Kopi TIMES

Tauladan Itu Bernama Muhammadiyah

Selasa, 21 Februari 2023 - 12:33 | 216.42k
Moh. Syaeful Bahar
Moh. Syaeful Bahar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Saya belum move on dari Resepsi Puncak Harlah NU 1 Abad. Hati dan pikiran saya masih tersita untuk terus mengingat berbagai keindahan dari  kejadian demi kejadian yang terjadi selama pelaksanaan Resepsi Puncak Harlah NU 1 Abad tersebut. Kejadian-kejadian itu memberi pelajaran berharga bagi saya. Saya sebagai bagian dari NU maupun sebagai warga Indonesia. Salah satu keindahan itu datang dari Muhammadiyah. Salah satu pelajaran itu datang dari Muhammadiyah. Salah satu harapan itu datang dari Muhammadiyah. Organisasi keIslaman yang lebih tua umurnya dari pada NU.

Belajar dari Muhammadiyah

Pelajaran dan keindahan itu tidak hanya datang dari pengurus Pengurus Pusat  (PP) Muhammadiyah di Jakarta sana. Seperti yang telah banyak diwartakan, PP Muhammadiyah melalui pengurus terasnya, secara resmi mendoakan dan mengucapkan tahniyah untuk harlah satu abad NU. Tahniyah yang disampaikan itu telah berdampak luar biasa pada psikologi warga NU. Mereka merasa disapa dan diperhatikan oleh Muhammadiyah. Tahniyah itu menyejukkan bahkan mungkin di beberapa tempat telah mendamaikan hubungan warga NU dan warga Muhammadiyah yang sedang “tak nyaman”. Intinya, apa yang dilakukan pengurus PP Muhammadiyah, diakui atau tidak, pasti telah melahirkan hal positif di akar rumput. 

Hal positif lain, pelajaran positif lain yang datang dari Muhammadiyah adalah ketulusan warga Muhammadiyah Sidoarjo. Bahkan, menurut saya, prilaku positif yang ditunjukkan warga Muhammadiyah Sidoarjo ini jauh lebih mengharukan dibandingkan sikap dan tauladan yang ditunjukkan oleh para pengurus PP Muhammadiyah.

Warga Muhammadiyah itu datang berbondong-bondong, terorganisir dan penuh persaudaraan untuk membantu warga NU. Mereka datang sebagai saudara yang tulus melayani dan menghormati. Tak kurang 2000 nasi bungkus, 3000 porsi bakso, kudapan teh dan snack serta ambulance plus tenaga kesehatan telah disiapkan oleh warga Muhammadiyah Sidoarjo. Semua fasilitas itu diberikan sebagai bentuk penghormatan dan bentuk persaudaraan.

Keindahan solidaritas dan kepedulian Muhamamdiyah tidak berhenti dengan dukungan PP Muhammadiyah dan dukungan warga Muhammadiyah Sidoarjo, tapi juga datang dari para tokoh Muhammadiyah yang rela hadir langsung di GOR Delta Sidoarjo. Beberapa video yang viral menunjukkan bagaimana Prof. Muhajir Effendi dan Dr. KH. Saad Ibrahim harus menerobos kemacetan di tol Sidoarjo, berjalan kaki dan melompati pembatas tol tanpa sungkan berbaur dengan warga NU. Pemandangan yang sungguh indah. Tak heran, karena ketulusan itu, Gus Yahya atas nama PBNU dan Gus Yaqut atas nama Ketua Panitia Pelaksanaan Puncak Harlah NU mengucapkan terima kasih kepada Muhammadiyah.

Sebagai pengurus NU di tingkat cabang, saya berharap banyak agar tauladan yang diberikan oleh Muhamamdiyah ini akan menjadi salah satu momentum semakin eratnya hubungan NU dan Muhammadiyah ditingkat grassroot. 
Akan menjadi sangat indah, ketika ada kesamaan sikap dan kesadaran, bahwa hajat NU adalah bagian dari hajat Muhammadiyah, dan begitu pula, bahwa hajat Muhammadiyah adalah bagian dari hajat NU. Kesadaran yang lahir dari satu kebutuhan yang sama, kebutuhan atas nama Islam dan atas nama Indonesia.

Bersaudara atas Nama Islam dan Indonesia

Saya sering menulis tentang pentingnya hubungan baik NU dan Muhammadiyah.  Terutama ketika dikaitkan dengan ancaman semakin menguatnya kelompok Islam radikal dan transnasional. Berbagai penelitian terkait menguatnya kelompok Islam Transnasional ini, hampir semua menyimpulkan bahwa para aktivis kelompok ini bukanlah kader NU dan bukan kader Muhammadiyah, jikapun ada di antaranya adalah kader kedua organisasi tersebut, hampir bisa dipastikan, mereka itu tak aktif dan tak mewakili NU dan Muhammadiyah. 

Alasannya jelas, bahwa NU dan Muhammadiyah telah memiliki pandangan yang final tentang relasi Islam dan negara. Pandangan tersebut bukan hanya berdasar pada kebutuhan realitas kekinian, tapi juga berdasar pada prinsip-prinsip keIslaman yang dipijaki oleh NU dan Muhammadiyah. 

Keputusan NU dan Muhammadiyah untuk mencitrakan Islam yang ramah, Islam yang menghormati perbedaan, Islam yang mengedepankan dialog bukan kekerasan adalah hasil kajian dan kesimpulan pemahaman keIslaman dari para tokoh NU dan Muhammadiyah. Pemahaman yang tak lahir serta merta dari sebuah proses yang sederhana dan tak bertanggungjawab, tapi melalui sebuah proses kajian ilmiah yang penuh tanggungjawab. 

Apa yang diputuskan oleh NU dan Muhammadiyah tentang relasi Islam dan negara memiliki otoritas refrensi yang sahih, memiliki sanad yang valid dan kuat serta ijtihad yang penuh tanggung jawab. Misal, tentang posisi Pancasila sebagai dasar negara, sebagai perekat bangsa Indonesia, adalah merupakan duplikasi dari Piagam Madinah yang pernah Rasulullah saw contohkan di negara Madinah.  Pancasila adalah kalimatun sawa, titik temu yang merekatkan perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia.

Dalam pandangan NU dan Muhammadiyah, bentuk negara NKRI adalah sesuatu yang final. Pancasila sebagai dasar negara tidak bertentangan dengan Islam sebagai agama. Dengan demikian, bagi NU dan Muhammadiyah, menjadi Indonesia dan menjalankan semua peraturan yang telah diundangkan oleh negara, selama tidak bertentangan dengan Islam, adalah sama hakikatnya dengan menjalan ajaran Islam. 

Pandangan NU dan Muhammadiyah tentang relasi Islam dan negara, serta pengakuan NU dan Muhammadiyah pada Pancasila dan NIKRI secara tidak langsung telah mengokohkan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Sebagai dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, maka pengakuan ini telah menutup peluang gugatan yang kerap dilayangkan oleh para agen khilafah untuk mengganti Pancasila dan NKRI dengan khilafah.

Dengan kata lain, eksistensi Pancasila dan NKRI dalam menghadapi rongrongan ideologi khilafah, sangat tergantung pada sikap dan pilihan ideologi NU dan Muhammadiyah. Selama NU dan Muhammadiyah masih menilai bahwa Islam dan Pancasila tak bertentangan, bahwa antara Islam dan Pancasila dapat saling mengokohkan, maka, di saat itu pula, Indonesia sebagai sebuah negara  akan tetap terjaga eksistensinya. (*)

***

Penulis adalah Dosen Fisip UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua PCNU Bondowoso

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES