Kopi TIMES

Kesetaraan Gender bagi Laki-laki

Jumat, 23 Desember 2022 - 02:09 | 155.13k
Jamal Syarif; Koordinator BIPA Unit Pelayanan Bahasa UIN Antasari Banjarmasin; Ketua APPBIPA (Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing) Kalimantan Selatan.
Jamal Syarif; Koordinator BIPA Unit Pelayanan Bahasa UIN Antasari Banjarmasin; Ketua APPBIPA (Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing) Kalimantan Selatan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANJARMASIN – Mendengar istilah gender, sebagian orang langsung mempersepsikan kata tersebut dengan perempuan.

Kata gender yang didengar seolah merepresentasikan figur perempuan. Sehingga jika ada kegiatan bertemakan gender, kegiatan tersebut seolah hanya membicarakan tentang perempuan.

Advertisement

Ketika ada pembicaraan tentang kekerasan berbasis gender pun seolah yang menjadi korban kekerasan tersebut hanya dari kaum perempuan. Atau ketika ada sebuah event tertentu yang menghendaki keterlibatan gender sebagai petugas acara pun, seolah hanya perempuan yang harus terlibat.

Persepsi yang sangat sederhana untuk tidak mengatakan kesalahpahaman tentang gender tersebut dapat dipahami karena sebagian masyarakat belum dapat membedakan secara jelas perbedaan istilah jenis kelamin dan gender. 

Sebelum memperjelas makna jenis kelamin dan gender, ada baiknya disampaikan beberapa pertanyaan yang dapat mengukur pemahaman terkait gender dan jenis kelamin, berikut ini.

Silakan jawab dengan jawaban “iya” atau “tidak” dari pertanyaan-pertanyaan berikut. Apakah persoalan gender itu membahas tentang perempuan? Apakah laki-laki harus mencari nafkah? Apakah laki-laki tidak perlu mengurus urusan rumah tangga? 

Apakah laki-laki tidak boleh main boneka? Apakah laki-laki harus bisa memanjat pohon? Apakah laki-laki tidak cocok menjadi guru taman kanan-kanak? Apakah laki-laki tidak boleh menangis? Apakah laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga? Dan apakah laki-laki harus yang bertanggung jawab urusan keluarga? 

Silakan jawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu sebelum melanjutkan membaca. Jika jawaban yang Anda peroleh sebagian kecil, atau sebagian besar, atau malah semuanya memiliki jawaban “iya”, pada dasarnya Anda masih perlu memahami lebih lanjut tentang perbedaan gender dengan jenis kelamin. 

Jenis kelamin ditentukan secara biologis. Jenis kelamin melekat secara fisik pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan sebagai alat reproduksi. Perbedaan jenis kelamin merupakan ketentuan Tuhan. 

Jenis kelamin biologis inilah bersifat kodrati, tidak dapat berubah, tidak dapat dilawan, tidak dapat dipertukarkan, dan berlaku sepanjang zaman sampai akhir hayat, sehingga bersifat permanen dan universal.

Secara kodrati, perbedaan jenis kelamin perempuan terletak kepada lima hal, yakni menstruasi, hamil, melahirkan, mengalami masa nifas, dan menyusui. Sementara untuk laki-laki hanya memiliki sel sperma untuk membuahi sel telur pada perempuan. 

Sementara gender mengacu kepada peran perempuan dan laki-laki yang dikontruksikan secara sosial. Di mana peran-peran sosial yang dikontruksikan secara sosial tersebut bisa dipelajari, berubah dari waktu ke waktu, dan beragam menurut budaya dan antar budaya.

Gender merupakan perbedaan perilaku antara perempuan dan laki-laki yang dibangun secara sosial, diciptakan oleh laki-laki dan perempuan sendiri. Oleh karena itu, gender merupakan persoalan budaya. Gender merupakan perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. 

Perbedaan biologis adalah perbedaan jenis kelamin yang bermuara dari kodrat Tuhan. Perbedaan jenis kelamin yang bermuara dari kodrat Tuhan, sementara gender adalah perbedaan yang bukan kodrat Tuhan, tetapi diciptakan oleh laki-laki dan perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang.

Kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya.

Dengan demikian, eksistensi gender itu terkait dengan perempuan dan laki-laki. Membicarakan kesetaraan gender adalah membicarakan peran, fungsi, status, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki sebagai bagian dari gender itu sendiri.

Berikut beberapa contoh ketidaksetaraan gender yang berpotensi menempatkan laki-laki sebagai korban dari bias gender yang terjadi di masyarakat. Pertama, subordinasi. Artinya suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. 

Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan peran gender. Misalnya, laki-laki dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam mencari nafkah. Ketika ada laki-laki yang tidak berperan sebagai pencari nafkah, laki-laki tersebut dinilai lebih rendah dari laki-laki yang lain.

Kedua, stereotipe. Artinya pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya dilakukan digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. 

Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender.

Terkait bentuk yang kedua ini, laki-laki diangap sebagai jenis gender yang suka berlaku kasar, suka menggoda. Laki-laki dianggap sebagai spesies yang tidak perasa dan lain sebagainya.

Ketiga, kekerasan. Artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. 

Perempuan dianggap feminim dan laki-laki dianggap maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa laki-laki harus kuat. Kondisi ini disalahartikan sebagai alasan untuk membuat laki-laki tidak boleh lemah. 

Pada kenyataannya, baik perempuan atau laki-laki, mereka sama-sama memiliki potensi untuk menjadi pelaku maupun menjadi objek dari tindak kekerasan. Mereka sama-sama memiliki kemungkinan lemah atau kuat. 

Keempat, beban ganda. Artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran laki-laki seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. 

Walaupun sudah ada peningkatan jumlah laki-laki yang juga melakukan pekerjaan di wilayah domestik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah publik. 

Upaya yang dapat dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada orang lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga laki-laki lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak laki-laki. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.

Kelima, marjinalisasi. Artinya proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender.

Misalnya dengan anggapan bahwa laki-laki berfungsi sebagai pencari nafkah utama, maka ketika mereka bekerja di dalam rumah, sering kali dirundung atau dikucilkan. Ada juga anggapan bahwa hanya laki-laki yang wajib berperang, sehingga laki-laki lebih banyak meninggal dari pada perempuan.

Kelima bentuk ketidaksetaraan gender di atas berpotensi dan  sangat memungkinkan terjadi bagi laki-laki. Pemahaman tentang gender secara komprehensif dan mendetail di kalangan masyarakat diharapkan dapat mengurangi dampak buruk dari ketidaksetaraan gender.

Pengarus utamaan gender tetap terus dilakukan secara kreatif. Ketidaksetaraan gender dapat terjadi di segala aspek kehidupan dan di segenap lini masyarakat. Upaya menanamkan sensitivitas gender tetap terus dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan, dan semua orang berkepentingan akan hal itu.

***

*) Oleh: Jamal Syarif; Koordinator BIPA Unit Pelayanan Bahasa UIN Antasari Banjarmasin; Ketua APPBIPA (Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing) Kalimantan Selatan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES