Kopi TIMES

Pentingnya Mengantisipasi Normalisasi 'Menjadi Polisi Harus Berduit'

Jumat, 10 Maret 2023 - 14:25 | 68.79k
Herza, M.A. (Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung).
Herza, M.A. (Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung).

TIMESINDONESIA, BANGKA BELITUNG – Baru-baru ini tersiar kabar ada oknum Polisi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang dilaporkan menjadi calo pada perekrutan anggota Bintara Polri.

Adalah Bripka YA oknum anggota Polda Babel yang dilaporkan oleh orang tua dari salah satu peserta penerimaan anggota Bintara Polri tahun 2022 (Bangka Pos, 09/02/23). Berdasarkan berita yang ditayangkan media Bangka Pos, tidak sedikit uang yang sudah digelontorkan orang tua salah satu peserta penerimaan anggota Polri kepada Bripka YA, yakni 85 juta rupiah. Karena kecewa hasilnya tidak sesuai dengan yang diiming-imingi sang Calo, akhirnya orang tua atas nama Noviar (39 tahun) ini melaporkan 'aib' tersebut ke pihak Propam Polda Babel.

Sebelumnya, ada juga kasus serupa yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada tahun 2021 yang lalu, ada oknum Polri yang bertugas di Polres Rote Ndao, NTT, tertangkap menjalankan aksi calo (detikcom, 2022; Cnnindonesia.com, 2022). Terungkapnya persoalan tersebut ke media dan publik, juga atas alasan yang sama dengan kejadian di Bangka Belitung beberapa hari lalu, yakni karena orang tua salah satu peserta penerimaan anggota Polri di NTT telah menggelontorkan uang sebesar 225 juta, namun anaknya dinyatakan gugur di salah satu tahapan seleksi. Sementara uang yang sudah diberikan kepada oknum anggota Polri yang menjadi calo tak kunjung dikembalikan (detikcom, 2022).  

Permainan Calo sebagai Praktik yang Kerap Terjadi

Permainan yang ditunjukkan beberapa oknum anggota Polisi yang memanfaatkan momentum penerimaan anggota baru untuk memperoleh 'uang haram' seperti yang diungkapkan di atas, sebetulnya memang sudah kerap terjadi di tengah masyarakat. Entah itu terjadi dikarenakan para orang tua yang 'ngebet' menginginkan anaknya menjadi seorang polisi bertindak aktif mencari sosok atau figur

Polisi yang dianggap bisa memuluskan jalannya. Maupun dari sisi para oknum Polisi calo itu sendiri yang gencar mencari 'mangsa' untuk diiming-imingi bisa mudah menjadi anggota Polri dengan syarat mengeluarkan pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit sebagai konversinya.

Melalui perjumpaan dengan beberapa teman, Penulis beberapa kali mendengarkan langsung curhatan soal permainan calo pada momen penerimaan anggota Polri dari mereka yang mendapatkan tawaran. Ada yang memang akhirnya bisa lulus seleksi (entah itu memang karena intervensi sang Calo atau memang pesertanya yang memang layak lolos), ada juga yang akhirnya tidak tergiur dengan tawaran sang Calo.

Normalisasi 'Menjadi Polisi Harus Berduit'

Kerapnya praktik ini terjadi, dan mudahnya tersebar pengetahuan akan  adanya praktik tersebut,  membuat realitas 'menjadi anggota polisi harus bermodalkan banyak duit' semacam ternormalisasi dalam kesadaran masyarakat. Dengan kata lain, orang-orang akan dengan mudah beranggapan bahwa siapa pun yang dinyatakan lolos seleksi Polisi, sudah pasti (dan normalnya) dalam prosesnya telah menyalurkan duit melalui oknum Polisi yang memiliki relasi dengan keluarga peserta yang lulus tersebut.  

Normalisasi yang ekstreamnya adalah, orang-orang menjadi menganggap lumrah jika mau lulus seleksi anggota kepolisian, ada standar budget yang harus dipenuhi, yakni kisaran 85-120 Juta atau bahkan lebih. Padahal dalam sistem rekrutmen resmi dari institusi Polri itu sendiri, penerimaan anggota baru sama sekali tidak dipungut biaya, kacuali biaya yang dikeluarkan untuk mengurusi kelengkapan administrasi pendaftaran, atau inisiatif para peserta untuk melakukan medical check up, serta Les/Bimbel untuk persiapan tes potensi akademiknya, sebelum proses tes rillnya ditempuh.

Proses normalisasi yang terjadi sebagaimana yang penulis maksud, selama ini cenderung terabaikan atau mungkin dianggap enteng oleh mereka-mereka yang berada dalam institusi Polri. Barangkali dinilai, bahwa pengetahuan masyarakat itu bisa dihilangkan dengan hanya menyebarkan pamflet perekrutan anggota Polri yang tertulis keterangan 'tidak dipungut biaya', dan/atau melalui statement petinggi Polri di media yang menyampaikan untuk tidak tertipu dengan Calo yang mengaku bisa meluluskan peserta dengan syarat menyerahkan uang dalam jumlah tertentu (sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Kabid Humas Polda NTT Kombes Pol Ariasandy ke media pada tahun 2021 lalu.

Penilaian seperti seperti tersebut di atas diyakini 'manjur' karena basisnya menggunakan perspektif dan pengalaman mereka yang tergabung di institusi Polri itu sendiri. Bagi penulis, ini berpotensi untuk membuat terjadinya ketidaktepatan memaknai. Sebab, proses akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan antara mereka yang berkecimpung di institusi Polri, dengan masyarakat di luar sana (khsususnya masyarakat akar rumput), kerap menunjukkan gap atau perbedaan yang sangat signifikan.

Kalau saja para petinggi Polri mau fokus turun ke bawah (misalnya dengan mengutuskan tim riset khusus utusan Polri), lalu berusaha memahami bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang dilalui masyarakat selama ini (dengan menggunakan perspektif masyarakat) berkenaan dengan bagaimana terjadinya dinamika penerimaan anggota Polri, menurut penulis, besar kemungkinan hasil penilaian yang mungkin mengganggap enteng persoalan  normalisasi 'masuk polisi harus berduit' tersebut, menjadi berubah 180 derajat (baca: perspektif dan metode fenomenologi). 

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman penulis sebagai akademisi Sosiologi, proses mengakarnya pengetahuan 'menjadi anggota polisi harus berduit', semacam sudah terwariskan terus menerus di masyarakat; dari generasi ke generasi. Warisan pengetahuan ini semakin kuat validitasnya ketika banyak orang mengalami secara langsung praktik-praktik yang menunjukkan adanya permainan calo ketika momen penerimaan anggota Polri. 

Saking mengakar dengan kuatnya pengetahuan itu, berimplikasi negatif kepada mereka yang bisa menjadi anggota Polri pure tanpa duit dan tidak mengandalkan relasi. Mereka yang lolos seleksi dengan murni ini akan tetap dinilai dan dipercayai menggunakan kekuatan duit dan/atau relasi.

Berimplikasi terhadap Citra Institusi Polri

Tentu para petinggi Polri dan siapapun yang peduli dengan institusi ini, tidak akan rela normalisasi pengetahuan 'menjadi polisi harus berduit' terus menghinggapi kesadaran masyarakat. Sebab, hal itu akan berimplikasi kepada citra institusi dan para anggota Polri secara luas. Misal, ketika orang-orang yang berada di institusi ini terbukti sudah menunjukkan kinerja dengan baik, namun karena masih mengakarnya pengetahuan soal adanya calo pada proses perekrutan anggotanya, tetap saja akan terasa ada bagian yang 'cacat' dari institusi Polri. 

Belum lagi, ditambah adanya rentetan ulah beberapa oknum Polisi yang akhir-akhir ini kerap diberitakan media, yang juga turut mendegradasi citra dari institusi Polri. Beberapa kasus yang diangkat media dan ramai di publik, yakni pembunuhan keji dan terencana oleh Kadiv Propam Ferdi Sambo dan keterlibatan beberapa bawahannya dengan korban ajudan Sambo sendiri, yakni Brigadir Joshua Hutabarat; Korupsi yang dilakukan pasangan suami istri oknum Polri di Blora terkait Uang Penerimaan Negara Bukan Pajak (dengan nilai sekitar 3 Miliar); Korupsi yang dilakukan oleh anggota POLDA NTB yang merugikan negara sebesar 2,38 M; Lalu pada 2021, juga maraknya berita yang menginfokan anggota Polres Lebong, Bengkulu terjerat kasus korupsi. 

Soal moralitas dan kejahatan beberapa anggota Polri yang masih muda juga kerap tersorot media akhir-akhir ini, seperti adanya kasus oknum Polisi muda (di Denpasar Bali)  yang melakukan transaksi open BO PSK (Boking Online Pekerja Seks Komersil) yang berujung kepada penikaman terhadap anggota polisi tersebut; Juga sempat viral kasus Polisi berpangkat Brigadir di Polres Lahat yang membunuh dan membakar tubuh kekasihnya sendiri; Serta yang sangat viral di media sosial, yakni BRIPDA Randy yang dipecat dan dijatuhkan hukuman penjara karena terbukti memaksa kekasihnya melakukan aborsi lebih dari sekali yang menyebabkan sang kekasih depresi hingga bunuh diri.

Oleh karena itu, paling tidak  berkenaan dengan persoalan telah terjadinya normalisasi anggapan 'menjadi anggota POLRI harus berduit' sebagaimana yang dibahas dalam tulisan ini, adalah sangat urgent untuk diseriusi dalam hal mencari solusi, supaya normalisasi tersebut ke depannya bisa terbantahkan dan/atau tak berlaku lagi. 

Sebuah Tawaran Alternatif  Solusi

Memang bukan pekerjaan jangka pendek (dan mudah) untuk membuat masyarakat membatalkan pandangan yang sudah mengakar sejak lama terkait dengan perekrutan anggota Polri— yakni 'menjadi polisi harus berduit'. Ini perlu kerja kolektif, intensif, dan terlembaga, jika betul-betul serius ingin menanganinya. Ada beberapa langkah/jalan alternatif yang mungkin bisa direaliasikan untuk menuju ke situ.

Pertama, menerjunkan tim riset khusus bentukan Polri untuk memetekan dan memastikan bagaimana pengetahuan masyarakat tentang intitusi Polri dan proses prekrutan anggotanya yang kerap dinilai negatif itu. Bagaimana dinamika pengalaman yang menjadi dasar munculnya  pengetahuan masyarakat tersebut, adalah hal penting untuk dikaji.

Menurut penulis, dalam hal ini, tim riset utusan Polri perlu memposisikan diri sebagai masyarakat dan mencoba memahami perspektif mereka, sehingga interpretasi atas fakta di lapangan itu tidak dominan menggunakan perspektif tim riset ataupun para petinggi Polri. Langkah ini urgent untuk dilakukan agar para petinggi Institusi Polri bisa menentukan langkah apa yang perlu dilakukan berikutnya sesuai dengan data dan fakta yang dipetakan langsung di tengah masyarakat.

Kedua, pada momentum penerimaan anggota baru, Institusi Polri perlu mengambil langkah untuk membangun program kerja tim humasnya agar lebih intens sosialisasi ke bawah tentang syarat dan proses penerimaan anggota baru tersebut. Lebih bagus lagi dibangun posko-posko di tengah masyarakat khusus untuk sosialisasi ini.

Hemat penulis, langkah yang demikian yang agak absen selama ini. Padahal langkah seperti ini perlu diseriusi. Apalagi, sosialisasi yang hanya mengandalkan flyer yang tersebar di media digital atau media sosial, terbukti tidak efektif untuk bisa membatalkan pandangan masyarakat bahwa 'menjadi polisi harus berduit atau memiliki relasi.'

Ketiga, para petinggi Polri di level daerah seyogyanya menugaskan para anggotanya untuk gencar bercerita pengalaman mereka mendaftar dan mengikuti seleksi anggota Polri secara murni (tanpa harus bayar dui atau mengandalkan relasi) melalui pelbagai media. Khususnya para anggota yang berlatar belakang bukan dari keluarga Polri dan/atau kaya secara ekonomi— juga para anggota yang memang mempunyai sekelumit kisah inspiratif terkait persiapan mereka saat ingin mengikuti seleksi. Sebab, hal-hal yang seperti ini masih terasa kurang terdiseminasi di tengah masyarakat.

Padahal, jika banyak yang tahu, bisa berimplikasi untuk membangkitkan optimisme para generasi muda yang bercita-cita bisa menjadi anggota Polri meski mereka bukan berasal dari keluarga yang 'berada secara ekonomi' dan/atau tak punya relasi dengan oknum polisi.

***

*) Oleh: Herza, M.A. (Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES