TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Beberapa hari belakangan ini, Surabaya menjadi kota yang mencekam di malam hari. Masyarakat Kota Surabaya diimbau untuk tidak keluar saat malam. Penyebab dari imbauan tersebut adalah merebaknya segerombolan pemuda tanggung yang melakukan aksi anarkis dengan senjata tajam.
Tidak tanggung-tanggung, celurit, golok, hingga samurai dibawa dan diacung-acungkan kepada siapa saja yang mereka temui. Bahkan tak segan melukainya. Masyarakat pun menjadi was-was dan tidak leluasa lagi melakukan aktivitas di malam hari. Tidak terkecuali masyarakat yang pulang bekerja hingga malam hari. Mereka pun disarankan melewati jalan-jalan yang tidak dilalui oleh segerombolan pemuda anarkis tersebut.
Advertisement
Tentu, itu membuat masyarakat merasa repot karena harus melalui jalan yang jaraknya lebih jauh.
Kenakalan untuk Eksistensi
Masyarakat Surabaya dan media-media berita menyebut perilaku kenakalan remaja ini dengan istilah gangster. Sebagaimana kabar yang berseliweran di media sosial bahwa tindakan para remaja ini adalah sebagai sebuah bentuk solidaritas dan unjuk kekuatan di antara para geng motor. Tawuran dan perkelahian menjadi tujuan mereka. Semakin sedikit korban dari suatu geng, maka dianggap lebih kuat. Entahlah, apa yang membuat mereka begitu mudah menyia-nyiakan nyawa untuk sebuah aksi yang tidak ada faedahnya.
Bagi orang yang berpikir normal dan waras menganggap itu adalah tindakan yang tidak berfaedah. Namun, tidak bagi mereka. Tindakan mereka adalah sebuah bentuk eksistensi. Mereka ingin menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka ada. Semakin menjadi pusat perhatian, mereka semakin ‘menggila’.
Semakin masyarakat takut dan menaruh perhatian lebih kepada mereka, mereka akan semakin eksis. Keinginan untuk eksis dan diperhatikan ini adalah ciri khas dari seorang pemuda tanggung. Apalagi bagi mereka yang memang kurang mendapat perhatian dari keluarganya.
Pasalnya, fenomena serupa tidak hanya terjadi di Kota Surabaya saja. Melainkan di kota-kota lain pun ada. Sebut saja yang banyak dikenal oleh masyarakat luas adalah keberadaan klitih. Tidak jauh berbeda dengan gangster di Surabaya, klitih pun sempat meresahkan masyarakat Yogyakarta. Dengan modus yang sama, yaitu melukai orang secara acak di malam hari, klitih sempat menjadi pemberitaan terus menerus hingga menyita perhatian dari berbagai pihak.
Dari kedua fenomena yang terjadi di dua kota besar di Indonesia ini, terdapat satu kesamaan. Yakni, pelakunya adalah pemuda tanggung. Mereka melakukan tindakan kriminalitas dengan tujuan utama bukan untuk merampas barang, melainkan hanya sekadar kesenangan dan kepuasan.
Persepsi terhadap Istilah 'Gangster'
Penggunaan bahasa tidak dapat dianggap remeh. Termasuk penggunaan istilah untuk penyebutan perilaku kenalan remaja, yaitu gangster. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap istilah tersebut berpengaruh pada eksistensi dan meningkatnya aksi kriminal dari para gerombolan remaja.
Sejatinya, istilah 'gangster' yang kini diadopsi sebagai lema bahasa Indonesia telah sebelumya dikenal dalam bahasa Inggris. Istilah 'gangster' diadopsi dengan pemaknaan yang sama seperti dalam bahasa Inggris, yaitu ‘1. penjahat; bandit, 2. anggota geng (kelompok orang yang mempunyai kegemaran berkelahi atau membuat keributan)’.
Nyatanya, perilaku gangster sudah eksis cukup lama. Tidak hanya semata-mata saat ini saja. Pun tidak hanya di Surabaya, kota-kota lain pun ada segerombolan pemuda anarkis seperti itu, misalnya di Jakarta, Bandung, Bogor, dan Depok. Lantas pertanyaannya, mengapa mereka bisa tetap eksis hingga sekarang?
Eksistensi gangster dapat diminimalisasi dengan penghapusan penggunaan istilah ini dalam ruang publik, seperti media berita atau media sosial. Atau, dapat pula pengubahan penyebutan tersebut menjadi kata-kata yang bermakna sangat buruk, seperti sekelompok penjahat, segerombolan perusuh, atau lainnya. Setidaknya, itulah yang diterapkan oleh Pemerintah DIY kepada masyarakat Yogyakarta untuk tidak lagi menggunakan istilah klitih. Hasilnya, semenjak penghapusan istilah klitih pada 5 April 2022, kasus perilaku kenakalan dengan berkendara motor Di DIY tidak sesemarak sebelumnya.
Tidak dipungkiri, istilah gangster memiliki citra berupa sekelompok orang yang begitu terkoordinasi dan masyarakat merasa takut kepada mereka. Setidaknya, itulah yang juga digambarkan dalam tontonan hiburan kita terhadap keberadaan gangster. Sinetron-sinetron acap kali menjadikan gangster sebagai kisah cerita dengan pemainnya yang menjadi salah satu anggota gangster. Tidak lupa juga adegan perkelahian dan perselisihan yang kemudian itu menjadi hal yang identik dalam gangster dan masyarakat pun menontonnya.
Dengan demikian, untuk mengubah persepsi itu, hilangkanlah penggunaan istilah 'gangster' dalam pemberitaan, media sosial, atau obrolan keseharian masyarakat agar pelaku tidak mendapatkan persepsi dan kepuasaan itu. Atau, ubahlah istilah gangster sehingga nilai dan paradigma yang ada di dalam istilah itu hilang. Gantilah dengan kata-kata yang justru dapat memberikan persepsi dan stigma bahwa mereka adalah sekelompok orang yang sangat mengganggu dan perlu dilawan bersama.
***
*) Oleh: Irwan Suswandi, Dosen Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Rizal Dani |