TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) sebagai pengganti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), menuai ragam reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Kini, Perppu yang baru diterbitkan di penghujung tahun 2022 itu digugat sekelompok masyarakat.
Hal tersebut dipicu oleh tindakan pemerintah yang merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Selain itu pemerintah dinilai melecehkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak mematuhi Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Seharusnya pemerintah patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020 terkait perbaikan formil dalam penyusunan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan.
Alangkah baiknya pemerintah fokus memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan mengedepankan pasrtisipasi publik secara transparan dan konstruktif. Alih-alih memperbaiki proses pembentukan UU Cipta Kerja, Presiden malah menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang kemudian nantinya Perppu tersebut dimintakan persetujuan kepada DPR agar dijadikan UU yang hendak menggantikan UU Cipta Kerja yang masih menyandang status inkonstitusional bersyarat.
Alasan utama pemerintah untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja adalah atas kebutuhan mendesak guna mengantisipasi kondisi global. Pemerintah mengatakan pertimbangan penetapan dan penerbitan Perppu adalah kebutuhan mendesak, di mana pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik. Presiden boleh menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang berlaku hanya dalam keadaan darurat atau kegentingan yang memaksa.
Adapun substansi perppu terdapat dalam Pasal 22 UUD 1945 yang terdiri atas tiga ayat. Ayat pertama, dalam hal kegentingan yang memaksa. Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ayat kedua, peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR. Ayat ketiga, jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Apakah Perppu Cipta Kerja yang dikeluarkan oleh Presiden tersebut benar-benar memenuhi syarat kegentingan memaksa?
Perppu memang menjadi kewenangan Presiden untuk menerbitkanya akan tetapi syarat adanya ihwal kegentingan yang memakasa menjadi wajib untuk dipenuhi sebagai alasan terbitnya Perppu. Mengenai makna ihwal kegentingan memaksa dapat dilihat dari beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai dasar rujukan hukum yaitu Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005 dan Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.
Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005 memberikan kesimpulan bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer, atau keadaan perang melain kegentingan yang memaksa menjadi hak subyektif Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
Ihwal kegentingan yang memaksa juga terlihat dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memberikan tafsir terhadap keadaan kegentingan yang memaksa dengan mensyaratkan beberapa hal yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa. Karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Ragam reaksi masyarakat sejak terbitnya UU Cipta Kerja dan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 masih kian masif. Atas kondisi tersebut Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi rujukan untuk menguji bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang inkonstitusional dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Dan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2019 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga menegaskan bahwa “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Perppu sebenarnya secara materil adalah UU. Bajunya Peraturan Pemerintah, tetapi isinya adalah UU, yaitu UU dalam arti materiel atau wet in materiele zin. Dengan demikian Perppu itu sebagai UU dalam arti materiel itu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana mestinya.
***
*) Oleh: Abdi Fahmil Hidayat, Mahasiswa Prodi Hukum Universitas Nurul Jadid.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Rizal Dani |