Kopi TIMES

NU, Pesantren, dan Nalar Fikih Peradaban

Kamis, 13 Oktober 2022 - 17:48 | 60.79k
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Ragam problematika sosial kemanusiaan yang menghimpit negara kita seperti tak kunjung usai. Hampir setiap hari masyarakat kita dijejali dengan informasi yang beragam dan kontroversial. Mulai dari kekerasan dan tawuran antar sesama warga bangsa, kekerasan dalam rumah tangga, narkoba yang kian merajalela, hoaks yang membudaya, korupsi tiada henti, hingga ujaran kebencian (hate speech) yang menggurita di berbagai media sosial. Berbagai persoalan itu menimbulkan tanda tanya besar di sebagian elemen masyarakat. Pesantren sebagai subkultur keindonesiaan merasa turut prihatin dengan hal tersebut.

Pesantren dengan kekayaan khazanah klasiknya seperti kitab kuning sebagai salah satu instrumen pentingnya dituntut berperan aktif mampu menjawab persoalan-persoalan aktual yang muncul di tengah-tengah masyarakat.   

Apa yang dirasakan pesantren ternyata juga menjadi kegelisahan Nahdlatul Ulama (NU). Belakangan ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui duta ahlinya, Ulil Abshar Abdalla aktif menggelar halaqah fikih peradaban di berbagai pesantren yang ada di Indonesia. Menurut Gus Ulil, panggilan akrabnya, terdapat sekitar 300 halaqah yang diinisiasi oleh PBNU dalam jangka waktu lima bulan ke depan. Muaranya adalah digelarnya Muktamar Internasional Fikih Peradaban di Jakarta yang menghadirkan para ulama besar dunia saat ini untuk membincang berbagai persoalan kemanusiaan dalam kacamata tata dunia baru dan global kekinian. 

Berbicara tentang peradaban tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan lembaga pesantren dan NU di Indonesia yang familiar dengan kekayaan keilmuan Islam atau kitab kuningnya. Terdapat penilaian yang agak skeptis mengenai eksistensi dan peran kitab kuning dalam menjawab dan memecahkan problematika kekinian. Sikap skeptis ini bisa diterima jika pola pemahaman dan cara berpikir dalam mengkaji kitab kuning tersebut tidak beranjak dari pola lama yang hanya sekedar mengulang dari sisi materi (qauli) dan tanpa ada upaya pengayaan dari sisi teori dan metodologi pemikiran (manhaji). 

Padahal jika mau jujur para ulama klasik mampu mengerek bendera peradaban Islam hingga mencapai puncak keemasan (golden age) salah satunya adalah karena faktor kemampuan melakukan inovasi dan improvisasi pemikiran di ranah teori dan metodologi tersebut. Kejeniusan para ulama klasik inilah yang sepertinya ingin dihidupkan kembali melalui berbagai halaqah tersebut. 

Tilikan sejarah tentang pentingnya hal tersebut telah dirintis oleh generasi muda NU di era 1980-an dengan menyelenggarakan halaqah di Pondok Pesantren Watucongol Muntilan Magelang pada tanggal 15-17 Desember 1988. Halaqah ini bertemakan “Telaah Kitab Kuning Secara Kontekstual”. Yang berbicara dalam kesempatan langka tersebut tak tanggung-tanggung. Mereka adalah KH Abdurrahman Wahid, KH Ali Yafie, KH Sahal Mahfudz dan KH M. Tholchah Hasan. 

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam kesempatan itu menyatakan bahwa kitab kuning sebagai referensi ilmiah bagi pesantren seharusnya lebih merupakan garis mendatar yang memberikan konsep-konsep pendekatan terhadap masalah-masalah ritual maupun sosial. Dalam hal ini, peningkatan kajian kitab kuning sebagai sumber pendekatan masalah, dapat diupayakan dengan metode munazarah yang tidak hanya sekadar mencari jawaban atas suatu masalah global yang sering tidak diperhitungkan implikasinya dengan aspek-aspek lain yang berkaitan, seperti yang terjadi pada bahtsul masa’il (pembahasan masalah-masalah agama) di beberapa pesantren. Namun, lebih dari itu, munazarah dimaksud dimodifikasi sedemikian rupa, agar dapat menyusun konsep-konsep aktual yang menjadi rujukan yang memadai bagi permasalahan sosial yang berkembang, sehingga pada gilirannya akan terjadi perubahan wawasan dari yang bersifat tekstual menjadi bersifat kontekstual.

Beberapa pointers yang dihasilkan dalam halaqah tersebut di antaranya; pertama, memahami teks kitab klasik harus dengan konteks sosial historisnya; kedua, mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab; ketiga, memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain, baik dalam lingkup mazhab Syafi’i maupun di luar mazhab; keempat, meningkatkan intensitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik; kelima, mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual dengan bahasa yang komunikatif.

Senada dengan Gus Dur, KH Husein Muhammad (2019) menggarisbawahi bahwa ada hal yang sesungguhnya sangat berharga bagi pembangunan keilmuan di pesantren yang dewasa ini belum mendapat perhatian serius dan luas, yakni pembacaan ulang (i’adat al-qira’ah) kitab kuning melalui ushul fiqh (islamic legal theory) atau kaidah-kaidah fiqh (legal maxims) terhadap masalah-masalah kontemporer. Dalam bidang ini, tidak banyak kitab kuning yang dikenal di pesantren, selain Waraqat karya Imam al-Haramain (419-478 H), Latha’if al-Isyarah dan Jam’u al-Jawami’ karya Tajuddin al-Subki (w. 769 H) serta Asybah wa al-Naza’ir karya Imam al-Suyuthi. Akan tetapi studi mengenai kitab-kitab ini masih sangat eksklusif dan tampaknya hanya dijadikan  sebagai pelengkap saja. 

Padahal menurut Husein Muhammad, dalam pandangan Ali Sami al-Nasyar, guru besar Universitas Kairo, ushul fiqh merupakan metode studi ilmiah paling akurat, bahkan lebih “realistis” dari logika Aristoteles yang menyebabkannya lebih sesuai dengan tuntutan kemanusiaan yang ilmiah. Ungkapan senada dikemukakan Ibrahim Madzkur, yang juga adalah guru besar Universitas Kairo, bahwa ushul fiqh lebih bisa bertahan dan sejalan dengan empirisme-rasional ilmu pengetahuan modern.

Kesaksian para pakar tersebut dapat dipahami. Ushul fiqh memperkenalkan kepada kita sebuah metodologi penelitian (al-manhaj al-istiqra’i), yakni sebuah pendekatan untuk mencari titik temu antara argumen normatif (hujjah naqliyyah) dengan realitas empiris. Tentu saja, ini akan menjadi landasan penting dalam upaya pemecahan berbagai masalah dan penemuan berbagai kenyataan. Ilmu pengetahuan memang merupakan sesuatu yang berkembang dan berubah, bukan suatu yang diketahui dan tetap (ma yu’raf wa yutqan), serta bukan pula sesuatu yang mapan dan tak dapat diterobos.

Realitas kontemporer saat ini ditandai dengan perubahan yang begitu cepat terutama di bidang sains. Nalar sains yang bertumpu pada metode berpikir ilmiah dan empiris mencengangkan umat manusia dengan berbagai temuan ilmiahnya. Progresifitas nalar sains terlihat di berbagai lini kehidupan sosial politik, ekonomi, budaya dan agama. Batas-batas antar negara dan benua dengan segenap kemajuannya melalui sains dapat diakses dengan mudahnya hampir tanpa sekat (global village) sehingga membuat dunia terasa semakin sempit dan kecil (small village). 

Fakta lain yang tak bisa dimungkiri adalah bahwa ternyata realitas sosial kontemporer sangatlah plural dan bahkan multikultural. Era society 5.0 adalah era serba multi. Multietnik, multikultur, multireligius, dan multitalenta. Di era seperti ini tentunya sebuah disiplin keilmuan tidak bisa berdiri sendiri menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan global yang menghimpit umat manusia. Oleh karena itu dibutuhkan berbagai pendekatan yang saling bersinergi dalam memecahkan problematika sosial-keagamaan dan kemanusiaan.    

Menurut M. Amin Abdullah (2020), Guru Besar Filsafat Islam dan Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di samping perlunya apresiasi dan pengembangan dari sisi metodologi (manhaji) keilmuan, pemahaman terhadap ajaran Islam (baca: kitab kuning) tentunya juga memerlukan berbagai pendekatan baru yang saling berkolaborasi dan bersinergi untuk menemukan satu bentuk penafsiran yang kontekstual, integratif, dan komprehensif.

Persoalan-persoalan kebangsaan dan kemanusiaan yang akut seperti tren korupsi jamaah, kekerasan di ranah publik dan privat yang semakin meluas, ujaran atau narasi kebencian (hate speech) di medsos, dan aksi radikalisme serta terorisme yang tak kunjung reda memerlukan penyikapan yang arif dan bijak. Diperlukan upaya deradikalisasi narasi agama dari para intelektual dan akademisi dengan mengedepankan pendekatan multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin keilmuan. Kolaborasi di antara mereka diharapkan mampu memecah kebuntuan permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dalam rangka inilah pendekatan keilmuan yang bersifat multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin (MIT) menjadi sebuah keniscayaan untuk dikedepankan. 

Urgensi pendekatan MIT tersebut terlihat misalnya—salah satunya—dalam menyikapi program vaksinasi massal Covid-19 yang dulu gencar dilaksanakan oleh pemerintah. Persoalan awal yang muncul di tengah masyarakat, terutama bagi umat Islam adalah bagaimana status hukum vaksin yang akan disuntikkan secara nasional tersebut. Problematika sosial kemanusiaan kekinian lain yang perlu disikapi adalah misalnya tentang wisata halal, pantai berbasis syariah, wacana dan gerakan khilafatul muslimin, fenomena crazy rich, crypto transaction, dan lain-lain. Dalam konteks ini, para agamawan (baca: para kiai dan praktisi bahtsul masa’il) secara arif dapat berkolaborasi dengan beragam kalangan cendekiawan dari beragam disiplin keilmuan untuk memecahkan berbagai problematika tersebut. 

Dari sini terlihat bagaimana pola pikir pemahaman kitab kuning yang diapresiasi oleh pesantren mau tidak mau harus berkolaborasi dan bersinergi dengan pendekatan-pendekatan baru dalam menafsir realitas sosial yang berkembang demikian pesat.  

Nalar fikih peradaban melalui upaya kontekstualisasi atau pembacaan ulang kitab kuning dan pendekatan MIT ini, diharapkan mampu memutus mata rantai tafsir agama yang hanya berpijak pada pemaknaan secara tekstual, rigid dan kaku.  

Walhasil, jika model dan pola pemikiran ini yang diapresiasi dan dikedepankan, maka kekhawatiran merebaknya narasi agama yang berbau radikal-tekstual akan dapat diminimalisir dan digeser ke arah pinggiran (peripheral discours). NU dan pesantren akan mampu berkontribusi nyata demi mengusung wacana besar fikih peradaban dalam bingkai kemajemukan bangsa dan tatanan dunia global. Problematika kekinian pun kian mudah terdeteksi dan terpecahkan. Dari sinilah terlihat urgensi dari nalar fikih peradaban itu. 

***

*)Oleh: Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES