Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Hakikat dan Esensi Toleransi

Selasa, 29 November 2022 - 09:39 | 251.92k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Sebelum masuk ke dalam hakikat dan esensi toleransi, perlu dipahami apa itu hakikat? Dan apa itu esensi? Arti kata Hakikat menurut KBBI ialah “Intisari atau Dasar”. Arti kata “Esensi” menurut KBBI ialah “Inti atau Pokok”. Dari hakikat memiliki makna tentang “konsep dasar dari suatu hal” dan esensi memiliki makna “pokok atau hasil pokok dari adanya suatu hal”.  Pada pembahasan ini yang dimaksud dari suatu hal adalah “Toleransi”, hakikat toleransi, “Toleransi” adalah sebutan untuk sikap saling menghormati dan memberi kesempatan diantara kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan baik keyakinan atau agama, budaya, bahasa, ras, dan lain sebaginya untuk bertindak. Esensi toleransi, dari adanya makna toleransi ini  menimbulkan pemikiran dan kesadaran masyarakat untuk bersikap saling menghormati terhadap masyarakat lain yang memiliki perbedaan mindset dan kepercayaan baik dalam ranah agama, budaya, ataupun masalah sosial lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Advertisement

Jika terdapat kata toleransi berarti disitu juga terdapat perbedaan. Di Indonesia tidak asing dengan adanya perbedaan, dari perbatasan Sabang hingga Merauke penduduk pribumi Indonesia tidak hanya memiliki satu kepercayaan yang sama baik dalam hal budaya, spiritual, dan kehidupan sosial lainnya, setiap kelompok masyarakat memiliki prinsip berbeda-beda berdasarkan sumber atau dasarnya masing-masing. Dapat dilihat dari banyaknya pulau di Indonesia sudah menggambarkan jelas setiap pulaunya memiliki kehidupan yang berbeda dengan pulau lainnya, oleh sebab itu Indonesia bisa disebut sebagai pelopor toleransi yang baik. Jadi toleransi tidak hanya berlaku untuk suatu atau satu Negara saja, namun yang tadinya antar pulau yang memiliki perbedaan masing-masing membutuhkan toleransi, maka hal itu juga berlaku untuk antar negara yang berarti bersifat universal. Karena esensi dari toleransi tidak hanya untuk satu bidang kehidupan yang berbeda melainkan untuk semua bidang kehidupan yang memiliki perbedaan.

Dalam buku Toleration in Conflict: Past and Present karya Rainer Forst bagian pertama yang membahas tentang Toleransi dalam Pengalaman Sejarah menyatakan bahwa toleransi secara umum dibagi menjadi dua prespektif yaitu prespektif vertical dan prespectif horizontal. Prespektif vertical memiliki paham bahwa toleransi merupakan wujud dari peran negara melalui kebijakan politik atau negara yang bertujuan untuk menjamin kebebasan dan kemanan dari semua aspek kehidupan di suatu Negara itu sendiri. Prespektif horizontal, toleransi dipahami sebagai sikap atau perilaku seseorang terhadap orang lain yang berbeda dengan kita atau kelompok kita atau terhadap kaum minoritas. Jadi toleransi berdasarkan prespektif vertical (toleransi antara pemerintah dengan warganya) dan toleransi berdasarkan prespektif horizontal (toleransi antara warga satu dengan warga lain yang berkaitan dengan moralitas manusia).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sejak dini anak diajarkan untuk tidak men-judge atau menghakimi orang lain yang tidak sependapat atau tidak sepaham dengan kita, sebenarnya itu sudah termasuk salah satu mengajarkan toleransi. Semakin dewasa paham bahwa bentuk toleransi terbaik adalah dengan membiarkan orang lain melakukan kegiatan berdasarkan keyakinannya dan yang dianggap baik untuk dirinya. Diambil contoh toleransi dalam lingkup beragama, saat ini semakin kompleksnya perselisihan tentang agama yang memerlukan sikap dan perilaku saling toleransi. Telah menjadi doktrin di masyarakat bahwa toleransi pasti tentang perbedaan agama meskipun sebenarnya lingkup toleransi tidak hanya itu. Semakin kompleksnya problematika kehidupan bermasyarakat di akhir zaman di dalamnya juga terdapat manusia-manusia yang sangat fanatic dengan agamanya. Sikap fanatic tidaklah salah, namun yang tidak tepat adalah ketika mereka tidak bisa menempatkan diri atau tidak fleksible dengan perkembangan zaman.  Apabila terdapat pembaharuan atau modernisasi kehidupan manusia saat ini, untuk mereka yang fanatic akan merefleksikan dan menghakimi berdasarkan hukum masa lalu yang jelas-jelas cara hidupanya berbeda sehingga memunculkan konflik-konflik antar umat tentang agama baik yang seiman atau tidak.

Dalam hal-hal seperti itu didapat esensi dari kata toleransi adalah urusannya atau keyakinanya yang menurut mereka baik bukanlah urusan kita, untuk mengemas ketidakterlibatan kita pada urusan mereka maka disebutlah kita dengan bersikap toleransi, kita memberikan mereka ruang untuk melakukan kegiatan berdasarkan keyainannya asal tidak mengganggu secara umum. Jadi selain timbulnya sikap toleransi dengan tidak menghakimi atau men-judge kepercayaan orang lain yang tidak sepaham dengan kita, esensi dari hakikat toleransi adalah terciptanya perdamaian antar perbedaan baik agama, suku, budaya, ras, dan lain sebagainya.  

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES