
TIMESINDONESIA, BANTEN – Perkembangan teknologi tidak hanya berpengaruh signifikan terhadapap organisasi korporasi, tapi organisasi sosial kemasyarakatan termasuk keagamaan dituntuk untuk bertransformasi dalam berinteraksi dengan jama’ahnya. Pandemi covid-19 telah mempercepat perkembangan teknologi dan manusia dipaksa untuk mengurangi mobilisasi sosial yang berinteraksi langsung.
Dan teknologi menjadi jembatan satu-satunya untuk tetap terhubung dalam interaksi sosial. Selama pandemi hingga saat ini, interaksi ekonomi, interaksi pendidikan, dan interaksi keagamaan seperti dakwah banyak dilakukan melalui bantuan teknologi. Situasi ini memerlukan daya inovasi, kreatifitas dan transformasi dakwah menuju e-dakwah, termasuk NU dalam berinteraksi dengan jama’ahnya.
Advertisement
Dakwah Islam di Nusantara sudah masuk sejak pertengahan abad ke-7 Masehi yang dibawah oleh saudagar Arab melalui hubungan dagang dengan Kerajaan Kalingga pada masa kekuasaan Rani Sima (Sunyoto, 2013).
Menurut Sunyoto, cerita lisan, prasasti dan ikatan perkawinan antara kerajaan yang dipimpin Muslim merupakan salah satu media dakwah saat itu dalam menyebarkan ajaran Islam pada masa pra Wali Songo.
Kemudian dakwah Islam masuk pada era Wali Songo yang dikenal dengan Sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah (Sunyoto, 2013). Metode dakwah antara pra dan era Wali Songo tidak banyak berbeda, akan tetapi fokus dakwah mereka yang berbeda yaitu proses asimilasi sosio-kultural-religius sebagai gerakan utama dakwah Wali Songo (Sunyoto, 2013).
Asimilasi dan sinkretisasi adalah metode untuk menjembatani titik temu antara budaya dan tradisi keagamaan yang ada di Nusantara. Kemudian, langkah-langkah pencapaian dakwah Islam dilakukan melalui cara-cara damai. Prinsip maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan adalah metode dakwah dengan tutur bahasa yang baik.
Pada era kemajuan sistem informasi saat ini, tentu perlu transformasi dakwah, apalagi dalam menyambut SATU ABAD NU. E-dakwah merupakan tuntutan bagi akselerasi ajaran Islam Nahdliyin kepada jamiahnya.
Namun, tidak mengesampingkan metode dakwah NU yang telah mapan melalui cultur masyarakat tradisional. Metode dakwah yang multidimensi akan memperkuat eksistensi NU pada masyarakat yang multidimensi pula. Menurut (Dewi et al., 2021; Prabowo et al., 2019) E-Dakwah adalah metode yang digunakan dalam mensyiarkan agama Islam dengan menggunakan teknologi informasi yang sekarang sedang banyak digunakan.
Dakwah digital yang menjadi tren di Indonesia, baik sebagai aktivitas dakwah dan juga sebagai tren kajian (Marwantika, 2021). E-dakwah adalah serangkaian aktivitas dakwah dengan memanfaatkan sistem informasi dan teknologi saat ini.
E-Dakwah dipilih karena bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, oleh karena itu e-dakwah adalah sesuatu media hal yang tepat di masa pandemi virus Corona (Ma’fiyah, 2019). E-dakwah di buat untuk mengajak generasi milenial (Dewi et al., 2021).
Dakwah digital ada karena terpaan teknologi media digital, inovasi da‘i dalam berdakwah, dan perubahan masyarakat (mad‘u) dalam mengakses dakwah (Marwantika, 2021).
Dakwah di media digital mempunyai karateristik (Kusdewanti & Hatimah, 2016) seperti adanya jejaring (network), berisi informasi (information), bersifat (interface), bisa diarsipkan (archive), berlangsung pada saat itu juga (realtime) dan adanya interaktifitas (interactivity).
Sedangkan dakwah di media konvensional (Marwantika, 2015) lebih ke komunikasi searah dan ada proses gatekeeping yaitu proses penyaringan informasi sebelum disebarluarkan ke audien.
E-dakwah memanfaatkan website, dan media sosial, seperti Facebook, YouTube, Instagram, TikTok, WhatsApp, Line, Linkedln dan aplikasi lainnya. E-dakwah menjadi tren tiga faktor (Marwantika, 2021) yaitu : 1) Terpaan teknologi media digital, 2) Inovasi da‘i dalam berdakwah, dan 3) Perubahan masyarakat (mad‘u) dalam mengakses media dakwah.
Kenapa perlu bertransformasi ke e-dakwah? Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite, jumlah pengguna internet di seluruh dunia telah mencapai 5,07 miliar orang pada Oktober 2022. Jumlah tersebut mencapai 63,45% dari populasi global yang totalnya 7,99 miliar orang.
Sebanyak 92,1% orang menggunakan ponsel untuk online. Ponsel kini menyumbang lebih dari 55% waktu online, serta hampir 60% dari lalu lintas web dunia menurut We Are Social dalam Digital 2022 October Global Statshot Report.
Sedangkan di Indonesia jumlah pengguna aktif media sosial mencapai 191 juta orang. Jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya, walau pertumbuhannya mengalami fluktuasi sejak 2014-2022.
Whatsapp merupakan media sosial yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia sebanyak 88,7%. Menyusul Instagram, Facebook, TikTok dan Telegram masing-masing 84,8%, 81,3%, 84,8% dan 81,3%.
Selanjutnya, juga laporan We Are Social, pengguna Youtube dari Indonesia menempati posisi ketiga di dunia mencapai 127 juta pengguna dengan pangsa pasar sebesar 21,42%.
Sekali lagi data di atas menerangkan betapa pentingnya tranformasi menuju e-dakwah NU. Selain itu, untuk memaksimalkan penggunaan media sosial dalam e-dakwah NU perlu mempertimbangkan karakteristik masing-masing platform. Misalnya, pengguna, konten, dan waktu penggunaan masing-masing media sosial.
Konten untuk youtube yaitu vlog dakwah harian, video dakwah rumahan, video kreasi dakwah mandiri, tutorial dakwah, video musik religi/dakwah, film pendek religi/dakwah.
Konten tulisan, konten visual, konten audio, konten audio visual, infografis dan elektronik book (E-book) lebih cocok pada instagram dan facebook tentu harus dikemas dalam bentuk dakwah. Menurut (Febriana, 2021) secara umum di dalam Tik-Tok terdapat berbagai macam fitur seperti filterberupa teks berjalan, musik, animasi dan video dengan durasi maksimal 3 menit.
Telegram dan whatsapp memiliki krakteristik yang tidak jauh berbeda, telegram memiliki fitur bot atau AI (kecerdasan buatan) yang dapat membantu pengguna untuk melakukan banyak hal secara efisien. Telegram juga memiliki fitur channel yang digunakan untuk menyampaikan pesan seperti broadcast yang bisa mencakup banyak pengikut seperti yang ada pada banyak media sosial lainnya.
Sedangkan whatsapp tidak memiliki fitur bot dan juga channel. Baik whatsapp dan telegram memiliki fitur yang memungkinkan untuk mengirim file. File-file yang dapat dikirim di kedua aplikasi ini beragam. Bisa video, file pdf atau dokumen, foto dan lain-lain.
Pemetaan terhadap karakteristik konten media sosial akan memudahkan pendakwah dalam membuat konten dan kemana harus diposting. Hal ini termasuk dalam manajemen dakwah, yang implikasinya akan berpengaruh terhadap daya jangkau dakwah di media sosial. Daya jangkau yang luas memungkinkan akses yang luas bagi jamiah NU terhadap dakwah NU di berbagai media sosial.
***
*) Oleh: Muhammad Aras Prabowo, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia; Direktur Lembaga PB PMII; Mahasiswa S3 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Irfan Anshori |
Publisher | : Rizal Dani |