Kopi TIMES

Budaya Peralihan Kepemimpinan pada Universitas Muhammadiyah Malang

Senin, 31 Oktober 2022 - 16:46 | 113.70k
Abd. Syakur, mahasiswa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Abd. Syakur, mahasiswa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Salah satu institusi pendidikan di tingkat perguruan tinggi yang saat ini dipandang matang yaitu Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mempunyai keunikan sekaligus kesesuai yang menarik untuk diteliti lebih lanjut, terkhusus berkaitan dengan gaya dan budaya alih kepemimpinan pada lingkup pemangku jabatan yang dapat dikatakan berhasil memimpin UMM

Fenomena perkembangan UMM berdasarkan periode terdapat empat era penting, yaitu era perintisan, era konsolidasi, era perkembangan bahkan hingga era ekspansi yang berkemajuan. Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) merupakan kampus yang orientasinya ke arah berkemajuan melalui visi Real University, yaitu menjadi kampus yang sebesar-besarnya.

Hal ini yang mendasari Abd. Syakur yang merupakan salah satu mahasiswa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang mengangkat fenomena tersebut menjadi penelitan disertasi. Selain itu mahasiswa yang juga berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas di Sidoarjo ini juga mengungkapkan alasan lain dimana tingkat keunikan yang sangat mengesankan dari dua pimpinan UMM yang diberi kewenangan lebih dan keistimewaan. Keunikan tersebut berupa memimpin lebih dari dua priode yang merupakan kebijakan khusus dan unik dalam sebuah organisasi khususnya Budaya Alih Kepemimpinan atau Budaya Pemilihan Rektor di PTM dengan sebuah fenomena yang tidak dimiliki oleh PTS lainya.

Budaya Pemilihan Pimpinan Universitas Muhammadiyah Malang

Pada penelitiannya Syakur menuliskan bahwa subjek yang ia teliti mengatakan pada dasarnya, Malik Fajar dipilih sebagai pimpinan dikarenakan mampu menerapkan beberapa jenis konsolidasi sebagai bentuk konkret dari transisi dari kepemimpinan gaya formalistik-struktural. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Schein dalam teori budaya organisasinya dimana konsolidasi yang dilakukan termasuk konsolidasi idiil yang menyangkut berbagai persoalan fundamental, value, visi dan cita-cita yang dibangun untuk dijadikan petunjuk, arah ke depan. Begitu juga konsolidasi struktural yang lebih mengutamakan pada penataan organisasi yang lebih strukturalis dan memiliki tugas serta fungsi yang jelas. Dan konsolidasi personal yang mendekatkan hubungan antar insani (human relation) yang lebih dekat lagi agar semua konsolidasi diatasnya berjalan dengan baik.

Walaupun ketiganya sama-sama memiliki peran penting. Namun, konsolidasi personal tetap harus dijadikan pondasi. Schein berpendapat bahwa hubungan personal ini yang akan menjadi jaminan supaya konsolidasi idiil dan struktural bisa berjalan dengan baik dan lancar. Proses konsolidasi ini terlihat secara jelas dengan adanya berbagai diskusi dan aksi-aksi nyata setelah diskusi secara progresif serta didorong dengan berbagai sarana atau fasilitas untuk melakukan konsolidasi. 

Selain itu beberapa subyek merasakan bahwa Malik Fadjar menularkan atau mentransformasikan ide-ide, impian-impian dan cita-cita yang ia inginkan untuk kemajuan UMM. Malik Fadjar juga merupakan seorang yang rendah hati, tidak sombong. Kerendahan hati disini harus dibedakan dengan sikap taklid yang memang sangat dihindari dalam tradisi Muhammadiyah. Penerapan gaya ini terlihat ketika pemimpin tawadhu’ kepada senior yang diartikan sebagai suatu sikap menghormati dan menempatkan sesuai dengan proporsinya 

Oleh karena itu Syakur menilai berdasarkan hasil diskusi dan  Nilai yang ditawarkan oleh teori budaya organisasi, pada diri Malik Fadjar jika dilihat dari kepemimpinan transformasi, terdapat beberapa nilai yang melekat pada dirinya sebagai pemimpin yang komplit, dan tampak kharismatik. Kharisma memberikan visi dan sense of mission memberikan rasa bangga mendapatkan penghargaan dan kepercayaan terutama yang dirasakan para bahawahannya.

Kemudian ia termasuk pemimpin yang inspirasional selalu mengkomunikasikan harapan yang tinggi melalui simbol untuk memfokuskan upaya dan ekspresi dari tujuan tentu dengan metode yang sederhana sehingga mudah dipahami dan ditindak lanjuti. Hal ini juga bagian dari perilaku pemimpin transformasional yang dapat memberikan stimulus antusiasme bawahannya, termasuk bagaimana ia menyiapkan penggantinya agar pola kepemimpinan dan kaidah organisasi yang telah diperjuangkan dapat diteruskan demi perkembangan UMM; dalam hal ini sangat nampak bagaimana Malik Fadjar diganti oleh Muhadjir Efendy.

Rektor Reformis lainya terpilih yaitu Muhadjir Effendy; yang menurut beberapa subyek dalam penelitiannya memang tidak bisa disamakan dengan Malik Fadjar. “Jika Malik Fadjar berjuang membawa UMM dari kondisi tidak memiliki apa-apa, bahkan gedung saja tidak punya. Maka Muhadjir memimpin UMM ketika Universitas ini sedang menapaki masa berbuah dari perjuangan Malik Fadjar,” ujar dari salah satu subyek yang Syakur teliti.

Meski demikian bukan berarti masa kepemimpinan Muhadjir Muhadjir effendy tidak memiliki tantangan dan tidak menghasilkan inovasi sama sekali. Sebaliknya, di tangan Muhadjir Effendy, UMM mampu memaksimalkan potensinya dan menggapai satu demi satu mimpi-mimpi yang dulu ditanamkan oleh Malik Fadjar dari satu forum diskusi ke forum diskusi yang lain secara terus menerus. 

Hal tersebut tidak lepas dari pola kepemimpinan Muhadjir effendy yang menerapkan beberapa gaya kepemimpinan. Demi menghormati para sesepuh dan pendahulu UMM yang memiliki jasa besar, ia memposisikan diri sebagai murid yang tawadhu’. Patuh. Menempatkan para senior di posisi struktural yang terhormat dan selalu dimintai pendapatnya. Gaya kepemimpinan guru ini juga ia gunakan ketika berurusan dengan mahasiswa dan orang-orang muda. Ia memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk berinovasi, bereksperimen, dan mencapai prestasi setinggi-tingginya.

Sedangkan dalam pengembangan bisnis Muhadjir berhasil memadukan pendidikan akademis dengan pengembangan bisnis. Ia memberikan instruksi dan arahan agar produk-produk penelitian akademik, sebisa mungkin juga bisa dimanfaatkan untuk dijadikan bisnis.  Dalam Hal manajerial dan kinerja bersama bawahannya, Muhadjir effendy tidak jarang menggunakan gaya kepemimpinan militer. Termasuk menggunakan cara peng-Kostrad-an ketika ada kerja yang tidak selesai atau tidak bisa dikerjakan. Pada sisi yang lain Muhadjir Effendy, termasuk pemimpin dengan kapasitas dan kapabilitas yang komplit karena dapat membuktikan dirinya sebagai rektor UMM, ia mendapatkan posisinya dan dapat melaksanakan tugasnya. Bahkan melalui proses pemilihan yang relatif kondusif hingga banyak civitas akademika UMM yang menyetujui kepemimpinannya hingga diperpanjang sampai beberapa periode.

Budaya Kepemimpinan di Universitas Muhammadiyah Malang

Terciptanya budaya pemilihan pemimpinan dalam suatu organisasi seperti di Universitas Muhammadiyah Malang bukan hal baru. Hal tersebut selain mengacu pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan kaidah PP Muhammadiyah yang telah ditetapkan, terdapat beberapa hal keunikan terjadi, sehingga rektor Universitas Muhammadiyah Malang selalu di perpanjang masa baktinya dan pemilihan rektor menjadi hal biasa. Hal lain yang paling terlihat yakni, di Universitas Muhammadiyah Malang, sejak rektor dari awal sampai sekarang selalu menerapkan budaya kepemimpinan seperti  ideologi yang dibangun harus berorientasi pada ajaran Profetik yang transformative sejalan dengan nilai-nilai ajaran islam. Dengan kata lain, seorang pimpinan yakni Rektor sebagai pimpinan tertinggi di lingkungan UMM harus bisa menempatkan ajaran dan keteladanan kepemimpinan Rosulullah Muhammad SAW sebagai rujukan utama dalam setiap kebijakan, keputusan dan relasi yang dibangun.

Corak kepemimpinan tersebut ditunjukkan oleh Malik Fadjar maupun Muhadjir Efendy yang merujuk gaya kepemimpinan AR. Fachruddin dengan gaya kepemimpinannya yang berorientasi pada nilai kebenaran/sidiq, nilai dasar yang komunikatif/tabligh, sehingga kemudian dapat dipercaya/amanah serta kecerdasan/ fatonah dalam setiap situasi pada institusi maupun di luar institusi yang dipimpinnya. 

Bahkan seorang rektor Malik Fadjar lebih mengutamakan sikap dan gaya yang sederhana salah-satunya dengan tidak menyombongkan institusi yang ia pimpin atas kampus lainnya. Demikian juga kesederhanaan juga diimplementasikan dalam pengawasan procedural yang tidak kaku, namun saling percaya dan mengandalkan self-control pada bawahannya merupakan sikap yang terus diterapkan tentu bukan hal tersebut tidak tegas, namun kesederhanaan ternyata dapat membawa problem yang ada menjadi motivasi berbenah diri.

Syakur melihat bahwa Malik Fadjar maupun Muhadjir Efendy sebagaimana penuturan para subjek penelitiannya, memposisikan dirinya lebih nyaman sebagai murid kepada setiap sesepuh atau senior-seniornya; bahkan juga posisi murid ini sering dipakai dalam gaya kepemimpinannya kepada bawahan-bawahannya sehingga bawahanpun agar mempunyai sikap segan dan malu mana-kala setiap tugas dan kewajibannya tidak tuntas dengan baik bahkan tidak dibuktikan dengan prestasi. Seorang guru maupun murid juga dituntut memiliki sifat SATAF (Sindiq, Amanah, Tabligh Dan Fatonah) sebagai sifat yang dimiliki Rasulullah saw. Kepemimpinan yang memiliki karakternya hingga kebijakan dan system yang diterapkan sampai pada lapisan terbawah, baik pada aspek nilai, norma ataupun aspek lain yang dirasa memiliki hubungan satu sama lain.

Gaya kepemimpinan lainnya yang terekam oleh Syakur adalah kepemimpinan dua rektor UMM yang menempati setiap fase perubahan segnifikan UMM, berdasar pernyataan subjek 2 juga mempunyai gaya kepemimpinan yang bersifat paguyuban sebagaimana ciri khas yang ada di Lingkungan PTM Muhammadiyah. Konsep kepemimpinan paguyuban sejalan dengan manajemen Ormas yang sedikit kurang profesional. Namun gaya tersebut memiliki kelebihan yakni lebih bersifat kultural sehingga lebih dinamis dan bersifat kekeluargaan. Hal tersebut membuat civitas akademika UMM bukan malah tidak disiplin namun konsepannya malah sebaliknya, kedisiplinan justru terbentuk melalui kesadaran personal bukan atas tuntutan aturan; hal yang demikian lebih awet dan mengakar ketimbang kesadaran yang dituntut atasnama peraturan.

Gaya tersebut pada dasarnya cukup kental sebagai ciri khas Persyarikatan Muhammadiyah, yakni para pemimpinnya tidak menonjolkan sosok individualnya, melainkan menjadi satu kesatuan pemimpin. Dalam perspektif social politik modern, cara seperti ini mirip dengan struktur kepemimpinan presidium, hanya saja dalam penerapannya lebih condong pada konsep kebersamaan dan saling mengisi satu sama lain atau kolektif kologial.  Konsep kepemimpinan paguyuban pada dasarnya banyak diterapkan pada masa awal perintisan UMM karena secara organisasi masih menyatu dengan Pimpinan Muhammadiyah Malang. 

Kepemimpinan Aktivis: Penggerak Organisasi

Membahas kepemimpinan yang ada di lingkungan UMM, nampaknya juga tidak lepas dari konsep kepemimpinan ala aktivis, disamping terobosan dan relasi yang dibentuk, nampaknya gaya kepemimpinan dari rektor perintis, rektor pengembang dan rektor berkemajuan yang memimpin UMM tersebut hampir semuanya mempunyai latar belakang sebagai aktivis. Sebagaimana kepemimpinan Malik Fadjar dengan Muhadjir Efendy, di lingkungan UMM keduanya sama-sama dikenal mempunyai latar belakang aktivis yang cukup diandalkan sehingga karakter tersebut dibawa pada saat memimpin UMM sehingga mampu menggerakkan organisasi atau civitas akademika UMM. Gaya kepemimpinan aktivis dicirikan dengan adanya cita-cita besar yang dibangun melalui diskusi-diskusi dan jejaring yang luas, kemudian diimplementasikan bersamaan gerakan yang visioner. 

Era kepemimpinan berikutnya adalah dengan gaya lurus dan dinamis yang terjadi pada tahun 2000 saat Malik Fadjar digantikan oleh penerusnya sebagai pemimpin UMM yakni kepada Muhadjir Effendy. Pada era Muhadjir Efendy, UMM secara sosial politik lebih fokus untuk memperkuat sistem internal dan menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan yang ada di sebelumnya. Demikian, lurusnya gaya kepemimpinan secara sosial politik ternyata harus diimbangi dengan dinamisnya institusi dan seisinya. 

Padangan budaya alih kepemimpinan yang diperkuat dengan budaya organisasi seorang pimpinan yang mematuhi aturan bagi pemimpin merupakan standar minimalis yang diterapkan demi kondusifitas yang dipimpin, sedangkan aspek sosialnya apa yang diterapkan tersebut harus dapat lebih dari sekedar pemenuhan terhadap standar yang ada. Oleh karena itu, gaya yang dinamis dapat juga diartikan sebagai gaya yang sewaktu-waktu dapat berubah yakni sesuai dengan kebutuhan, tuntutan dan zamannya. Sebagaimana saat UMM menyesuiakan diri dengan peraturan pemerintahan maupun kepemimpinan Muhammadiyah di tingkat pusat, wilayah maupun daerah. Kepemimpinan ini dimaknai Malik sebagai berfikir luas, luwes dan rasional. Sehingga budaya organisasi dapat dikatakan sebagai pelopor perubahan disebabkan budaya lahir dari melalui proses belajar-mengajar (learning process) sehingga budaya berkembang secara dinamis, serta befungsi sebagai formalisasi. 

Melalui semua hasil yang telah diungkapkan dalam penelitiannya saat menempih studi doktoral Universitas Muhammadiyah Malang, ada harapan yang disampaikan oleh Syakur dimana ia berharap Judul dan Topik seperti penelitian ini dapat dikembangkan dan dilanjutkan pada pimpinan PTM Muhammadiyah khususnya dan pada Pimpinan PTS umumnya agar memperoleh gambaran dari sebuah kesuksesan yang utuh dengan melalui proses yang terstruktur dan berkelanjutan. (d)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES