Masa Depan Politik Hukum Islam di Indonesia

TIMESINDONESIA, MALANG – Berbincang mengenai politik hukum Islam di Indonesia perlu melepas kaca mata kuda. Dalam hal ini butuh pemahaman terhadap beberapa faktor yang sejak awal belum teratasi. Pertama masyarakat Indonesia mempunyai hukum yang positif, yaitu hukum yang berlaku dan dijadikan sebagai acuan dalam menjalani aktivitas setiap hari. Di mana kita tahu, datangnya bangsa Eropa yang menjajah Indonesia juga membawa proyek hukum Barat yang memaksa kebudayaannya diadopsi dalam ranah hukum.
Lain halnya, ketika berbicara tentang positifikasi prinsipbdan norma syariat Islam sebagai sumber hukum dalam wilayah sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus menemukan jalan buntu. Formalisasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional memerlukan kehati-hatian, dan tentu tidak cukup berdalil demi kemaslahatan umat. Di sisi lain, sebagai bangsa yang mayoritas Muslim, Indonesia belum sepenuhnya bisa menggerakkan hukum Islam di wilayah konstitusi.
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di sini, hukum Islam di dudukkan dalam ranah universal, yang tidak lapuk oleh waktu dan zaman. Islam juga agama yang komprehensif. Ajaran-ajaran Islam merabah berbagai cakupan, seperti hukum yang berkaitan dengan akidah, ibadah, ekonomi, pemerintahan, hukum pendidikan dan hukum sosial kemasyarakatan. Sebagaimana dikatakan Mahmud Syaltut bahwa Islam bukan agama yang hanya mengurus tentang keimanan, melainkan juga hukum.
Ketika melihat hubungan Islam dan politik, ia tidak pernah memberikan tembok antara urusan agama dan politik. Al-Qordhawi dalam politik hukum Islam mengistilahkan dengan al-siyasah al-shar’iyah. Poltik hukum Islam secara khusus dipahami sebagai proses araha hukum Islam yang akan dipakai negara untuk mewujudkan tujuan negara, baik berupa hukum baru atau pun penggantian hukum lama.
Secara historis, jauh-jauh hari sebeum kedatangan bangsa Eropa yang menjajah Indonesia, hukum Islam sebagai suatu sistem hukum mampu tumbuh sumbur dalam kehidupan masyarakat, berkembang dan tegak di samping hukum adat. Kita mempunyai akar pijakan yang jelas mengenaik politik hukum Islam di Indonesia. Pada tahun 1345 di Kerajaan Samudera Pasai tradisi keislaman mampu berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh sultan al-Malik al-Zahir yang menguasai hukum-hukum Islam sehingga para ahli hukum Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka hadapi dalam masyarakat.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Kita juga mengenal Piagam Jakarta yang merupakan sumber persuasif. Hukum Islam baru menjadi sumber autoritatif dalam ketatanegaraan ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakui Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945. Berbicara hukum Islam di Indonesia tentu perlu mengingat aktor atau elit politik berkuasa. Para elit ini mempuyai wewenang untuk masuk dan berperan aktif mengusung dan memperjuangkan di ranah konstistusi. Sebagaimana praktek kenegaraan pada masa itu tampak politik hukum berdasar pada visi yang berpendirian bahwa syariat dan hukum Islam hanya merupakan salah satu bahan hukum nasional tetapi tidak mengikat.
Sejarah juga mencatat, bahawa hukum Islam di Indonesia menjadi perhatian yang serius bagi kalangan umat Islam ditandai dengan keinginan yang kuat untuk mencantumkan tujuh kata dalam UUD 1945. Perdebatan mengenai frasa “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” cukup sengit, hal ini karena dianggap tidak mewakili pihak lain. Indonesia yang berdiri kokoh di atas budaya yang majemuk, suku, agama dan bahasa berbeda-beda harus mempunyai payung negara yang merangkul semua kalangan.
Komplasi hukum Islam banyak dipakai dalam ranah hubungan laki-laki dan perempuan (pidana suami istri). Pada saat ini dalam bidang positifikasi hukum Islam ke mazhab nasional telah terdapat beberapa peraturan yang memuat hukum materiil maupun formil yang telah berwujud Qanun. Peraturan tersebut diantaranya adalah Qanun No 12 Tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya. Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Maysir (judi) dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum dan perilaku tidak baik lainnya).
Transformasi hukum Islam jika dilakukan secara substansif tidak boleh terlepas dari sejarah panjang bangsa ini. proses ini berkaitan dengan perjalanan sejarah hukum Islam Indonesia dan kebijkan hukum dalam menempatkan kedudukan hukum Islam dalam skala nasional. Di sini, ketika melihat politik hukum Islam di masa depan, tentu kita harus berlapang dada untuk tidak menjadikan hukum Islam sebagai projek hukum formal skala nasional. Hukum Islam didudukkan sebagai bagian dari spirit dan nilai-nilai kaum muslim dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |