Kopi TIMES

GPM, Stigma “Jadul” Penjaga Marhaenisme

Rabu, 09 November 2022 - 07:49 | 62.85k
 Ichwan Arifin
Ichwan Arifin

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada 11 November 2022, Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) akan menggelar rapat kerja nasional (rakernas) di Wisma Perdamaian, Semarang, Jawa Tengah. Ditengah isu perpecahan organisasi, rakernas menjadi momentum penting untuk konsolidasi organisasi, meneguhkan ideologi perjuangan dan merumuskan strategi dalam mewujudkan cita-cita organisasi.

Namun diluar hal itu, ada tantangan berat lainnya. Yaitu mempertautkan eksistensi organisasi dengan realitas kekinian. Serta memperoleh dukungan anak-anak muda sebagai konstituen utama organisasi. Saat ini, bisa jadi, organisasi ini juga tidak banyak dikenal dikalangan anak-anak muda.

Hal yang dapat dipahami. GPM didirikan pada 31 Mei 1947 dengan nama Pemuda Demokrat. Baru dalam Kongres ke IX Pemuda Demokrat pada 1963 di Solo, organisasi pemuda ini berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Marhaenis, disingkat GPM. Perubahan ini dapat dibaca sebagai bagian dari konsolidasi Partai Nasional Indonesia (PNI). GPM mempertegas relasi organisasi dengan partai tersebut.

Tragedi berdarah G30S/1965 mendorong perubahan lanskap politik yang berimbas pada banyak aspek, termasuk kepartaian dan organisasi kepemudaan. Konsolidasi politik Rezim Orba berdampak pada banyak organisasi yang dianggap lekat dengan ideologi kiri serta loyalis Bung Karno, PNI pun surut dari panggung politik Indonesia. Demikian pula GPM, eksistensinya menghilang meskipun sempat mengalami perubahan nama menjadi Pemuda Demokrat Indonesia.

Baru pada 1998, GPM coba dihidupkan kembali. Para aktivisnya memasang salah satu trah Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, sebagai Ketua Umum Caretaker DPP GPM. Namun strategi memasang trah Soekarno juga tidak sepenuhnya berhasil dalam konsolidasi organisasi. Organisasi ini mati suri cukup lama. Bahkan hingga muncul kembali gerakan untuk menghidupkan organisasi ini pada 2018, eksistenis organisasi ini seperti “mati enggan, hidup tak mau”. 

Publik juga tidak banyak melihat karya nyata dari organisasi ini, kecuali sebagai tempat berkumpul para “orang tua” untuk menyalurkan romantisme masa silam. Ibarat membuka “album kenangan”. Salah satu cirinya, agenda pertemuan organisasi menjadi ruang untuk mengenang masa lalu dari para pegiatnya.

Jargon “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jasmerah)” sering digunakan sebagai legitimasi. Namun tentu bukan untuk membuka album kenangan, yang dikehendaki Bung Karno saat melontarkan Jasmerah. Namun, jejak langkah masa lalu harus digunakan sebagai pasangan dialog sebagai refleksi, dikaitkan dengan realitas kekinian.

Situasi itu juga diperparah dengan konflik internal organisasi. Konflik yang biasanya bukan bersifat ideologis tapi lebih disebabkan oleh kepentingan pragmatis. GPM tak luput pula dari terpaan “penyakit organisasi” tersebut. Pusaran konflik itu juga yang menjadi salah satu pendorong diselenggarakan rakernas GPM ini.

Tantangan lainnya adalah membuat organisasi ini menjadi menarik bagi anak-anak muda. Jika GPM ingin diterima kalangan muda, maka aktivis organisasi ini harus dapat membaca dan menyelami kehidupan anak-anak muda kekinian. 

Pertanyannya adalah apa menariknya bagi mereka? Khususnya bagi anak-anak muda kategori Z yang tumbuh di dunia yang serba digital dan canggih. Mungkin, mereka juga tidak merasa perlu keberadaan organisasi, apalagi organisasi bernuansa jadul!  

Menjawab Tantangan

Jika tantangan ini tidak berhasil dijawab, maka dapat dipahami jika organisasi ini masih akan didominasi oleh orang-orang yang secara usia sudah tidak patut disebut sebagai pemuda.  Meskipun kondisi sedemikian itu, tidak hanya dihadapi oleh GPM, tapi juga organisasi kepemudaan lainnya. Namun tidak patut dijadikan sebagai legitimasi dan pembenaran.

Problem-problem seperti penting untuk diselesaikan, meskipun itu juga baru dalam aspek artifisial organisasi. Belum sampai pada tataran ideologis, yaitu pemahaman terhadap ideologi.

Karena itu, Rakernas GPM ini, seharusnya dijadikan sebagai momentum refleksi para aktivisnya. Jejak masa lalu harus ditempatkan sebagai pasangan dialog yang berorientasi ke masa depan. Adaptasi terhadap perubahan, sebuah keharusan. Jika tidak, rakernas hanya akan jadi ritual artifisial organisasi belaka. Tidak akan memberi makna nyata bagi para pemuda dan masyarakat secara luas. GPM pun hanya akan dilihat sebagai “fosil” atau artefak masa silam. 

Dalam konteks ideologi, GPM tentu tidak dapat dilepaskan dari marhaenisme. Apalagi istilah “marhaenis” dilekatkan sebagai bagian nama organisasi. Bagian ini pun, mungkin juga dianggap “jadul” bagi anak-anak muda kekinian. 

Saat ini, tidak banyak anak-anak muda yang mengenal jejak pemikiran dan gagasan besar Bung Karno. Jika ada, mereka lebih fokus pada pemahaman artifisial sosok Soekarno, bukan pada gagasannya. Sekarang ini juga tidak banyak anak muda tertarik bicara ideologi. Mungkin dianggap mengawang-awang. Bisa juga dirasa tidak mampu menjawab secara langsung problem yang mereka hadapi.

Situasi ini salah satu buah dari kebijakan Orba yang mengutamakan pendekatan ekonomi dan stabilitas politik. Kedua aspek tersebut adalah mantra Orba.  Jargon “pembangunanisme” dirumuskan sebagai narasi besar bernegara sekaligus mengabaikan aspek fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara seperti ideologi.

Meski demikian, kita tidak dapat sepenuhnya menumpahkan kepada Orba, segala penyebab yang membuat organisasi kepemudaan mati suri serta anak-anak muda yang mengalami tuna ideologi. Selain era Orba sudah lewat, lebih penting dari hal itu, harus ada “kritik oto kritik” internal organisasi.

Pertanyaan besarnya, apakah marhaenisme masih relevan dengan realitas kekinian? Ideologi itu digagas Bung Karno pada akhir abad ke 20, sebagai perlawanan terhadap kapitalisme pada masa itu. Disisi lain, dunia terus berputar dan jaman berubah. Diabad ke 21, kapitalisme tumbuh dalam wajah kapitalisme baru.

Dilahirkan dari rahim revolusi industri 4.0, kapitalisme abad 21 ini, sangat berbeda karakter dengan kapitalisme lama. Salah satu pembedanya adalah “kapitalisme percaloan”, sebagai ciri khas kapitalisme lama, telah ditinggalkan. Percaloan itu membuahkan inefisiensi dan hanya menguntungkan kaum “middleman” atau kelompok pemburu rente.

Transparansi dan efisiensi merupakan kata kunci kapitalisme baru. Konsekuensinya, pemburu rente mulai terdesak. Mereka menjadi kaya karena mengambil keuntungan dari inefisiensi, praktik suap, pengaturan regulasi, penghilangan kompetisi usaha, dan sebagainya. Perubahan karakter kapitalisme ini mengancam sumber-sumber kekayaan pemburu rente. Model kapitalisme lama inilah musuh besar marhaenisme.

Dalam konteks itu, jangan sampai GPM ikut menari dalam gendang para pemburu rente yang menggunakan jargon-jargon nasionalisme, seperti “neo-liberal, anti asing/aseng” dan sebagainya yang sebenarnya bagian dari “kemasan/jualan” para pemburu rente.

Tantangan lainnya adalah panduan bagi kita dalam menyikapi masalah terbesar manusia hari ini, yaitu keruntuhan ekologi dan disrupsi teknologi. Saat ini kita melihat banyak sekali terobosan baru di bidang teknologi, seperti kecerdasan buatan (artifisial intelligence), “internet of things”, komputasi kuantum inovasi buah revolusi industri IV dan sebagainya.

Situasi saat ini disebut Yuval Noah Harari, sebagai revolusi kembar teknologi informasi (infotek) dan teknologi biologis (biotek). Pada saat keduanya menjadi satu, akan menghasilkan algoritma Big Data yang dapat memonitor dan memahami perasaan manusia jauh lebih baik dari yang manusia sendiri. Tantangan dan situasi ini jauh lebih kompleks.

Karena itu, kita memerlukan visi baru untuk merespon perkembangan tersebut. Akankah itu kita dapatkan dari Marhaenisme? Jika hanya bertumpu pada narasi lama tentang marhaenisme, pasti tidak akan menemukan jawabannya. 

Selamat rakernas bagi para aktivis GPM!

**

*) Penulis: Ichwan Arifin. Mantan Ketua GMNI Semarang. Alumnus Pascasarjana UNDIP. Penulis buku “Sketsa Pergolakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia” dan antologi cerpen “Darah Juang, Ode untuk Alexandra”

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES