Kopi TIMES

Kekerasan Seksual dan Fenomena yang Menyertainya

Kamis, 29 Desember 2022 - 14:17 | 61.72k
Chintami Budi Pertiwi, Ketua Kopri Surakarta.
Chintami Budi Pertiwi, Ketua Kopri Surakarta.

TIMESINDONESIA, SURAKARTA – Sudah sejak tahun 2015 gerakan masyarakat sipil dan juga banyak Lembaga swadaya masyarakat memperjuangkan disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dan baru-baru saja kemarin bulan April tahun 2022 BALEG (Badan Legislasi) DPR RI mengesahkan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang kemudian diteruskan untuk ditandatanganani presiden.

Tentu pengesahan Undang-undang ini merupakan angin segar untuk seluruh korban kekerasan seksual dan para pendamping. Sudah sejak lama korban kekerasan seksual tidak memperoleh payung hukum dan kini sudah saatnya korban mendapatkan keadilannya. 

Terlepas dari itu semua, fenomena kekerasan seksual ini memang tidak sama dengan tindak pidana lainnya, terdapat banyak hal-hal besar dibaliknya. Sering juga kita sebut dengan fenomena gunung es (kasus yang ada belum tentu sesuai dengan realita, kemungkinan kasus lebih dari data yang tertampil).

Jelas hal ini bukan tanpa alasan ada banyak faktor yang memengaruhinya, faktor pertama yaitu masih maraknya budaya Victim Blaming (menyalahkan korban) di lingkungan masyarakat kita.

Tidak jarang kita temui di berbagai forum baik maya maupun nyata apabila terdapat kasus kekerasan seksual dan yang menjadi korban adalah perempuan, ucapan yang dilontarkan masih seringkali mendelegitimasi perasaan korban dengan menyalahkan jam keluarnya, atau pakaian yang dikenakannya belum lagi atas ketidakmampuan korban meminta pertolongan saat terjadi kekerasan seksual.

Masyarakat awam tidak paham bahwa seringkali korban kekerasan seksual mengalami Tonic Immobility / imobilitas tonik yakni saat korban diam terpaku seolah tidak dapat menggerakan anggota tubuhnya (shuttershock). Faktor yang kedua, dalam kasus kekerasan seksual terdapat Relasi Kuasa di antara korban dan pelaku, tidak jarang pelaku mempunyai resource and power yang lebih ketimbang korban, tentu hal ini makin menyulitkan korban dalam mengakses bantuan maupun keadilannya.

Contoh konkret ketika perempuan miskin non previledge mendapatkan kekerasan seksual dan pelakunya adalah orang kaya ber-previledge tentu akan sangat berbeda dalam menghadapi kasusnya. Korban cenderung kesulitan mencari informasi ataupun layanan aduan hukum sedangkan pelaku dapat dengan mudahnya mengakses bantuan hukum dan cenderung dapat melawan dengan tuduhan pencemaran nama baik apabila korban telah speak up tanpa pendamping hukum di sampingnya.

Faktor yang ketiga yaitu langgengnya budaya perkosaan dan budaya patriarki di masyarakat kita. Budaya perkosaan tidak datang dengan sendirinya, ia bermula dari hal-hal kecil seperti seksisme yang kemudia dapat mengarah pada femicide (pembunuhan perempuan hanya karena korban perempuan).

Seringkali seksisme masih menjadi hal lumrah dan guyonan sampah, kurang lebih contoh yang dapat kita ketahui yaitu pada saat massa aksi 11 April 2022 lalu terdapat pamflet dalam orasi yang bertuliskan “lebih baik bercinta tiga ronde ketimbang jadi presiden tiga periode” kalimat tersebut tentu saja mengadung seksisme dan cenderung merendahkan martabat perempuan.

Berawal dari merendahkan perempuan yang terus menerus dinormalisasi tidak menutup kemungkinan dapat mengarah pada tindakan melecehkan dan mengobjektivikasikan perempuan. 

Faktor-faktor tersebut ke depan harus dapat membuat diri kita lebih mawas dan meninggikan empati kita terhadap korban kekerasan seksual. Selain itu harus kita sadari betul bahwa kekerasan seksual merupakan permasalahan sistemik dan mengakar, payung hukum saja tidak cukup untuk menghapuskannya. Perlu ada pengawalan terhadap implementasi UU tersebut, sekaligus senantiasa mencerdaskan diri dan berdiri Bersama korban. Karena kemerdekaan tidak akan digapai tanpa kemerdekaan perempuan. Hidup Perempuan yang melawan segala bentuk penindasan!

***

*) Oleh: Chintami Budi Pertiwi, Ketua Kopri Surakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES