Kopi TIMES

Spirit Jiwa Sosial dalam Kebijakan Pajak Progresif

Kamis, 12 Januari 2023 - 18:05 | 49.11k
Muhammad Nur, Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Banda Aceh.
Muhammad Nur, Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Banda Aceh.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, ACEH – Selasa 3 Januari 2023, Menteri Keuangan memaparkan realisasi APBN tahun 2022 dalam Konferensi Pers APBN KiTa.

Dikutip dari kemenkeu.go.id, realisasi penerimaan negara tahun 2022 mencapai Rp. 2.626,4 triliun (115,9 persen dari target dalam Perpres 98/2022). Realisasi penerimaan ini juga tumbuh sebesar 30,6 persen dari tahun 2021 lalu, yang didorong oleh pemulihan ekonomi nasional yang semakin baik. Dari total penerimaan negara tersebut, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp. 1.717,8 triliun (115,6 persen dari target), dengan pertumbuhan sebesar 34,3 persen dibanding tahun 2021 lalu. Maka sudah dua tahun beturut-turut penerimaan pajak mampu melebihi target.

Advertisement

Sementara itu dari sisi belanja negara, realisasi sementara menunjukkan bahwa pada tahun 2022 lalu Rp. 3090,8 triliun telah dibelanjakan pemerintah. Jumlah ini setara 99,5 persen dari pagu belanja dalam Perpres 98/2022. Dari jumlah tersebut, terdapat Rp. 2.274,5 triliun (98,8 persen dari pagu) belanja pemerintah pusat dan Rp.816,2 triliun (101,4 persen dari pagu) transfer ke daerah. Dari dua kategori belanja pemerintah tersebut, terdapat pula beberapa jenis belanja bantuan sosial dan subsidi yang telah disalurkan pemerintah kepada para jutaan masyarakat penerima manfaat.

Antara Pajak, Subsidi dan Bansos

Data realisasi penerimaan dan belanja di atas dapat menjadi entry point dalam pembahasan pada topik ini. Sebagaimana kita ketahui, penerimaan pajak masih menjadi salah satu sumber utama dan porsi terbesar dalam struktur penerimaan negara di APBN. Hampir setiap tahunnya, target penerimaan pajak dinaikkan. Kabar gembiranya, sudah dua tahun ini penerimaan pajak mampu melebih target yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian negeri kita sudah mampu pulih dari masa-masa sulit hantaman badai pandemi Covid-19. Berbagai program pemerintah dalam PC-PEN dinilai telah berjalan dengan baik sehingga belanja pemerintah telah mampu menjadi pemicu pemulihan sekaligus pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini. Menteri Keuangan menyatakan bahwa APBN mampu menjalankan fungsinya sebagai shock absorber atau peredam guncangan ketika pandemi menyerang dan ancaman resesi juga menghadang.

Pada perspektif ini, maka dapat dikatakan bahwa penerimaan negara yang bersumber dari pajak dapat menjadi faktor penentu suksesnya pemulihan ekonomi nasional. Dengan penerimaan pajak yang melampaui target juga mengindikasikan bahwa perekonomian nasional telah kembali pulih dan bergerak. Sektor-sektor ekonomi yang dulu runtuh, perlahan namun pasti mulai bangkit kembali. Menteri Keuangan juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5 persen selama tahun 2022 terjadi di semua sektor, seperti pertanian, pertambangan, manufaktur, konstruksi, perdagangan, transportasi, akomodasi, serta makanan dan minuman (ekonomi.bisnis.com, 3/1/2023). 

Selanjutnya kita juga mengetahui bahwa penerimaan pajak juga digunakan untuk membiayai belanja negara. Belanja ini tentu tidak hanya terbatas pada pembangunan saja, akan tetapi ada komponen lain seperti gaji dan tunjangan ASN, belanja barang/operasional pemerintahan, serta subsidi dan bantuan sosial. Penyaluran subsidi dan bansos ini antara lain subsidi kenaikan harga BBM, BLT minyak goreng, BLT Covid-19, BSU, Kartu Prakerja, PKH, BLT PKL, dan subsidi bunga KUR. Berbagai jenis subsidi dan bansos tersebut difungsikan sebagai instrumen peredam gejolak dan upaya melindungi serta meningkatkan daya beli masyarakat rentan.

Di masa pandemi ini, subsidi dan bansos memiliki porsi yang relatif besar pada struktur APBN. Beberapa pos belanja pemerintah telah direalokasi untuk membiayai PC-PEN sejak 2020, dimana subsidi dan bansos menjadi salah satu yang digenjot. Ketika masyarakat sudah mulai pulih kegiatan ekonominya, maka penerimaan negara juga dapat meningkat. Mengapa demikian? Analogi sederhananya adalah ketika masyarakat sudah bisa berbelanja kembali (pulih ekonominya) maka akan ada komponen pajak (PPN dan PPh) dalam belanja itu yang kembali masuk ke kas negara.

PPh Progresif dan Spirit Jiwa Sosial

Akhir-akhir ini pembahasan tentang pajak penghasilan progresif kembali hangat diperbincangkan publik. Padahal tarif pajak penghasilan progresif telah diterapkan sejak lama. Salah satu berita yang ramai adalah ketika dikatakan bahwa karyawan dengan penghasilan Rp. 50 juta akan dikenai pajak 5 persen dan semakin besar penghasilan maka persentase pajaknya juga semakin besar. Namun kita harus melihat kepada peraturan perpajakan yang berlaku. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat beberapa penggolongan penghasilan kena pajak dengan tarif 5 persen untuk 0 – 60 juta, 15 persen untuk 60 – 250 juta, 25 persen untuk 250 – 500 juta, 30 persen untuk 500 juta – 5 milyar, dan 35 persen untuk penghasilan di atas 5 milyar rupiah. 

Perlu diingat bahwa perhitungan itu adalah untuk penghasilan dalam setahun dengan dikurangi PTKP sebelum dihitung kewajiban pajaknya. Artinya, bagi masyarakat berpenghasilan tinggi memang akan membayar pajak yang lebih tinggi. Akan tetapi dengan tarif progresif ini maka prinsip keadilan dan pemerataan diharapkan dapat dicapai. Masyarakat berpenghasilan rendah akan terlindungi, dan yang berpenghasilan tinggi akan memberikan kontribusi yang lebih tinggi. Jangan pula dilupakan bahwa pemberlakuan tarif PPh progresif ini juga telah berlaku untuk PNS sejak beberapa tahun lalu.

Prinsip pemerataan dan mengurangi ketimpangan inilah yang sebaiknya perlu kita pikirkan dengan seksama. Kita jangan hanya berasumsi bahwa pajak yang kita bayarkan hanya digunakan untuk membayar gaji aparatur atau digunakan untuk pembangunan saja. Jangan lupa bahwa dalam struktur APBN ada belanja subsidi dan bansos di dalamnya. Pada konteks inilah, kita sebaiknya berpikir bahwa kita semua memiliki kontribusi terhadap negara ini. Dengan membayar pajak (termasuk PPh progresif), maka kita telah turut serta membantu masyarakat yang lemah, kurang mampu, dan rentan. Dengan semakin tinngi pajak yang telah kita bayarkan, pemerintah memiliki anggaran untuk membiayai program-program bansos sebagaimana disebutkan di atas. Artinya, pajak yang kita bayarkan telah menolong saudara-saudara kita yang kurang mampu. 

Mengutip akun instagram Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan, hingga November 2022 BSU telah direalisasikan sebesar Rp.7,68 triliun untuk 12 juta lebih pekerja. Lalu realisasi sampai dengan 23 Desember 2022 saja, KUR telah disalurkan Rp. 358,1 triliun untuk 7,4 juta lebih pengusaha, BLT Dana Desa telah disalurkan Rp.26,79 triliun untuk 7,48 juta KPM di 74.960 desa, dan PKH telah terealisasi sebesar Rp. 28,68 triliun untuk 10 juta KPM. 

Sementara itu di sisi lain, masyarakat yang rentan dan telah terbantu melalui subsidi dan bansos itu juga turut berkontribusi pada negara dengan mereka kembali bisa belanja kebutuhan sehari-harinya. Ibarat sebuah siklus berulang, belanja negara meningkatkan daya beli masyarakat lalu belanja masyarakat itu juga berkontribusi pada penerimaan negara. Ada multiplier effect yang terjadi pada konteks ini.

Kita tidak perlu semerta-merta menagih manfaat langsung/instan dari pajak yang telah kita bayarkan. Karena sejatinya telah banyak fasilitas umum yang dibiayai dari APBN yang juga telah kita nikmati. Jalan raya, jembatan, irigasi, penerangan jalan, jalan tol, pertanian, pertambangan, dan banyak sektor lain telah menerima manfaat APBN. Kita juga baiknya percaya bahwa APBN tidak akan digunakan secara sembarangan.

Maka, selain melakukan aksi-aksi sosial secara pribadi (sedekah, wakaf, berbagi rejeki, CSR, atau apapun nama dan bentuknya), ada baiknya kita juga mengerti bahwa dengan membayar pajak progresif juga berarti kita telah ikut serta dalam aksi sosial membantu masyarakat kurang mampu yang difasilitasi oleh APBN dengan program-program subsidi dan bansos.

Disclaimer: artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi tempat penulis bekerja saat ini.

***

*) Oleh: Muhammad Nur: Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Banda Aceh.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES