Kopi TIMES

Arema, Sepak Bola, Agama dan Indonesia (8)

Rabu, 09 November 2022 - 14:15 | 21.99k
Didik P Wicaksono
Didik P Wicaksono

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Indonesia "sedang tidak baik-baik saja". Pernyataan ini muncul dari banyak pihak. Baik otokritik dari dalam jajaran pemerintah sendiri maupun kritikan dari luar. Pihak luar biasanya dari akademisi (dosen, peneliti dan mahasiswa), politisi yang kritis, dunia usaha dan industri (karyawan, buruh, pelaku ekonomi mikro) dan lainnya yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah.

Demokrasi mengajarkan kesetaraan (egaliter). Kritik adalah cara "mengingatkan" pemerintah. Bukan menguliti "kekurangan personalnya." Kritik juga dilindungi oleh konstitusi negara.

Presiden pun pernah menyampaikan "Rindu untuk dikritik". Tentu saja yang dikritik bukan bentuk fisik, melainkan kebijakannya. Bukan bentuk bibir, melainkan kebijakan selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. 

Kritikan yang sempat viral dari BEM UI (2021), "The King of Lip Service" bukan serangan kepada personal. Respon ketika presiden (sebagai pejabat publik) kerap mengobral janji, namun tidak ditepati. Arti bebasnya "The King of Lip Service" adalah "raja yang manis di bibir, tidak dengan kenyataannya". Mirip idiom jawa, "abang-abange lambe" yang artinya "basa-basi."

Kritik kepada presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota dan pejabat lainnya karena mereka adalah pejabat publik. Pemegang policy yang berimplikasi kepada kehidupan rakyatnya. Pinjam quote Najwa Shihab, "Bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi, tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah hidup sehari-hari.”

Setiap orang boleh menyampaikan gagasan dan kritik di depan umum. Kepada person (manusianya) tetap "bersahabat" dan bersikap humanis, menghormati, menjunjung tinggi hak asasi dan martabat manusianya. 

Kritik itu digunakan untuk mengontrol kekuasaan agar tidak menyimpang atau bertentangan dengan demokrasi. Tanpa pemilu, misalnya "ujug-ujug" mengangkat presiden tiga periode. Respon kritik muncul ketika ada gelagat usulan dari elite politik presiden tiga periode. 

Pengamat politik, Rocky Gerung sering mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jejak digital kritikannya dapat dilihat di Channel youtube (Rocky Gerung Official) dan banyak media lainya. Lontaran kritik diantaranya, "otak kosong", "dungu", "anu itu jeda antara plo dan ngo", "hidup" dan kritik keras lainnya. Termasuk bagi Rocky Gerung dan banyak pihak lainnya bahwa ambang batas (presidential threshold) seharusnya nol, bukan dua puluh persen. Perbedaan pandangan dalam demokrasi adalah hal yang biasa.

Rocky Gerung, mendapat julukan "Presiden akal sehat", kritikannya tidak kena delik hukum selama menggunakan akal sehat. Hingga kini tetap kritis terhadap pemerintah. 

Luhut Binsar Panjaitan (LBP) menunjukkan contoh kritik yang disampaikan Rocky Gerung adalah bukti demokrasi, "Anda kritik saya banyak, anda kritik pemerintah banyak, kritik presiden juga banyak. It's okay, di situ demokrasi," (LBP, RGTV channel, 20/9/2022). Mahfud MD pun menilai, "Kalau Rocky Gerung Nggak Omong, Saya malah Susah" (RGTV Channel ID, 17/10/2022). 

Namun para pengkritik mesti hati-hati antara serangan personal (pribadi) dengan kritik kepada kebijakannya. Bisa saja dikomorbidkan -pinjam istilah covid 19- mengandung ujaran kebencian, penghinaan, pencemaran nama baik, perlakuan yang tidak menyenangkan dan delik hukum lainnya. Jika masuk (dipasalkaretkan) serangan pribadi, siap-siap saja, bisa kena delik hukum dan berakhir dipenjarakan. Semua orang kalau dicari-cari kesalahan bisa kena pasal hukum. 

Indonesia "sedang tidak baik-baik saja" dapat dilihat dari aspek sosial, ekonomi, politik dan hukum. Otokritik dari unsur pemerintahan mengaitkan situasi sosial dan ekonomi akibat bencana global covid-19. 

Sejak akhir tahun 2019, covid-19 perlahan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan ekonomi rakyat. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan pemerintah untuk memutus mata rantai meluasnya convid-19. Namun harus diakui bencana covid-19 telah memukul perekonomian rakyat. Bukan hanya perekonomian rakyat, menghantam pula negara dan dunia global. Krisis mengancam banyak negara besar. Dunia pun dinilai "sedang tidak baik-baik saja". Dipandang wajar, "sedang tidak baik-baik saja" merembet ke Indonesia.

Kritikan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia "sedang tidak baik-baik saja" muncul dari Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kritikan AHY menyoroti kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik, tarif tol dan kenaikan barang-barang kebutuhan lainya.

Politik dan demokrasi juga “sedang tidak baik-baik saja” berangkat dari pandangan Mahfud MD (Menko Polhukam). "Mahfud Sebut Demokrasi RI Sedang Tidak Baik-baik Saja" (news.detik. com, 18/9/2022)

Sementara itu hukum seolah melestarikan "tumpul ke atas, tajam ke bawah". Kasus menimpa "rakyat kecil" ditindak dengan cepat, kasus lain yang menimpa orang besar tidak ada tindakan. Supremasi hukum tidak ditegakkan dengan baik oleh penegak hukum. Hingga viral tagar "percuma lapor polisi" (akhir tahun 2021).

Demonstrasi marak terjadi dimana-mana. Demonstrasi menolak berlakunya omnibus law,  menolak kenaikan BBM dan bahkan juga demontrasi tuntutan "Presiden mundur"  

Jauh sebelumnya, demontrasi berkaitan dengan hasil pemilu 2019 dan tragedi kemanusiaan juga terjadi dengan banyaknya petugas KPPS 894 meninggal dunia. 

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 lalu. "Menurut Arief, total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit" (Kompas. com, 22/01/2020).  

Disusul kemudian korban covid 19 yang lebih dari seratus ribu korban meninggal dunia. Belum lagi tragedi pembunuhan atau tindak pidana dan kriminal lainnya yang melibatkan perorangan dan kelompok.

Peristiwa berkaitan hukum selain penangkapan dan persekusi kepada kalangan yang kritis pada pemerintah, juga pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Diantaranya yang paling menonjol adalah kasus Sambo. Di sejumlah tempat, ketika rakyat berjumpa polisi berteriak "Sambo-sambo". Sindiran yang mengenai mental para polisi. Padahal masih lebih banyak polisi yang baik.

Dibalik tragedi Kanjuruhan tidak lepas dari latar belakang situasi sosial, ekonomi, politik dan hukum di Indonesia. 

Pasca larangan aktivitas yang melibatkan massa karena covid 19, kegembiraan menyaksikan bola membuat penonton selalu hadir melebihi kapasitas stadion. Di sisi lain, maraknya demonstrasi "yang berjilid-jilid" membuat polisi siaga dengan peralatan maksimal. Bahkan peralatan untuk menghadapi demonstrasi senilai lebih dari empat ratus milyar. Dua tahun lalu, "ICW: Polri Beli Alat Pengamanan Demo Rp408 M Sejak September" (cnnindonesia. com,09/10/2020). 

Beberapa pengkritik melihat cara penanganan polisi persis menghadapi para demonstran. Polisi tidak melokalisir kerusuhan suporter bola. Persis mengatasi beberapa tawon yang menyerang, tapi sarang tawonnya yang dioyak-oyak.  Penembakan gas air mata di berbagai tribun membuat banyak penonton panik. Padahal menurut aturan FIFA terdapat larangan menggunakan gas air mata dalam pertandingan sepak bola. Apalagi di kemudian hari disinyalir gas air matanya kadaluarsa. 

Hasil temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), Tim Pencari Fakta Kontras, Komnas HAM dan lainnya menunjukan ada Tindak Pidana. Bahkan Tragedi Kanjuruhan, disebut "Pembunuhan Sistematis". Tim Pencari Fakta Kontras dkk Rilis 12 Temuan Awal Tragedi Kanjuruhan, Sebut "Pembunuhan Sistematis" (Kompas. com, 9/10/2022).

Saat menyelesaikan tulisan ini sebagai penutup, terdengar lagu Judika berjudul "Bagaimana Kalau Aku tidak Baik-baik Saja" (Judika, Juli 2021) namun diplesetkan dengan nyanyian pengamen, "Andai aku bisa memutar waktu, aku tak ingin memilihmu, ternyata hanya janji palsu, yang membuatku tertipumu"

Beberapa kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpesan  "hati-hati memilih presiden dan wakilnya pada pemilu 2024 mendatang!"

*) Penulis Adalah Didik P Wicaksono. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES