Sekilas mengenai Gerakan Sosial Progresif dan Regresif

TIMESINDONESIA, PADANG – Gerakan Sosial adalah cerminan dari demokrasi. Demokrasi tidak harus dibiarkan kosong hingga hanya berlaku saat pemilihan umum saja. Pasca kemerdekaan dan orde baru dengan keterbatasan ruang gerak, gerakan sosial berkembang seperti gerakan demokrasi, feminisme, HAM, maupun gerakan lingkungan.
Sejak tahun 1970an, para ilmuwan menganalisis gerakan sosial menjadi dua, pertama adalah aksi kolektif seperti buruh, gerakan feminis, dan lingkungan seperti yang terjadi di eropa dengan melawan bentuk eksploitasi yang terstruktur.
Advertisement
Kedua adalah aksi rasional seperti yang dilakukan untuk menuntut hak sipil di Amerika. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 perihal penggulingan kekuasaan orde baru adalah sebuah cerminan nyata dari adanya Indonesia sebagai negara demokrasi.
Aksi gerakan sosial mengalami proses yang cukup panjang mulai dari menggunakan demonstrasi sebagai instrumen kunci diorganisir melalui berbagai organisasi, hingga bisa bergerak secara persona dengan pengadopsian ruang digital sebagai arus ekspresi utama masyarakat.
Masyarakat berpotensi untuk mengumpulkan massa dari internet atau biasa disebut dengan netizen melalui platform digital mainstream. Perkembangan gerakan-gerakan serta aktivisme sosial di era digital membuat informasi tersebar cepat dalam arus-utama informasi.
Era digital tidak hanya sarat dengan kemudahan dan percepatan informasi. Era digital juga menyiratkan sulitnya menerima kebenaran faktual. Masyarakat sulit untuk menyerap informasi benar diantara informasi palsu, atau bahkan informasi palsu yang seolah-olah menjadi fakta yang dipedomani.
Fenomena ini biasa disebut dengan istilah post-truth atau pasca kebenaran. Pasca-kebenaran merujuk pada wacana politik dan publik yang sangat terpolarisasi yang berimplikasi pada pengertian secara harfiah dari Oxford English Dictionary (OED).
Menurut OED, pasca-kebenaran lebih mengkhawatirkan menjadi tidak relevan, bahkan menjadi tidak perlu. Gesekan negatif era digital pasca-kebenaran menciptakan tendensi kekacauan informasi, "Truth isn't truth" atau yang berarti kebenaran adalah ketidakbenaran.
Pasca-kebenaran juga memengaruhi kiprah gerakan sosial. Menurut Andrew Vandenberg, dosen ilmu politik dari Deakin University, gerakan sosial dan konflik yang terjadi di Indonesia dan Asia Tenggara pada era digital menciptakan dua kondisi; progresif dan regresif.
Gerakan sosial progresif adalah suatu pergerakan yang terhimpun ke dalam tujuan kolektif yang bersifat positif. Pergerakan reformasi mahasiswa pada tahun 1998 menjadi contoh berhasilnya Indonesia keluar dari rezim orde baru.
Pada era kekinian, model gerakan sosial bertransformasi menggunakan ruang digital. Koin untuk Prita, misalnya, berawal menuntut keadilan atas keluhan pelayanan kesehatan hingga harus dipenjarakan karena tidak sanggup membayar ganti rugi ratusan juta.
Netizen yang bersimpati atas ketidakadilan yang Prita alami pada akhirnya memunculkan gerakan Koin untuk Prita sebagai tindakan satire untuk mengawal Prita menuju keadilan agar dilirik oleh Pemerintah atas kasusnya. Respons yang harus ditonjolkan sebelum ikut menjadi bagian gerakan sosial agar tidak berujung kepada gerakan sosial regresif adalah menciptakan nyawa independensi dan substansi.
Sayangnya, gerakan sosial di Indonesia juga ada yang menjurus kepada kondisi regresif, baik secara konvensional hingga memasuki ranah digitalisasi. Potret gerakan sosial dengan bingkai regresif bisa kita lihat saat terjadinya rezim represif oleh orde baru di bawah pasukan pemuda pancasila.
Masifnya gerakan berbasis kekerasan yang terjadi dilakukan oleh Pemuda Pancasila sejak era orde baru menambah jejak kelam premanisme yang mungkin masih terasa hingga sekarang walaupun pasca reformasi sering diisi dengan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Gerakan sosial pada era digital bisa kita lihat dalam dua kacamata. Ruang ekspresi di media sosial mampu untuk menyatukan masyarakat secara virtual melalui fitur yang didukung pada berbagai media sosial maupun platform.
Pertama, ruang digital mampu mewujudkan solidaritas masyarakat secara inklusif dalam payung kepentingan yang sama; menuntut keadilan dan melakukan perlawanan. Gerakan sosial era digital juga bisa dilakukan untuk menyalurkan kritik terhadap pemerintah atau pihak swasta tanpa harus melakukan demonstrasi turun ke jalan.
Asosiasi Driver Online misalnya, mendapat dukungan untuk menuntut keadilan yakni pengumpulan petisi secara online serta didukung oleh platform peduli gerakan sosial seperti change.org. Petisi tersebut ditandatangani oleh hampir 6.326 warganet.
Selain menggunakan platform change.org, twitter juga menjadi salah satu media sosial terbesar dalam mengakomodir sebuah gerakan dalam fitur tagar dan pencarian terbesar setiap harinya. Tahun lalu, pencarian terbesar di twitter adalah tagar #TolakOmnibusLaw sebagai aksi untuk menolak pengesahan UU Omnibus Law.
Memahami gerakan sosial era digital bukannya dijadikan sebagai alat substitusi total demonstrasi turun ke jalan. Gerakan era digital mampu menjadi solusi yang lebih efektif dikarenakan jutaan masyarakat Indonesia menjadi pengguna media sosial. Era kontemporer juga menjadikan media sosial sebagai alat kontrol pemerintah dengan aktualisasi demokratisasi di Indonesia.
Senada dengan politik pasca-kebenaran, gerakan pada ruang digital juga kian dijadikan sebagai alat negosiasi dan pertarungan politik, saling menjatuhkan, hingga menebar berita bohong. Kebenaran faktual tidak lagi bisa diukur melalui percepatan informasi di media. Kebenaran akan menjadi ketidakbenaran disaat informasi tersebut berkembang secara masif serta dijadikan sebagai sebuah pegangan dalam masyarakat.
Gerakan sosial progresif sebagai wujud dari menggerakkan kebhinekaan bisa dimulai dengan pendekatan social influences. Pengikut media sosial memiliki kecenderungan untuk melakukan imitasi terhadap gaya hidup virtual pemengaruh serta dijadikan sebagai gaya hidupnya di kehidupan nyata melalui konektivitas yang ada.
Keterhubungan antara pemengaruh dan pengikut akan menjadi sebuah tindakan kolektif yang dipakai dalam taraf yang masif untuk menghasilkan sesuatu. Penjelasan ini bermakna bahwa social influences mampu menjadi sebuah pendidikan gerakan progresif yang mapan jika pemengaruh mengedukasi yang signifikan dalam membentuk perilaku masyarakat melalui media virtual.
Pemengaruh juga bisa datang dari tokoh publik non pemerintahan, seperti mereka yang berasal dari dunia hiburan. Pembuatan konten mendidik dan menyaratkan masyarakat yang inklusif sangat berharga untuk menciptakan keterhubungan antar masyarakat menjadi suatu tindakan positif dalam membuat gerakan.
Gerakan sosial melalui cara ini telah terlihat berhasil dilakukan saat pandemi covid-19 dengan tagar #dirumahaja yang dikampanyekan oleh banyak tokoh pemengaruh baik pemerintahan maupun non pemerintahan. Tagar #dirumahaja juga diiringi oleh memberi konten contoh aktivitas yang bisa dilakukan di dalam rumah dengan menarik untuk memutus rantai penyebaran covid-19.
Untuk jangkauan yang lebih luas, setiap masyarakat bisa menjadi pemengaruh bagi masyarakat lainnya. Walaupun bukan berperan sebagai pemengaruh besar, tindakan individu yang terhubung menjadi tindakan kolektif juga berdampak besar dalam memengaruhi orang lain.
Pengajar yang memberikan edukasi keberagaman kepada siswanya, mahasiswa sebagai agen perubahan dalam mengedukasi keluarganya, atau bahkan kepala keluarga yang mengajarkan pendidikan plural kepada anaknya. (*)
***
*) Oleh: Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |