |