Tasawuf Kebinekaan KH. Achmad Shiddiq: Menjembatani Tradisi Sufistik dan Pancasila untuk Inklusi dan Keragaman di Indonesia

TIMESINDONESIA, JEMBER – Tasawuf kebinekaan atau keragaman adalah konsep yang baru muncul di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Konsep ini menekankan pentingnya keragaman dalam praktik tasawuf atau sufisme, yang merupakan bentuk mistisisme dalam ajaran Islam. Tasawuf kebinekaan mencerminkan pemikiran bahwa keberagaman dalam pandangan dan praktik tasawuf sejatinya menggambarkan kekayaan tradisi spiritual yang ada di Indonesia.(Faiz, 2023) Sebagai negara yang memiliki keberagaman budaya dan agama, umat Islam Indonesia mulai mengalami perubahan dalam interpretasi dan praktik spiritual, terutama dalam konteks tasawuf. Tasawuf atau sufisme, yang dikenal sebagai dimensi mistik dalam Islam, telah melalui berbagai tahap evolusi di negeri ini. Dewasa ini, muncul konsep tasawuf kebinekaan atau keragaman yang mencerminkan semangat Inklusifitas dan toleransi.
Sebelumnya, tasawuf di Indonesia lebih banyak dilihat sebagai ajaran yang monolitik, dengan beberapa kelompok atau tarekat yang dominan, seperti Naqsyabandiyah, Qadiriyyah, dan Syattariyah. Namun, seiring dengan perubahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, pemahaman tentang tasawuf mulai mengalami transformasi.(Howell, 2001) Tasawuf, yang sebelumnya lebih banyak dianggap sebagai ilmu dan praktik yang eksklusif, hanya diperuntukkan bagi mereka yang menjalani hidup dengan disiplin tinggi dan khusyuk dalam mencari kebenaran spiritual. Namun, di era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, pemikiran masyarakat Indonesia mulai terbuka terhadap gagasan-gagasan baru dan berbagai cara dalam menjalani kehidupan spiritual.(Ni’am, 2023)
Advertisement
Tasawuf kebinekaan ini muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk menjaga harmoni dan kebersamaan di tengah masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Konsep ini mengakui bahwa setiap individu memiliki latar belakang, pengalaman, dan cara pandang yang berbeda dalam memahami dan menjalani spiritualitas. Oleh karena itu, tasawuf kebinekaan mendorong toleransi dan menghargai perbedaan, baik dalam cara beribadah, berpikir, maupun berpraktik.
Munculnya tasawuf kebinekaan di Indonesia merupakan fenomena yang menarik dan sejalan dengan perkembangan zaman. Konsep ini bukan hanya mengajarkan tentang kebersamaan dan toleransi, tetapi juga mendorong masyarakat untuk terus mengembangkan pemikiran dan praktik spiritual yang lebih inklusif, dinamis, dan berbasis pada nilai-nilai kebinekaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Kiai Haji Achmad Siddiq, dalam kaitannya dengan klaim orang sebagai pelaku tasawuf kebinekaan, memiliki latar belakang yang kuat dan mendalam dari tiga aspek utama, yaitu warisan spiritual orang tuanya, terutama dari ayahnya Kiai Muhammad Siddiq, hubungan erat dengan sahabat dan gurunya, serta pemikiran dan perspektifnya yang inklusif. Warisan spiritual dari ayahnya membentuk landasan kuat dalam diri Kiai Siddiq untuk menghargai keberagaman dalam praktik tasawuf dan merangkul nilai-nilai toleransi serta persatuan. Di sisi lain, interaksi dan pertukaran pemikiran dengan sahabat-sahabat dan gurunya dalam dunia tasawuf memberikan wawasan yang beragam dan memperkaya pemahaman Kiai Siddiq tentang kekayaan tradisi sufistik. Sementara itu, pemikiran dan perspektif Kiai Siddiq yang inklusif dan terbuka terhadap keberagaman menjadikannya figur yang penting dan berpengaruh dalam mendorong konsep tasawuf kebinekaan di Indonesia.(Ni’am, 2023)
Dalam konteks pemikiran Kiai Siddiq yang menekankan pentingnya penerimaan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, kita dapat menemukan basis bagi konsep tasawuf kebinekaan di Indonesia. Kiai Siddiq menganggap bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak bertentangan dengan Islam, dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Hal ini menunjukkan adanya suatu pemikiran inklusif yang mengakomodasi keberagaman budaya dan tradisi, termasuk dalam konteks tasawuf. Pemikiran Kiai Siddiq memberikan landasan yang kokoh bagi pengembangan tasawuf kebinekaan sebagai cara untuk menghargai dan merayakan keragaman tradisi sufistik dalam masyarakat Indonesia.
Tasawuf kebinekaan dapat dilihat sebagai wujud konkret dari penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan spiritual masyarakat Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Kiai Siddiq, Pancasila merupakan wadah yang menampung keberagaman suku, agama, ras, etnis, dan golongan di Indonesia. Dalam konteks tasawuf, kebinekaan ini mencerminkan prinsip 'Kemanusiaan yang Adil dan Beradab' dan 'Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan'. Dengan demikian, tasawuf kebinekaan menjadi sarana untuk mewujudkan harmoni dan persatuan di tengah-tengah keberagaman yang ada, sejalan dengan semangat Pancasila.
Selain itu, tasawuf kebinekaan juga mencerminkan pemikiran para founding fathers yang menciptakan Pancasila sebagai common platform bagi bangsa Indonesia. Kiai Siddiq menegaskan bahwa keputusan ini sangat tepat dan kontekstual dengan situasi zaman Indonesia, termasuk keberagaman dalam tradisi sufistik. Dengan mengadopsi konsep tasawuf kebinekaan, masyarakat Indonesia dapat membangun kesepahaman dan toleransi yang lebih baik terhadap perbedaan pandangan dan praktik tasawuf, sekaligus menjaga keutuhan dan keharmonisan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berideologi Pancasila.
Kiai Siddiq, sebagai seorang Kiai sufi yang hidup di zaman modern, mengembangkan praktik dan ajaran tasawuf inklusif yang mencerminkan kebinekaan. Salah satu wujud konkret dari komitmennya terhadap tasawuf kebinekaan adalah melalui gerakan wirid yang dikenal sebagai 'wirid dzikr al-ghafilin'.(Zamhari, 2010b) Gerakan ini didirikan bersama oleh tiga orang Kiai sufi, yaitu K.H. Abdul Hamid Pasuruan, K.H. Hamim Thohari Jazuli (Gus Miek), dan K.H. Achmad Siddiq. Gerakan wirid ini merupakan upaya spiritual yang inovatif dan inklusif untuk meresapi masyarakat dengan nilai-nilai keagamaan dan etika. Melalui pendekatan tasawuf, gerakan ini mengajak umat untuk menginternalisasi ajaran Islam secara mendalam dan menghadapi tantangan dekadensi moral serta kejahatan yang muncul sebagai akibat dari arus modernisasi dan globalisasi. Gerakan ini mengembangkan jaringan yang luas dan berhasil menjangkau jutaan jamaah di seluruh pelosok Indonesia.
Gerakan wirid ini memiliki beberapa prinsip utama yang menjadi landasan dalam menghadapi permasalahan dekadensi moral dan kejahatan. Pertama, gerakan ini menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Islam ‘ala ahlus sunnah wal jama'ah annahdliyyah dan melibatkan diri dalam praktik wirid serta zikir sebagai sarana untuk membersihkan hati dan memperkuat iman. Dengan mengamalkan wirid secara konsisten, jamaah diharapkan mampu menghadapi godaan serta tantangan dalam kehidupan modern dan menjalani kehidupan yang lebih taat serta bermoral. Kedua, gerakan ini mengajak jamaah untuk saling mendukung dan menjalin hubungan yang erat antara sesama anggota, membangun komunitas yang saling menguatkan dan membantu dalam menghadapi masalah yang muncul di tengah masyarakat. Ketiga, gerakan ini berkomitmen untuk mengembangkan dialog serta kerjasama antar kelompok agama dan sosial, mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, serta memajukan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.(Zamhari, 2010a)
Basis tasawuf kebinekaan yang dianut oleh Kiai Siddiq terkait erat dengan upaya mempertahankan nilai-nilai Pancasila di tengah ancaman modernisasi dan kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan paham kebinekaan di Indonesia, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Islam radikal-ekstremis. Dalam konteks ini, Kiai Siddiq menunjukkan betapa pentingnya menjaga keutuhan dan harmoni persatuan dan kesatuan bangsa, yang telah lama dibangun di Indonesia. Gerakan wirid dzikr al-ghafilin menjadi salah satu cara untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan memperkuat tasawuf kebinekaan sebagai fondasi kehidupan spiritual yang inklusif dan toleran di Indonesia.(Woodward et al., 2013)
Dalam konteks Indonesia saat ini, implikasi dari gagasan Kiai Siddiq sangat relevan. Arus utama tentang pentingnya menjaga nilai-nilai Pancasila dari gempuran modernisasi menggambarkan betapa pentingnya kebinekaan dan toleransi di negeri ini. Kiai Siddiq, melalui gerakan wirid dzikr al-ghafilin dan praktik tasawuf inklusifnya, berkontribusi secara signifikan dalam menjaga stabilitas dan harmoni persatuan dan kesatuan di Indonesia, serta menghadapi ancaman yang dapat menggerogoti paham kebinekaan yang telah lama dibangun di bumi Indonesia.
Tasawuf kebinekaan Kiai Shiddiq dapat menjadi alternatif yang relevan dan kontekstual bagi pengembangan fiqih kebinekaan di Indonesia. Konsep tasawuf kebinekaan ini menekankan pentingnya toleransi, keberagaman, dan inklusi dalam praktik keagamaan, yang sejalan dengan semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan bangsa Indonesia.
Kiai Shiddiq berhasil membuktikan bahwa ajaran tasawuf tidak hanya bisa beradaptasi dengan perubahan zaman dan masyarakat yang semakin plural, tetapi juga bisa menjadi sumber inspirasi dan kekuatan bagi umat Islam untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Dalam konteks fiqih, tasawuf kebinekaan yang diajarkan oleh Kiai Shiddiq dapat memberikan pemahaman yang lebih luas dan inklusif tentang bagaimana syariat Islam bisa diterapkan dengan fleksibel dan toleran, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental agama dan kearifan khas Nusantara.
Sebagai alternatif fiqih kebinekaan, tasawuf kebinekaan Kiai Shiddiq mampu menciptakan wacana yang lebih konstruktif dan harmonis di tengah masyarakat yang majemuk. Dengan mengedepankan dialog, kerjasama, dan saling menghargai antara berbagai kelompok dan aliran keagamaan, tasawuf kebinekaan dapat menjadi solusi untuk mengatasi konflik dan perpecahan yang kerap muncul akibat perbedaan pemahaman dan praktik dalam agama. (*)
References
Faiz, M. F. (2023). Tasawuf Kebinekaan di Indonesia: Meresapi Ajaran Sufi Nusantara dalam Membangun Kerukunan dan Kebangsaan. Kumparan. https://kumparan.com/mufaddin/tasawuf-kebinekaan-di-indonesia-1zusNImkrsL/full
Howell, J. D. (2001). Sufism and the Indonesian Islamic Revival. The Journal of Asian Studies, 60(3), 701–729. https://doi.org/10.2307/2700107
Ni’am, S. (2023). Tasawuf Kebinekaan di Nusantara: Artikulasi Sufi Nusantara dalam Merespons Problem Keberagaman, Keberagamaan, dan Sosial-Kebangsaan. Bildung.
Woodward, M., Umar, M. S., Rohmaniyah, I., & Yahya, M. (2013). Salafi Violence and Sufi Tolerance? Rethinking Conventional Wisdom. Perspectives on Terrorism, 7(6), 58–78. http://www.jstor.org/stable/26297065
Zamhari, A. (2010a). Rituals of Islamic Spirituality. ANU Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt24h2kf
Zamhari, A. (2010b). The Awakening of the Negligent: The Dhikr al- Ghafilin Group. In Rituals of Islamic Spirituality (hal. 207–244). ANU Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt24h2kf.15
***
*) Penulis: Muhammad Fauzinuddin Faiz, Dosen UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq & Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi dan Publikasi Nahdlatul Ulama PCNU Jember.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |