
TIMESINDONESIA, MALANG – Pekeja rumah tangga (PRT) atau lebih umum disebut dengan istilah asisten rumah tangga (ART) di Indonesia menjadi suatu kelompok pekejaan yang sering mendapat beragam permasalahan. Penggunaan istilah antara PRT dan ART sering kali dianggap sama, namun pada dasarnya ART yang mengacu pada bahasa inggris yaitu assistent yang mengarah kepada pembantu.
Sementara penggunaan istilah pekerja dianggap lebih pas, karena pekerja rumah tangga bekerja di ranah domestik rumah tangga, serta untuk mendapat upah sama seperti kelompok pekerja lain. Dengan demikian PRT harusnya juga mendapatkan hak yang sama seperti dengan jenis kelompok pekerja lain.
Advertisement
Pembahasan terkait perlindungan terhadap PRT menjadi penting, terlebih PRT dinggap sebagai kelompok yang lemah. Data International Labour Organization (ILO) mencatat, di Indonesia terdapat lebih dari 4,2 juta PRT dan 84% dari PRT tersebut adalah perempuan. Konstruksi sosial pada masyarakat Indonesia, yang menganggap perempuan sebagai sub-ordinat serta kelompok yang lemah semakin memperburuk kondisi PRT.
Realitas yang terjadi di lapangan PRT seringkali mendapat penganiayaan, eksploitasi, beban pekerjaan yang tidak proporsional, permasalahan upah serta masalah-masalah lain. Menurut catatan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) tidak kurang dari 2.570 kasus kekerasan dialami oleh PRT.
Yang cukup memilukan, kekerasan terhadap PRT tidak hanya dilakukan masyarakat biasa, misalnya pada 2016 lalu, salah satu anggota DPR RI Fanny Syafriansyah alias Ivan Haz terbukti menjadi tersangka dalam kasus kekerasan terhadap PRT. Namun kasus demikian belum dapat diproses secara optimal lantaran belum adanya regulasi khusus pada pekerja rumah tangga. Permasalahan PRT sampai saat ini memang belum ada regulasi yang jelas, UU Cipta Kerja tidak memasukkan PRT, di dalam pasal KUHP juga belum jelas mengatur terkait masalah tersebut. Selain penganiayaan dan eksploitasi, data lain menunjukkan permasalahan yang dirasakan oleh PRT. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata upah nominal PRT (2021) hanya 425 ribu rupiah. Angka tersebut tentu masih jauh dari kata layak.
Selian angka upah yang sangat kecil, kepastian regulasi terkait jam kerja juga diperlukan. Pekerja pabrik yang bekerja selama 8 jam perhari berbeda dengan PRT yang bekerja bahkan hingga 12-16 jam dalam satu hari, serta 6-7 haari dalam seminggu. Kejelasan terkait hari libur, hak cuti, jaminan sosial, dan kontrak kerja sampai saat ini juga tidak diatur oleh UU apapun. Dengan demikian diperlukan sebuah regulasi khusus yakni Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
RUU PRT memang sudah selayaknya disahkan, sama seperti pekerjaan lain yang perlu mendapat kejelasan hukum dan perlindungan. Peraturan profesi lain seperti UU Cipta kerja bagi kelompok pekerja, UU Advokad, guru, dokter, dosen, serta UU profesi lain. Terlebih PRT bekerja di ranah domestik yakni rumah tangga, yang sangat rawan serta minimnya pengawasan sehingga perlu perlindungan yang jelas.
RUU PPRT sebenarnya telah diajukan ke DPR sejak tahun 2004, sejak saat itu antara 2004-2009 selalu masuk pembahasan pada program legislasi nasional. kemudian pada 2009-2014 dilakukan riset terkait RUU tersebut oleh DPR, uji publik, serta penyerahan draft kepada badan legislatif. Pada 2014-2019 RUU tersebut berhenti di Baleg. Pada periode 2019-2024 RUU tersebut masuk dalam RUU prioritas DPR. Namun sampai saat ini belum juga disahkan menjadi Undang-Undang.
Pengesahan RUU PPRT merupakan manifestasi dari keseriusan negara terhadap perlindungan bagi pekerja rumah tangga. Lebih jauh lagi perlindungan terhadap PRT serta masyarakat Indonesia secara umum merupakan amanat konstitusi. Mengutip pasal 27 UUD 1945 bahwa setiap masyarakat berhak mendapat perlindungan hukum, hak mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak. Serta pada pasal 28D yakni hak atas pengakuan, jeminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Dengan demikian RUU PPRT penting untuk segara disahkan untuk menjamin kepastian hak dan hukum, serta untuk memutus angka eksplotasi terhadap pekerja rumah tangga.
***
*) Oleh: Muhammad Nastain, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Irfan Anshori |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |