Kopi TIMES

Sumbangsih Proyek Food Estate Terhadap Perubahan Iklim

Sabtu, 26 November 2022 - 14:00 | 21.49k
Apria Ningsih, Alumni FMIPA Universitas Islam Malang, berfokus dalam penelelitian berkaitan dengan isu lingkungan dan Pendidikan. 
Apria Ningsih, Alumni FMIPA Universitas Islam Malang, berfokus dalam penelelitian berkaitan dengan isu lingkungan dan Pendidikan. 
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peran penting dalam pencegahan perubahan iklim.

Pada tahun 2007 sebagai tuan rumah COP-13 yang dilaksanakan di Bali, yang menghasilakan Bali Action Plan yang menempatkan peran penting hutan Indonesia dalam sekema REDD+. Hal ini bertujuan untuk memberikan solusi penurunan desforestasi di negara berkembang. Kominten Indonesia dalam kegiatan menggurangi kegiatan desforestasi juga ditunjukan dalam penandatangan Perjanjian Paris di New York, pada tahun 2016. Dimana dalam perjanjian tersebut, disebutkan bahwa hutan sebagai kunci upaya penurunan gas rumah kaca.

Advertisement

Komitmen Indonesia dalam berbagai ajang Internasional, nampaknya belum mampu mengubah pola pikir tetang pentingnya perananan hutan dalam mendukung ekonomi berkelanjutan. Hal ini ditujukkan dangan tingginya alih fungsi lahan hutan. Pemerintah memiliki andil yang tinggi dimana terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang justru berkebalikan dengan komitmen dalam pencegahan isu desforenstasi.

Salah satunya adalah proyek Food Estate, proyek ini bukan kali pertama menunjukan kegagalan.  Sejarah menunjukan bahwa program Food Estate sudah kali ketiga mengalami kegagalan. Program Food Estate pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan orde baru yang kala itu dipimpin oleh Suharto. Proyek ini berada di lahan gambut Kalimantan tengah, dimana proyek ini bedampak pada hancurnya keanekaragaman hayati, fagmentasi habitat hingga pusat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia.

Setelah kurang lebih 25 tahun berlalu, proyek Food Estate kembali digadangkan pada masa pemerintahan presiden SBY yang tak luput dari kegagalan dan rusaknya lahan hutan diberbagai wilayah yaitu 100 ribu hektar di Ketapang, 300 ribu hektar di Bulungan dan 1,23 juta hektar di Merauke. Dua kegagalan proyek ini menjadi salah satu penyumbang hilangnya hutan, dan keanekaragaman hayati Indonesia.

Kegagalan pemerintah di masa lalu, layaknya tak menjadi pembelajaran yang bermakana bagi pemerintahan yang saat ini. Preseiden Joko Widodo juga mengalakan program Rice Estate di berbagai wilayah di Indonesia. Program yang ditujukan untuk mengatasi krisis pangan pada masa pandemi. Terdapat 165 ribu hektar lahan hutan gambut dan hutan lindung di Kalimatan Tengah menjadi sasaran dilaksanakannya program ini. Setelah dua tahun berlalu lahan hutan yang sedianya akan menjadi sumber pangan bagi rakyat Indonesia justru mengalami kegagal besar.

Proyek ini juga tek terurus dengan baik. Rusaknya lahan gambut sebagai wilayah program Food Estate berdampak pada rusaknya ekosistem gambut. Hal ini berpengaruh pada tergangunya fungsi utama lahan gambut yaitu pelindungan ketersediaan air, kelestarian keanekaragaman hayati, penyimpangan cadangan karbon, penghasil karbon, penyimbang iklim yang terbagi mejadi fungsi lindung ekosistem gambut dan fungsi budidaya ekosistem gambut. Ekosistem lahan gambut di Indonesia memberikan cadangan karbon yang cukup besar. Berdasarkan penelitian wilyah lahan gambut di Papua memilki cadangan karbon sebesar 3.623 Mega ton (Mt) atau 3,6 Giga ton (Gt), wilayah Sumatra sebesar 22,3 Gt dan wilayah Kalimatan sebesar 11,3 Gt. 

Berdasarkan data dapat kita ketahui bahwa lahan gambut berperan peting dalam pemenuhan cadangan karbon tidak hanya di wilayah nasional, namun juga internasional. Namun situasi ini akan berkebalikan jika lahan gambut mengalami alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan gambut akan menyumbangkan emisi yang besar akibat pembakaran dan drainase.

Penelitian menyebutkan bahwa emisi dari system pertanian tanaman semusim yang ditimbulan jika terdapat pembakaran hutan 2,5 cm lahan gambut menyumbangkan emisi sebesar 55 t CO2/ha/tahun. Drainase yang umumnya berkedalaman 30 cm berpotensi menyimbangkan emisi CO2  sebesar 27 t/ha/tahun, sehingga total emisi yang disumbangkan sebesar 82 t/ha/tahun atau 2050 t CO2/25 tahun.

Dari gambaran ini kita dapat mengetahui bahwa jika proyek Food Estate yang digalakan oleh pemerintah dengan wilayah yang luas pada lahan gambut akan menyumbangkan emisi yang sangat besar. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada perubahan iklim dunia.

Oleh karena itu diperlukan pemerintah harus bertangung jawab, dalam mengembalikan fungsi hutan yang telah disulap menjadi lahan program Food Estate. Pemerintah harus mendorong adanya rehabilitasi hutan dan perbaikan system pengolahan lahan. Dalam mendukung pencegahan perubahan iklim.
 

***

*) Oleh: Apria Ningsih, Alumni FMIPA Universitas Islam Malang, berfokus dalam penelelitian berkaitan dengan isu lingkungan dan Pendidikan. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES