Kopi TIMES

Penegakan Hukum; Problem Struktur Hukum dan Etika Profesi

Minggu, 25 September 2022 - 11:17 | 74.04k
Mushafi Miftah (Ketua Program Studi Hukum dan Direktur Pusat Kajian dan Konsultasi Hukum  Universitas Nurul Jadid Paiton)
Mushafi Miftah (Ketua Program Studi Hukum dan Direktur Pusat Kajian dan Konsultasi Hukum  Universitas Nurul Jadid Paiton)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dunia penegak hukum, kembali menjadi sorotan. Ini terjadi menyusul kasus yang menjerat Hakim Mahkamah Agung Sudrajat Dimyati yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Jumat 23/09/ 2022. Sebelumnya, dunia kepolisian juga mendapat ujian yang sama setelah meledaknya kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo. Kasus ini, semakin parah dengan banyak anggota kepolisian yang terlibat dalam kasus ini. Sejumlah Polisi terseret dalam kasus ini. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkap, hingga saat ini sebanyak 16 polisi yang ditempatkan khusus atau dikurung terkait kasus dugaan pelanggaran etik kasus pembunuhan Brigadir J (Rabu 24 Agustus 2022).

Fenomena itu tentu sangat menyedihkan dan memperihatinkan mengingat dua lembaga tersebut merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum, namun beberapa oknumnya justru menjadi bagian pelanggar hukum itu sendiri. Karena itulah, kasus ini juga sudah pasti telah membuat publik tercengang dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin lembaga kepolisian dan lembaga kehakiman yang selama ini menjadi aktor dan garda terdepan dalam menjaga marwah penegakan hukum, tapi oknumnya yang terlibat dalam pelanggaran hukum. Kondisi tentu bertolak belakang dengan esensi penegakan hukum yang menuntut sikap integritas moral. Karena sikap integritas moral inilah modal utama para penyelenggara penegakan hukum.

Prilaku oknum Hakim Agung dan Polisi tersebut secara tidak langsung akan menimbulkan distrust (ketidakpercayaan) dari publik terhadap lembaga kepolisian dan peradilan. Ini artinya, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Hakim Agung dan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut, telah memporak-poranda kepercayaan publik terhadap nilai-nilai penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum baik itu, kepolisian maupun lembaga peradilan. Untuk itu, penting pemerintah segera melakukan evaluasi kepada lembaga-lembaga penegak hukum, untuk mencegah kasus-kasus yang sama terjadi di masa yang akan datang.

Struktur dan Budaya Hukum

Melihat banyaknya kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hokum, maka reformasi terhadap wilayah struktur penegak hukum mutlak harus dilakukan. Karena, prilaku aparat penegak hukum pada hakikatnya merupakan tolok ukur terhadap prilaku masyarakat. Bagaimana mungkin bisa melakukan penegakan hukum secara professional, sedangkan pada saat yang bersamaan ia menjadi bagian dari problem hukum itu sendiri. 

Dalam sebuah teorinya, salah seorang profesor hukum dari Amerika Serikat yang bernama Lawrence Friedman mengatakan, penegakan hukum itu akan efektif apabila memenuhi tiga syarat, yaitu subtansi hukumnya baik, struktur hukum profesional, dan budaya hukumnya tinggi.  Substansi hukum yang dimaksud disini ialah menyangkut perangkat perundang-undangan. Untuk struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat atau kesadaran masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

Jika kita cermati pada aspek subtansi hukum, Indonesia bisa dikatakan relatif baik, walaupun perlu ada beberapa perbaikan-perbaikan dalam sistem penyusunan peraturan perundang-undangannya. Akan tetapi di bidang srtruktur hukum dan budaya hukum, tampaknya masih rendah dan jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari banyak oknum penegak hukum yang terseret kasus pidana, baik pungli, pembunuhan hingga tindak pidana korupsi. Untuk itulah,  reformasi terhadap birokrasi dan struktur hukum serta membangun kesadaran publik terhadap hukum adalah keharusan dan mutlak. Langkah ini sebagai bentuk dan sarana memulihkan moral lembaga penegak hukum terutama di kepolisian dan lembaga kehakiman yang saat ini menjadi sorotan publik.

Etika Profesi

Semua orang yang memiliki profesi, terlebih itu menyangkut profesi hukum, tentu memiliki kewajiban untuk menjaga etika profesi yang telah digariskan oleh Undang-Undang. Mengapa begitu, profesi hukum pada hakikatnya merupakan standart moral bagi para penegak hukum. Surjono Sukamto mengatakan, Hukum sebagai kaidah sebenarnya merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas dijadikan acuan oleh semua elemen masyarakat tak terkecuali pejabat publik atau struktur hukum yang bernama aparat penegak hukum. 

Untuk itulah Imanuel Kant mengatakan, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum masyarakat, pada hakikatnya merupakan problem moralitas dan etik yang ada pada diri mereka. Karena dalam keprofesian, lebih-lebih menyangkut profesi hukum, seseorang dituntut untuk memiliki sikap profesional, artinya para penegak hukum tidak boleh membawa kepentingan pribadi dan harus mendahulukan kepentingan publik sesuai profesinya. Dalam konteks inilah, profesi penegakan hukum itu sebenarnya tentang nurani.

Idealnya, etika profesi bagi penegak hukum merupakan sikap hidup yang harus dijaga. Karena sikap hidup penegak hukum akan menjadi role model bagi masyarakat. Jika penegak hukumnya profesional dalam menjalankan tugasnya, maka akan terbangun akan terbangun kesadaran hukum di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, jika aparat penegak hukum tidak profesional, justru akan menambah masalah hukum di masyarakat.

Dengan demikian, selain perbaikan terhadap struktur dan budaya hukum,  maka yang perlu dibangun adalah kedasaran aparat penegak hukum baik Polisi maupun Hakim, etika profesinya. Karena integritas dan moralitas hakim dan polisi adalah percontohan bagi masyarakat.  Janganlah bicara penegakan hukum dan kepatuhan terhadap hukum jika dirinya bukan bagian darinya. Karena sikap penegak hukum adalah perwujudan dari penegakan hukum. Untuk itulah sudah menjadi keharusan bagi penegak hukum memiliki sikap integritas moral. Tolok ukur utama menjadi penegak hukum adalah kuatnya integritas moral dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Wallahu A’lam.

*) Oleh: Mushafi Miftah (Ketua Program Studi Hukum dan Direktur Pusat Kajian dan Konsultasi Hukum Universitas Nurul Jadid Paiton)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES