Kopi TIMES

Perlukah 'Motif' dalam Kasus Irjen Ferdy Sambo?

Senin, 15 Agustus 2022 - 17:14 | 85.23k
Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H.; Advokat & Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H.; Advokat & Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Penulisan ini berkaitan dengan kasus matinya Brigadir Yosua yang diduga dilakukan secara berencana oleh Irjen Ferdy Sambo, di mana kasus ini telah menjadi perhatian publik Indonesia bahkan manca negara. Oleh 'Tempo.co tertanggal 12 Agustus 2022 melalui Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi mengatakan dari pengakuan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Ferdy Sambo mengaku telah merencanakan pembunuhan Brigadir Josua sejak dari Magelang'.

Dalam perkembangan kasus Brigadir Yosua, sekarang muncul perdebatan panjang terkait 'motif' dari beragam macam versi yang berdatangan, baik itu itu dari Irjen Ferdy Sambo, Penasihat Hukum Brigadir Josua ataupun versi dari Penasihat Hukum Bharada E. Dan pertanyaan terkait 'motif' ini,juga penulis melihat seperti dibesar-besarkan oleh pemberitaan media televisi swasta nasional, seakan-akan 'motif' menjadi kunci utama membuktian perbuatan pidana dugaan pembunuhan berencana. Sehingga muncul pertanyaan, apakah 'motif' diperlukan dalam kasus pembunuhan berencana? 

Advertisement

Sejatinya pembunuhan berencana dan pembunuhan pada umumnya merupakan suatu tindakan jahat (mala in se/mala per se), yang walaupun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), akan tetapi telah dinilai sebagai tindakan yang telah bertentangan dengan prinsip moral yang terdapat dalam kaidah agama itu sendiri. Dalam ajaran hukum pidana, pembunuhan berencana ataupun pembunuhan biasa masuk dalam jenis delik materiil, di mana dalam delik materiil (de delicten met materiele omschrijving) yang menjadi fokus adalah akibat dari suatu perbuatan pembuat pidana (tersangka atau terdakwa) dalam suatu peristiwa pidana. 

Perlu untuk kembali melihat Pasal 340 KUHP yang berbunyi ' Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun'. Sedangkan Pasal 338 KUHP berbunyi 'Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun'.

Dalam dolus Pasal 340 KUHP terdapat 3 (tiga) unsur penting; 
1) sengaja (niat/mens rea), merupakan keadaan psikis pelaku yang mana hanya diketahui oleh pelaku dan Tuhan Maha Esa;
2)rencana, lebih dahulu terkait dengan berpikir tenangnya pelaku untuk mempersiapkan tindak pidana, dan; 
3) rencana, terkait pembuat pidana sudah melaksanakan tindak pidananya. Apabila rencana tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut bisa masuk sebagai percobaan pembunuhan (Pasal 53  ayat (1) dan ayat (3) KUHP). 

Titik letak mens rea dalam Pasal 340 KUHP yakni sengaja, direncanakan dan rencana, yang mana ini bersifat kumulatif, artinya apabila salah satu unsur tidak terpenuhi, maka bisa masuk dalam delik pidana yang lain. Selain itu, sengaja dimaksud tidak spontan, namun ada waktu untuk berpikir dengan tenang mempersiapkan skema pembunuhan, bahkan pada sisi lain berpikir dengan tenang itu bertujuan untuk membatalkan niat untuk melakukan perbuatan pidana, sehingga delik pembunuhan berencana ini disebut dengan dolus premeditatus.

Hal ini berbeda dengan dolus repentinus yang terdapat dalam Pasal 338 KUHP, yang sifat deliknya dilakukan dengan spontan tanpa berpikir  panjang dan tenang, terkait dengan cara membunuh seseorang, sedangkan disisi lain dalam pidana pembunuhan biasa, antara kehendak membunuh dengan pelaksanaan pembunuhan merupakan satu kesatuan.

'Motif' hanya suatu hal non hukum yang mana diluar dari normatif-deskriptif Pasal 340 KUHP. Hal ini sangat beralasan dikarenakan apabila kembali melihat unsur-unsur delik pembunuhan berencana, tidak sama sekali mencamtumkan 'motif, sehingga secara hukum pidana 'motif' patut dikesampingkan, dikarenakan yang dibuktikan nantinya dalam persidangan adalah delicts bestandelen 'sengaja' dan 'rencana lebih dahulu'.

Dikarenakan ini bagian yang tak terpisahkan dari post factum atau akibat yang paling mendekati matinya korban tindak pidana. Terakhir, penulis ingin sampaikan bahwa sengaja/niat jahat (mens rea) sebagai delicts bestandelen di atas merupakan motede berpikir pembentuk undang-undang untuk merasionalkan 'mens rea' yang merupakan bagian dari keadaan psikis pembuat pidana yang masih abstrak menjadi wujud yang bisa dikonkritkan dalam perumusan unsur-unsur delik (moord), dengan tujuan membantu aparat penegak hukum dan korban dalam mencari kebenaran materiil.

Sehingga,  'Motif' tidak diperlukan, dikarenakan hanya berada dalam posisi untuk meringankan atau memberatkan perbuatan terdakwa dalam pemeriksaan sidang pengadilan, dan bukan sebagai inti delik (delicts bestandelen). (*)

***

*) Oleh : Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H.; Advokat & Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES