Kopi TIMES

Reformasi Pemahaman Hukum Keagamaan: Era Baru Fiqih Indonesia menurut KH MA Sahal Mahfudh

Sabtu, 11 Maret 2023 - 09:01 | 86.71k
Muhammad Fauzinuddin Faiz (Dosen UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember & Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi dan Publikasi Nahdlatul Ulama)
Muhammad Fauzinuddin Faiz (Dosen UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember & Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi dan Publikasi Nahdlatul Ulama)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang kaya. Salah satu agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia adalah Islam, yang telah berkembang dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman dan penerapan hukum keagamaan di Indonesia seringkali menjadi kontroversial dan menimbulkan perdebatan yang sengit. Beberapa kontroversi misalnya hukuman bagi pelaku kejahatan syariah di Aceh dan sekitarnya, perlakuan terhadap kelompok minoritas, pernikahan di bawah umur dan poligami, serta penerapan syariah di beberapa daerah. Beberapa kelompok mendukung penerapan hukum agama yang ketat, sementara kelompok lain menganggapnya sebagai alat untuk menindas kelompok minoritas dan melanggar hak asasi manusia.

Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan yang inklusif, kontekstual, dan berbasis pada nilai-nilai keadilan sosial dalam pemahaman hukum agama, dan hal ini menjadi perhatian utama dari KH MA Sahal Mahfudh dalam mengembangkan konsep fiqih baru, "Era Baru Fiqih Indonesia".

KH MA Sahal Mahfudz, atau akrab disapa Kiai Sahal atau Mbah Sahal, adalah seorang ulama kontemporer Indonesia yang memiliki kedalaman ilmu yang sangat dihormati di kalangan masyarakat Indonesia. Beliau terkenal dengan kehati-hatiannya dalam bersikap dan memberikan fatwa yang tepat dan relevan bagi masyarakat baik dalam lingkup lokal maupun nasional. Kiai Sahal bukan hanya seorang ulama dan kiai yang dihormati, tetapi juga seorang pemikir yang memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat kecil. Beliau telah menulis ratusan risalah atau makalah dalam bahasa Arab dan Indonesia, dan menjadi aktivis LSM yang berjuang untuk kepentingan masyarakat kecil di sekitarnya.

Beliau juga diakui sebagai salah satu ahli Fiqih terbaik di Indonesia, yang dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqih dan pengembangan pesantren dan masyarakat pada tahun 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengalaman dan keahlian beliau sebagai ulama dan kiai telah membuat beliau dipercaya menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama dua periode dan Rais Aam Syuriah PBNU juga selama dua periode.

Dalam pandangan Kiai Sahal, hukum agama harus dilihat sebagai sebuah kerangka etis yang hidup dan beradaptasi dengan perubahan zaman dan konteks sosial. Dengan pendekatan inklusif, kontekstual, dan berbasis pada nilai-nilai keadilan sosial, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan berdampingan dengan baik. Oleh karena itu, Era Baru Fiqih Indonesia menjadi penting untuk membangun kerja sama dan dialog yang lebih intens antara berbagai aliran/mazhab dan kelompok dalam Islam, serta meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang hak asasi manusia, keadilan sosial, dan nilai-nilai toleransi dan inklusif dalam Islam.

Dalam pandangan Kiai Sahal, hukum agama seharusnya dilihat sebagai sebuah kerangka etis yang tidak terikat oleh ketentuan formal dan kaku. Hal ini dikarenakan hukum agama berperan dalam mengatur perilaku manusia di dalam kehidupan sehari-hari, yang tentunya membutuhkan penyesuaian dengan konteks sosial dan budaya yang berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, hukum agama tidak boleh diterapkan secara kaku dan beku, namun harus kontekstual dan beradaptasi dengan situasi serta kebutuhan masyarakat.

Contoh nyata dari gagasan ini dapat ditemukan dalam penggunaan hukum syariah di beberapa negara mayoritas muslim. Meskipun dalam Islam terdapat hukum-hukum yang telah ditetapkan, namun pelaksanaannya tidak selalu sama di setiap negara. Sebagai contoh, dalam hal hukuman atas perzinahan, beberapa negara menerapkan hukuman rajam, sedangkan negara lain memilih hukuman yang lebih ringan seperti pidana penjara atau hukuman denda. Hal ini menunjukkan bahwa hukum agama dapat diaplikasikan secara kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat yang berbeda-beda.

Dalam hal ini, penting untuk memahami bahwa hukum agama bukanlah suatu aturan yang bersifat statis, melainkan merupakan kerangka etis yang hidup dan dapat berubah seiring dengan perubahan zaman dan lingkungan. Oleh karena itu, penafsiran dan aplikasi hukum agama harus dilakukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang ada. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kesadaran akan fleksibilitas dan kontekstualitas hukum agama dapat membantu menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan beragam.

Kiai Sahal memiliki pandangan bahwa pengembangan fiqih harus dilakukan dengan cara kontekstualisasi kitab kuning dan pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah ushuliyyah maupun kaidah fiqhiyyah. Pemikirannya juga menekankan pentingnya mempertimbangkan temuan sains, teknologi, dan ilmu sosial dalam mencari solusi untuk kemaslahatan. Contohnya, dalam konteks pandemi COVID-19, para ulama di Indonesia telah melakukan ijtihad yang mengakomodasi konteks pandemi ini dengan menetapkan tata cara shalat berjamaah yang memperhatikan protokol kesehatan. Atau misalnya dalam membahas kajian ekonomi global, diperlukan perspektif dari ahli ekonomi untuk menemukan ekstraksi dan konstruksi hukum yang benar-benar menapaki bumi, bukan hukum yang awang-awang dan melangit. Dengan begitu, prinsip hukum Agama yang dapat memberikan rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam dan relevan di setiap zaman benar-benar terasa dan terealisasi.

Selain itu, Kiai Sahal juga membangun landasan berfikir fiqih sosial dengan memberikan lima ciri pokok, yang kemudian lebih dikenal dengan lima prinsip dasar fiqih sosial; interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab dari qauly (tekstual) ke manhaji (metodologis), verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara, dan pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial dan budaya. Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dalam kebijakan publik. Fiqh dapat dihadirkan sebagai sebuah sistem etika sosial yang dapat diaplikasikan dalam kebijakan redistribusi sumber daya untuk memperbaiki kesenjangan sosial dan ekonomi, sementara prinsip kemakmuran dapat diaplikasikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, Kiai Sahal memandang maqasid al syariah (prinsip dasar Hukum Agama/Keagamaan) tidak hanya dipahami secara apologis dan terbatasi hanya sekedar malaksanakan salat, menunaikan zakat, menikah dan lain sebagainya, lebih dari itu prinsip dasar tersebut harus lebih menyasar kepada kemaslahatan manusia. Aturan dibuat harusnya melihat relevansi zamannya. Memelihara/menjaga agama dalam konteks sosial-kemasyarakatan berarti menjaga dan mengembangkan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat seperti Menjaga toleransi antar agama, Mengembangkan pendidikan agama, Membangun moralitas yang baik dengan cara tidak korupsi, kolusi dan nepotisme. Memelihara jiwa dan akal dalam konteks sosial-kemasyarakatan berarti menjaga dan mengembangkan kesejahteraan spiritual masyarakat seperti menjaga kesehatan mental, meningkatkan kesadaran akan hak asasi manusia, mengembangkan nilai-nilai moral dan mengembangkan kegiatan intelektual dan literasi. Memelihara keturunan dalam konteks sosial-kemasyarakatan berarti menjaga dan memperkuat keluarga sebagai unit dasar dalam masyarakat dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak misalnya meningkatkan kesejahteraan keluarga atau meningkatkan akses ke layanan kesehatan dan gizi.

Jadi, dalam konteks sosial kemasyarakatan beberapa tahun terakhir ini, pemikiran ini dapat diaplikasikan dalam kebijakan publik yang memperhatikan kemaslahatan masyarakat secara holistik. Misalnya, kebijakan yang menekankan pada perlindungan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

Kiai Sahal juga menawarkan solusi dilakukannya ijtihad jama’i (ijtihad yang dilakukan secara kolektif) dalam proses istinbath hukum. Ijtihad jama’i dapat digunakan untuk menemukan solusi terbaik dalam kasus-kasus yang kompleks. Contohnya, dalam beberapa tahun terakhir, para ulama di Indonesia telah melakukan ijtihad jama’i dalam menetapkan hukum tentang nikah siri dan hak-hak perempuan dalam perceraian. Dengan melibatkan ulama dari berbagai disiplin ilmu, ijtihad jama’i dapat menghasilkan solusi yang lebih akurat dan sesuai dengan kemaslahatan umat.

 

*)  (Dosen UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember & Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi dan Publikasi Nahdlatul Ulama)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES