Kopi TIMES

Refleksi HPN 2023: Tantangan Pers di Tengah Momentum Politik 2024

Selasa, 14 Februari 2023 - 15:20 | 98.06k
Muhammad Iqbal Khatami, Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Mahasiswa Magister Komunikasi UGM.
Muhammad Iqbal Khatami, Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Mahasiswa Magister Komunikasi UGM.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Tepat tanggal 9 Februari 2023 ini, Indonesia kembali memperingati dan merayakan Hari Pers Nasional (HPN) sekaligus juga diperingati sebagai HUT Persatuan Wartawan Indonesia yang ke-77 Tahun. Usia yang sudah sangat tua yang mengharuskan pers untuk tetap terus matang, arif dan bijaksana guna menghadapi tantangan besar di tengah perubahan zaman yang begitu cepat.

Kehadiran media massa di Indonesia sering disebut sebagai pilar ke empat demokras. Dimulai pada Reformasi tahun 1998 misalnya, yang juga memperjuangkan tentang kebebasan pers. Hingga hari ini, mendekati usia 25 tahun reformasi, demokrasi kita membutuhkan jurnalisme yang lebih dari sebelumnya.

Meskipun buah dari reformasi pers diklaim telah bebas dari kekangan dan menjunjung tinggi kebebasan, namun tantangan-tantangan lainnya juga terus bermuncul. Di kondisi saat ini misalnya, tidak sedikit perusahaan media yang pontang-panting menghadapi perubahan zaman. Tuntutan perubahan juga menuntut akselerasi pengembangan media, yang mana ini juga berimplikasi pada peningkatan kebutuhan kapitalistik sebagai modal jalannya perusahaan.

Hingga pada akhirnya, tidak sedikit media yang ‘terpaksa’ menggadaikan independensinya guna mendapatkan pemasukan ekonomi untuk menjalankan perusahaan. Atau bahkan tidak sedikit media yang akhirnya diakuisisi oleh elit politik karena tidak mampu lagi memodali jalannya media. Implikasinya adalah media berpotensi menjadi alat politik tertentu.

Tuntutan Relevansi

Perusahaan media mungkin akan silih berganti, dari berganti kepemilikan, gulung tikar, hingga bermunculan yang baru. Semuanya terseleksi di tengah arus tuntutan relevansi media massa untuk publik dan lanskap sosial politik saat ini. Meski begitu, jurnalisme akan tetap ada dengan nilai-nilai yang ‘seharusnya’ tetap sama dan konsisten. Walaupun Ia saat ini lebih banyak hadir di ruang digital dibandingkan edisi cetak.

Senjakal media cetak menjadi fenomena yang akrab akhir-akhir ini. Di akhir Tahun 2022 lalu misalnya, Republika secara mengejutkan menghentikan edisi koran cetaknya dan berfokus pada bentuk digital. Sebelumnya, puluhan media massa berbasis cetak juga melakukan hal yang sama, bahkan hingga gulung tikar. 

Fenomena ini terjadi bukan sekadar karena faktor penetrasi revolusi digital. Lebih dari itu, karena tidak banyak media yang mampu relevan bagi publik dan adaptif perubahan zaman. Sebuah tantangan yang kompleks untuk media mampu mempertahankan eksistensinya di tengah era jurnalisme warga, di mana siapa saja dapat menjadi produsen pesan dan berita.

Tantangan lain bagi media massa hari ini adalah menjadikan jurnalisme sebagai medium yang menghadirkan aspirasi dan pikiran publik, khususnya di tengah riuhnya kontestasi politik Tahun 2024 saat ini.

Pers sebagai Oase di Tahun Politik

Era banjir informasi semakin memperbesar percikan api konflik di tahun politik, yang diakibatkan banyaknya informasi yang bersifat provokatif, hoaks, dan narasi negatif lainnya. Banjir informasi juga menimbulkan era Post Truth, di mana suatu kebenaran dan kebohongan memiliki batasan yang amat tipis. Hal ini diakibatkan karena informasi yang beredar lebih banyak yang bersifat emosional dan mengesampingkan kredibilitas informasi. 

Apalagi di tahun politik saat ini, keriuhan ruang digital tidak terelakkan. Belajar dari Pemilu 2019 misalnya, polarisasipers punya peran besar untuk hadir menjawab keriuhan ruang publik kita di tahun politik ini. Yakni sebagai pendorong konsolidasi demokrasi dengan menghadirkan informasi yang berkualitas.

Kondisi ini juga terkonfirmasi oleh statemen Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Sumatera Utara. Jokowi menekankan bahwa saat ini dunia pers sedang tidak baik-baik saja. Jokowi mengatakan dulu isu utama dunia pers adalah kebebasan pers. Namun, menurutnya, kini isu utama dunia pers sudah bergeser. Menurutnya, masalah utama pers saat ini adalah pemberitaan yang bertanggung jawab.

Dalam konteks tahun politik saat ini, ada beberapa hal yang perlu dikuatkan oleh pers untuk mewujudkan perannya di Pemilu 2024 ini. Pertama, adalah Kebenaran. Dalam konteks pemilu, publik membutuhkan informasi yang benar tentang jalannya konestasi seperti informasi calon, partai politik, dan proses jalannya pemilu.

Kedua, Keberpihakan ke Publik. Pemberitaan tidak cukup hanya diisi oleh statemen dari politisi dan elitnya saja. Namun, suara-suara publik perlu dihadirkan dalam banyak pemberitaan sebagai representasi dari suara publik. Ketiga, Independen. Dalam perkembangannya, media massa telah menjadi alat efektif sebagai saluran kampanye bagi para kandidat.

Sehingga, potensi untuk menggiring media berpihak kepada kandidat tertentu sangatlah besar. Dampaknya adalah informasi yang dihadirkan akan cenderung tidak berimbang. Keempat, Pengawasan. Peran pengawasan dapat dilihat misalnya dari produk jurnalisme berupa investigasi. Namun, tidak banyak media di Indonesia yang melakukan jurnalisme investigasi.

Di Tahun Politik ini, tentu kita mengharapkan media dapat kritis dan mengungkap fakta-fakta pencerahan bagi publik tentang para aktor yang terlibat dalam pemilu. Terakhir, Proporsional dan Komprehensif. Pemilihan berita berpotensi sangat subjektif, sehingga media dituntut agar proporsional dalam menyajikan berita. Apalagi, di tengah tahun politik sensitivitas publik sangat tinggi terhadap informasi yang didapat.

Pers Bebas, Demokrasi Berkualitas

Berdasarkan survei Katadata Insight Center pada 2022 lalu, 73% masyarakat menjadikan media sosial sebagai medium memproleh informasi. Sumber yang paling sering diakses kedua adalah televisi, ketiga diikuti oleh berita online. Dengan melihat hasil survei tersebut, kehadiran media sangat diperlukan sebagai penyeimbang informasi-informasi yang tidak kredibel di media sosial, seperti hoaks dan politisasi SARA yang menjamur di tahun politik.

Upaya media untuk terus tetap relevan bagi publik juga sangat diperlukan. Sebab jika demokrasi semakin lemah maka korban utamanya adalah kebebasan media itu sendiri. Begitu pun sebaliknya, ketika media terus relevan maka akan memperkuat jalannya demokrasi kita. 

***

*) Oleh: Muhammad Iqbal Khatami, Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES