Kopi TIMES

Pesan dan Cerita Kiai Said Menjelang 1 Abad NU

Sabtu, 04 Februari 2023 - 15:14 | 72.41k
Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Jangan harap Islam akan bangkit di Timur Tengah setelah terjadi Robiul Arabi (Arab spring), Arab tidak semakin kuat dan tidak semakin menampakkan bangsa yang beradab. Bahkan, sebaliknya, sekarang Arab sedang menunjukkan bahwa mereka kehilangan jati diri (peradaban) dan budaya.

Bagaimana tidak, jika kita melihat Somali yang 100 persen ahli Sunnah dan bermazhab Syafi’i bubar tak karuan. Afghanistan 100 persen muslim 91

persen Hanafi, Sunni, Maturidi, Naqsabandiyah, dan 1 persen Syiah juga berantakan. Begitu juga di Suriah yang isinya bermacam-macam. Ada ISIS, Al-Kaidah, Syiah (Amal, Alawiyah, Imamiyah dan lainnya) bahkan Sunni mayoritas. Alih-alih Sunni mayoritas, justru yang berkuasa adalah Alawiyyin. Sedikit pun Sunni tak memiliki kekuasaan.

Sama. Jangan harap Islam bangkit di Irak yang sampai sekarang Irak masih menghadapi masalah di Selatan dan di Utara. Selatan itu Arab, Utara itu Kurdi. Selatan itu Syiah, Utara itu Sunni. Ini adalah sebuah masalah yang sangat besar.

Di Tunis juga demikian. Meskipun mending dari pada yang lain, akan tetapi nilai dan kualitas pendidikannya jauh sekali di bandingkan Indonesia. Al-Jazair juga demikian tidak jelas arahnya. Setelah sosialisme gagal, mereka sedang mencari model seperti apa kelanjutan Negara Al-Jazair.

Lalu bagaimana dengan Mesir? Kita tahu, di Mesir tak seperti negara yang sebelumnya di sebutkan. Mesir memang luar biasa dalam lingkup kampus Al-Azhar. Karena disinilah tempatnya pembahasan ilmu dan diskusi ilmiah. Namun, itu hanya sebatas dalam pagar tembok kampus. Di luar tembok sudah tak lagi menampakkan masyarakat-masyarakat yang beberadab. Begitu keluar tebok, kita akan menjumpai pemandangan orang yang kencingnya berdiri di pinggir tembok. 

Lebih dari itu, masing-masing dari masyarakatnya menghadapi kehidupan yang sangat sulit. Carut-marut berkali-kali perang di Israel tak terhindarkan. Bahkan, ekonomi dan tata kelola masyarakatnya demikian hancur. Kata Kiai Said, dulu pernah Anwar Sadat ingin mengembalikan kebesaran Mesir, tapi belum berhasil karena sudah terbunuh. Begitulah gambaran-gambaran Islam di Timur Tengah.

Syahdan, berbeda dengan Indonesia yang masih punya prinsip ruh Pesantren di kehidupan sehari-hari masyarakat berkat perjuangan Nahdlatul Ulama. Dalam hal ini, bukan berarti kita melakukan romantisme dengan diri kita. Tidak. Tapi ini memang kenyataan.

Tak keliru jika dikatakan bahwa di Indonesia-lah Islam itu yang sebenarnya. Ada Pesantren, partai politik, lembaga pendidikan, ada juga jam’iyyah-jam’iyyah. Inilah yang tidak kita jumpai di Timur Tengah. Jangan anggap di Timteng itu mudah seperti di Indonesia. Urusan mau datang ke tahlilan saja sulitnya luar biasa. Apalagi jika membangun Pesantren dan Madrasah sudah pasti harus mendapatkan izin. Kita di Indonesia bebas meriah, dan inilah yang harusnya kita pelihara (bukan korupsinya di pelihara).

Tentang NU. Meskipun bergonta-ganti ketua umum, tapi prinsip tawassuth, tawazun, tasamuh, dan i’tidal sama sekali tak pernah bergeser. Demikian juga dengan Muhammadiyah yang dari dulu sampai sekarang tetap teguh menebarkan Islam washatiyah. Berbeda dengan Ihwanul Muslimun yang didirikan oleh Hasan al-Banna, yang awalnya moderat, akan tetapi begitu beliau terbunuh dan di ganti Sayyid Qutub seketika bergeser menjadi radikal.

Hizbut Tahrir yang didirikan Taqiyuddin An-Nabhani dikenal dengan tawassuth, tapi begitu beliau wafat dan di ganti Abdul Qodim ideologinya sudah menjadi radikal. Karena itu, kita (Indonesia) punya kekayaan luar biasa yang harus dipelihara yaitu Nahdlatul Ulama yang didalamnya ada Pesantren. Sudah jelas dan menjadi bukti nyata bahwa kitab kuninglah yang menyelamatkan umat Islam Indonesia.

Adalah sebuah lanskap keislaman yang menjadi primadona kaum sarungan yang sangat kaya dengan dinamika pertarungan intelekual. Dimana, ragam perbedaan pendapat (dalam berbagai disipin) dirayakan sedemikian terbuka dengan argumentasi ilmiah, tapi tetap menjunjung tinggi pekerti mulia, toleran, dan harmoni sesama anak bangsa.

Masih tentang kaum sarungan. Tanpa Negara dan kemanusiaan memanggil pun, kaum sarungan telah terpanggil dan bahu-membahu merebut kemerdekaan dengan keringat, darah, air mata dan doa. Tidak ada yang lebih berani menyabung nyawa sebagai martir untuk kemerdekaan dan kedaulatan melawan kekejaman penjajah selain santri.

Bahkan, setelah kemerdekaan, khususnya ketika Orde Baru melakukan kanalisasi untuk memperkecil peranan santri, mereka tetap bertahan dengan prinsip dan falsafah hidup mereka, Pesantren justru kian berkembang dan mandiri.

Tak hanya itu, Kiai Said juga menyampaikan, termasuk yang harus kita jaga adalah simbol (kapital simbolik). Misalnya, bedug di Masjid. Kata Kiai Said, meski bedug tidak menambah pahalanya orang yang shalat di Masjid, tapi hal itu harus kita rawat. Lebih dari itu, karena ada kaitan sejarahnya dengan para Wali Songo. Tentunya, dengan memelihara kekayaan itu (sosial, kultural, simbolik) kita pasti akan meraih apa yang kita cita-citakan.

Kenapa mereka terlihat keras dalam beragama (radikal)?

Sebenarnya, sikap ekstrim kerap kali lahir dari ketidakseimbangan membaca kedua sumber hukum. Pembaca teks merasa seakan paling benar dan paling religius dari pembaca realitas dan begitu juga sebaliknya. Fiqh (hukum) dan agama hanya dirumuskan dari salah satunya adalah sebagai produk yang belum matang.

Kemungkinan besar mereka hanya memahami agama melalui teks (seakan agama seluruhnya adalah teks itu sendiri). Meminjam bahasa ushul fiqh, seakan-akan setelah berijtihad dan merumuskan satu hukum dari teks, maka selesailah tugasnya. Dan itulah agama sebenarnya.

Hemat penulis, pandangan seperti ini tak sepenunya keliru. Hanya saja belum tuntas dalam memahaminya. Itu artinya, pasca ijtihad dan merumuskan satu hukum dari teks, sebenarnya masih ada yang penting untuk di pikirkan. Adalah mempersambungkan (ittishal) dan mengaitkan (irtibath) hukum yang telah dirumuskan dari teks dengan realitas, baik realitas sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Dengan demikian, dari persentuhan hukum yang dirumuskan dari teks dan realitas itulah yang disebut agama (fiqh). Inilah sebenarnya salah satu bentuk moderasi beragama, yaitu memoderasikan dan menyeimbangkan antara kedua sumber hukum, yang keduanya sama-sama bersumber dari Allah SWT. jika metode seperti ini sudah membumi di Indonesia, maka insyaallah pemahaman-pemahaman radikal akan terkikis habis. Wallahu a’lam bisshawab.

***

*) Oleh: Salman Akif Faylasuf, alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus Kader PMII Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES