
TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Bagi NU, Muhammadiyah adalah saudara tua”, dawuh KH. Zulfa Musthofa. “NU Adik Bongsor, usianya 14 tahun lebih muda tapi anggotanya lebih banyak dari Muhammadiyah”, balas Prof. Abd. Mu’thi.
Kesan pertama dari dialog kedua tokoh yang mewakili PBNU dan PP Muhammadiyah ini adalah akrab, lekat, apa adanya dan penuh kekeluargaan. Najwa Shihab yang menjadi host acara dialog tersebutpun sangat lihai memancing keduanya untuk berbalas candaan penuh keakraban. Tak heran, jika potongan dialog ini akhirnya menjadi viral.
Advertisement
Saya tak ingin membahas pokok pikiran yang disampaikan oleh KH. Zulfa Musthofa dan Prof. Abd. Mu’thi, karena ide keduanya sudah jadi kesepakatan umum. Semua yang berpikiran waras pasti setuju dengan ide Prof. Abd. Mu’thi dan KH. Zulfa Musthofa, bahwa NU dan Muhammadiyah memiliki tanggungjawab yang sama, yaitu menjaga Indonesia. Karenanya, NU dan Muhammadiyah harus bersama dalam satu komitmen, menjaga Indonesia dengan mempraktikkan dan mengajarkan Islam ramah kepada ummat.
Respon Nitizen, Cermin Islam Indonesia
Pada tulisan ini, saya ingin mengupas respon yang ditunjukkan oleh nitizen. Paling tidak, dari respon tersebut, kita bisa membaca bahwa dialog kedua tokoh beda organisasi tersebut telah berhasil menyita dan menyedot perhatian masyarakat Indonesia.
Tidak sedikit teman-teman saya, dengan berbagai jenis latar belakang organisasi, strata pendidikan dan pekerjaan yang berbeda, memposting video pendek ini, di FB, di Instagram, groub WA, status story WA hingga Tik Tok dengan berbagai cutline positif. Mereka nampak senang dan mendukung keakraban yang ditunjukkan oleh dua tokoh tersebut serta bersepakat dengan ide dan materi dialog keduanya yang menunjukkan komitmen kepada persaudaraan, kerjasama dan saling support untuk kepentingan merawat Indonesia.
Saya sendiri tentu senang, bahkan sangat senang. Bukan sekali, sangat sering saya menulis atau menyampaikan secara lisan tentang pentingnya hubungan baik NU dan Muhammadiyah. Di kelas, di saat bersama dengan mahasiswa, di majlis-majlis ta’lim bersama pengurus NU dan masyarakat NU, saya selalu menyampaikan hal ini. Intinya, jika ingin Indonesia baik-baik saja, maka NU dan Muhamamdiyah harus memiliki visi yang sama, NU dan Muhamamdiyah harus tetap menjaga komitmen para pendirinya, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim As’ari, terutama komitmen keduanya tentang Keindonesiaan. Tentang kewajiban menjaga Indonesia.
Sebagai seorang dosen tentu saya tergelitik untuk mengkaji respon positif ini. Sebagai seorang pengurus NU tentu saja saya tergoda untuk lebih banyak mengetahui tentang bagaimana respon positif ini begitu massif di kader-kader NU. Untuk memuaskan penasaran saya tersebut, akhirnya saya melakukan sedikit kajian sederhana dengan dua pertanyaan utama, pertama, bagaimana mereka merespon video tersebut, kedua tentang harapan mereka tentang hubungan NU dan Muhamamdiyah, dan ketiga, yang terakhir, tentang harapan mereka pada NU dan Muhammadiyah dalam bingkai merawat Keindonesiaan.
Tentu kajian ini tidak seserius sebuah penelitian yang dijaga ketat oleh metodologi dan teori. Kajian ini sebuah kajian sederhana yang hanya ingin mencari jawaban atas beberapa pertanyaan di atas.
Kesimpulan sederhana dari hasil kajian saya adalah, pertama, para informan yang saya pilih untuk saya wawancarai, menyatakan bahwa mereka setuju dengan apa yang disampaikan oleh KH. Zulfa Musthofa dan Prof. Abd. Mu’thi, terutama tentang hubungan dekat antara NU dan Muhammadiyah. Para informan juga senang hubungan dekat dan saling support antara NU dan Muhammadiyah ini ditayangkan secara terbuka kepada ummat.
Kedua, setelah mereka menyatakan setuju atas isi dialog serta senang karena dialog tersebut menjadi viral di media sosial, mereka juga sangat berharap bahwa hubungan NU dan Muhammadiyah semakin dekat, semakin melengkapi dan saling mendukung. Kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini diharapkan terus menunjukkan sikap saling menyapa, saling membuka diri dan bekerjasama dalam banyak hal terutama yang berkaitan dengan kepentingan ummat dan kepetingan tanah air, Indonesia. Para informan juga berharap, agar NU dan Muhammadiyah belajar dari masa lalu, yaitu di saat hubungan NU dan Muhammadiyah kurang harmonis karena dinilai saling berebut “kue” kekuasaan, sebagaimana terjadi di masa Orde Baru. Para informan berharap, NU dan Muhammadiyah tidak terjebak dan jatuh pada jebakatan politik praktis yang cenderung akan membuat keduanya akan berhadapan-hadapan.
Ketiga, para informan sangat berharap, bahwa NU dan Muhammadiyah tetap eksis, tetap teguh menjaga komitmen ke Indonesian. Di saat Islam transnasional semakin kuat mengancam keIndonesiaan ummat Islam Indonesia, maka posisi NU dan Muhammadiyah sebagai bidan atas kelahiran Indonesia menjadi sangat signifikan. NU dan Muhammadiyah harus tetap menjadi garda terdepan untuk menolak semua provokasi Islam transnasional yang selalu mengkoreksi keIndonesia dengan cara membenturkan dengan tafsir keIslaman yang ekslusif, manipulatif, politis, penuh nafsu kekuasan dan kekerasan. NU dan Muhammadiyah diharapkan menjadi antitesa dari ajaran Islam transnasional tersebut.
NU dan Muhammadiyah Untuk Indonesia
Respon positif dan harapan besar para nitizen pada NU dan Muhammadiyah sebagaimana gambaran di atas memiliki legitimasi historis, bahkan legitimasi ilmiah, terutama dalam konteks merawat NKRI.
Secara historis, tak bisa dipungkiri, bahwa lahirnya Indonesia sebagai sebuah negara tak bisa dipisahkan dari kontribusi NU dan Muhammadiyah. Para pendiri NU dan Muhammadiyah, semisal KH. Hasyim As’ari dan KH. Ahmad Dahlan, adalah tokoh yang secara konsisten menolak penjajahan sekaligus mendorong kemerdekaan baik melalui jalan pendidikan, diplomasi bahkan hingga melalui jalan konfrontasi bersenjata. Perang 10 November 1945 yang begitu dahsyat, adalah buktinya. Perang yang menewaskan salah seorang jenderal terkemuka Inggris, AWS Mallaby, adalah buah dari fatwa jihad yang digelorakan oleh KH. Hasyim As’ari.
Di konteks kekinian, kontribusi NU dan Muhammadiyah untuk merawat kemerdekaan dan menjaga NKRI lebih besar tantangannya, terutama, ketika berbagai paham dan ideologi Islam transnasional deras berdatangan ke Indonesia. Pasca tumbangnya Orde Baru, kelompok ini berhasil menyasar kelompok terdidik, para professional, terutama mereka yang berada di perkoataan.
Data yang direlease oleh Alvara Institute tentang 30 juta penduduk Indonesia yang tidak lagi bangga menjadi Indonesia, dan mereka memilih tidak berafiliasi ke NU dan Muhammadiyah, adalah bukti nyata tentang kelompok Islam radikal ini, sekaligus menjadi menjadi alarm bahaya bagi Indonesia.
Jika 30 juta warga yang tak bangga menjadi Indonesia ini terus tumbuh berkembang, maka tak menutup kemungkinan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bagi bangsa Indonesia akan hilang, tergantikan khilafah Islamiyah, dan, di saat itu terjadi, maka NKRI akan hanya menjadi sejarah.
Untuk itu, untuk menjaga Indonesia, untuk menghadang gelombang paham khilafah dan takfiri yang dibawa oleh kelompok Islam transnasional ini, maka NU dan Muhammadiyah harus bergandengan tangan, menjadi kekuatan terdepan berhadapan dengan kelompok Islam transnasional ini. Islam ramah ala NU dan Muhammadiyah harus menjadi obat penawar atas racun Islam radikal yang dibawa oleh kelompok Islam transnasional. Cinta negara, hubbul wathan minal iman, sebagaimana diajarkan oleh NU dan Muhammadiyah harus terus digelorakan di tengah gencarnya kampanye negara Islam sebagaimana yang didoktrinkan oleh kelompok Islam transnasional tersebut.
Tanpa NU dan Muhamamdiyah, tanpa konstribusi kongkrit NU dan Muhamamdiyah, sepertinya, Pancasila sebagai dasar negara hanya tinggal menunggu waktu untuk digantikan khilafah. Maka, tak ada pilihan, selain meningkatkan kontribusi NU dan Muhammadiyah terutama dalam menjaga aqidah, ideologi dan cara berfikir ummat Islam dalam hal relasi antara Islam dan Indonesia.
*) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Bondowoso dan Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |