
TIMESINDONESIA, MALANG – Benarkah orang Indonesia "menuhankan bola" sebagaimana fenomena di luar negeri. Berterus terang mengatakan "my religion is ball" (agamaku bola).
Bola adalah segalanya. Alias tidak tergantikan. Presiden, gubernur, walikota/bupati, kepala desa dan pasangan hidup dapat diganti. Bahkan agama dapat berganti. Banyak orang berganti agama. Namun, kata Eric Cantona, "Anda tidak pernah dapat mengubah tim sepak bola favorit Anda". Sekali Arema tetap arema.
Advertisement
Orang Indonesia, pada umumnya, tidak mungkin menuhankan bola. Bola "tuhan," pemain idola sebagai "nabi," stadion "tempat ibadah," klub "agamanya" dan hiruk pikuk menyertai "kegilaan" bola lainnya.
Menuhankan bola adalah kiasan bagi orang-orang yang berlebihan dalam membela "kesenangan" pada klub favorit dan segala hal berkaitan dengan bola. Kesenangan berlebihan mendatangkan fanatisme.
Fanatisme bisa lekat dari berbagai macam kesenangan, kecintaan, paham dan lain sebagainya. Bersumber dari "segala sesuatu", termasuk bersumber dari agama. Para ahli agama sepakat, "fanatisme berlebihan dan taqlid buta tidak dibenarkan dalam beragama". Pilihan agama, meskipun keyakinan harus bertumpu pada akal sehat. Agama untuk orang-orang berakal (berpikir).
Di luar negeri, identitas agama adalah urusan pribadi (privasi). Bertanya "apa agamamu", membuat risih yang ditanya. Apa agamamu adalah pertanyaan tabu, menyangkut privasinya orang. Tidak etis mencampuri privasi orang.
Indonesia negara berdasarkan Pancasila. Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa". Wajib menunjukkan identitas agama. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berlaku memunculkan kolom agama.
Kolom agama wajib diisi. Tidak menyoal seberapa taat seseorang beribadah. Seseorang yang tidak menunjukkan sikap konsekuen dan konsisten dalam beragama, misalnya beragama Islam, muncul stigma "Islam KTP"
Pernah ada usulan kolom agama dihapus. Sontak usulan ini mengundang penolakan banyak kalangan. Alasan joke/anekdotnya, kalau meninggal dunia, tanpa identitas agama, bagaimana merawat jenazahnya. Negara tidak mungkin -sekalipun demi NKRI- membakukan secara nasional cara perawatan jenazah rakyatnya.
Di depan umum, apabila ada pertanyaan "apa agamamu?" Kemudian "diam saja" atau dijawab ala luar negeri, "soal agama urusan privasi". Cara menjawab seperti itu malah terasa aneh bagi yang bertanya.
Publik cenderung tidak menerima jawaban ala luar negeri. Apalagi berani menjawab "atheis atau komunis". Paling jauh muncul pernyataan "Bola, agama keduaku". Namun tetap harus menunjukan identitas, agama apa "sebetulnya" yang dianut.
Identitas agama adalah bagian dari identitas kelompok dan ke-Indonesiaan-nya. Negara mengakui secara resmi -awalnya lima- bertambah enam agama. Yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Kolom agama di KTP yang dimiliki warga Indonesia bertuliskan salah satu dari enam agama yang ada. Sedangkan aliran kepercayaan belum diakomodir dalam format KTP.
Pada zaman orde baru, berdasarkan TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditegaskan bahwa aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama.
Seingat saya, pada saat mengikuti penataran pola 100 Jam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada tahun 1989, fasilitator memberi pandangan "Aliran kepercayaan diarahkan (dibina) agar secara sukarela memilih agama yang ada"
Kini zaman reformasi, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), aliran kepercayaan diakomodir masuk dalam KTP (7/11/2017). "MK Putuskan Aliran Kepercayaan Masuk Kolom Agama KTP" (Tempo. co, 17/11/2017). Namun hingga kini (2022) belum ada pengadaan KTP yang menyebutkan aliran kepercayaan.
Sebelum itu, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, Dan Adat Istiadat Cina membawa implikasi Konghucu menjadi agama resmi negara.
Kepercayaan kepada tuhan menurut kajian antropologi pada awalnya masyarakat cenderung politeisme, yaitu kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu tuhan sembahan.
Menyembah roh-roh leluhur (dinamisme), menyembah benda-benda magis atau keramat (animisme), menyembah binatang (totemisme) dan sembahan-sembahan lainnya. Seiring kemajuan zaman beralih menjadi monoteisme, yaitu mengakui satu Tuhan.
Berdasarkan ajaran agama wahyu (Yahudi, Nasrani dan Islam) berkebalikannya dari kajian antropologi. Pada awalnya monoteisme, kemudian mengalami distorsi (syirik) dan perlahan menjadi politeisme.
Setiap Nabi diutus selalu mengembalikan pada ajaran monoteisme. Berubah ke politeisme, diutus lagi Nabi, hingga Nabi penutup. Kini diteruskan para ulama misalnya -mencegah- manusia dari menyembah bola. Monoteisme dalam Islam disebut tauhid, yaitu mengesakan satu tuhan.
"Laa ilaaha illallah" tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah SWT.
Pada dasarnya tidak ada manusia yang menuhankan bola. Namun secara samar, manusia secara umum -bukan sebatas penggemar bola- sering terjebak pada imajinasinya sendiri tentang tuhan. Tuhan dan agama menjadi banyak versi. Ajaran murni (tauhid) terus mengalami distorsi.
Imajinasi tentang tuhan dan agama membawa fanatisme berlebihan. Tulisan populer dari Gus Dur, "Tuhan Tidak Perlu Dibela" (Tempo, 1982) hingga kini masih relevan.
Tuhan dan agama yang berangkat dari imajinasi membuat "kesenangan" manusia mengatasnamakan tuhan memusuhi manusia lainnya". Padahal yang dibela ternyata "tuhan imajinasinya, "tuhan kesenangannya, "tuhan pikirannya", "tuhan kepentingannya" dan lain-lain yang dipertuhankan.
Sempat viral dan tetap muncul fenomena mempertuhankan (menjadikan tuhan) harta benda (harta), kedudukan (tahta) dan wanita. Akronim 3T (Harta, Tahta dan Wanita). Dalam dunia politik "tuhan kepentingan" dan di luar politik, pada umumnya "tuhan hawa nafsu".
Pemicu konflik antar anak manusia bukan karena "membela" siapa Tuhan pencipta langit dan bumi (rububiyah). Namun pada perbedaan siapa tuhan yang disembah (uluhiyah).
Kebanyakan manusia tidak konsisten antara keyakinan rububiyah dengan uluhiyahnya. Seharusnya paralel, kepercayaan kepada Allah SWT sebagai pencipta langit dan bumi diikuti pula dengan agama dan ibadah kepada-Nya dengan benar.
Bukan bersikap fanatisme berlebihan atau sikap sebaliknya tidak peduli dengan agama. "Percaya pada tuhan, tidak percaya pada agama", sebagaimana pilihan sikap agnostik banyak orang barat.
Realitas fakta yang disembah (uluhiyah) manusia memang berbeda-beda. Nasehat dari ulama sering menyebutkan, "dua orang Islam yang berkelahi saling bunuh-membunuh, keduanya masuk neraka". Mengapa? Menurut penulis, sebab ketika berkelahi tuhannya tidak sama. Satu tuhan harta, yang lain tuhan wanita.
Bukti pembunuhan pertama terjadi pada anak manusia (kisah Habil dan Qabil) bukan persoalan agama yang diajarkan Nabi Adam AS, melainkan "nafsu yang disembah adalah kesenangan memiliki wanita cantik bernama iklimah".
*) Penulis Adalah Didik P Wicaksono. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sholihin Nur |