Kencing dan Kentut di Dalam Air, Apakah Membatalkan Puasa?

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Puasa adalah salah bentuk ibadah tertua di antara ibadah-ibadah lainnya. Ritual puasa sudah menjadi laku manusia terdahulu di atas Bumi. Bahkan, jauh sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW, puasa sudah dikenal dan dipraktekkan. Selain ibadah Qur'ban dengan kedua tokohnya Qabil dan Habil.
Meski demikian, puasa senantiasa menjadi bulan yang ditunggu-nantikan kedatangannya. Khususnya oleh umat Islam. Mereka (Muslim) akan bergembira dan berlomba-lomba dalam melaksanakan ibadah puasa. Satu bulan penuh. Dengan menahan rasa lapar dan haus. Menjalankan amalan-amalan baik selama bulan Ramadan.
Advertisement
Namun harus diingat juga, kita pun jangan sampai melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Sehingga, hal tersebut dapat menggugurkan pahala puasa kita. Karena itu, kita perlu mengetahui apa saja yang dapat membatalkan puasa?. Namun, penulis tidak dapat mengulas berbagai hal yang dapat membatalkan puasa.
Misalnya, ketika berada di dalam kolam/danau secara tidak sengaja atau sengaja kita ternyata mengeluarkan air kencing (buang air) dan kentut (buang angin) di dalam air, apakah hal tersebut dapat membatalkan ibadah puasa?.
Pertanyaan tersebut sepintas memang terlihat remeh dan sederhana. Sesederhana hal-hal yang membatalkan puasa. Kenapa demikian? Sebab, hal-hal yang dapat membatalkan puasa yang selama ini sudah diketahui umat islam yaitu makan, minum dan jima' saja. Setidaknya, begitulah nash yang tertuang dalam Surat Al-Baqarah ayat 187.
Sedangkan haidh dan nifas sebenarnya termasuk membatalkan juga. Namun, kedudukannya lebih tepat disebut sebagai pencegah (mawani') syahnya puasa. Jika sejak waktu shubuh sudah haidh atau nifas, memang sejak awal puasanya tidak sah. Dan jika datangnya haidh atau nifas di tengah hari saat puasa, maka puasanya jadi tidak sah juga. Dengan kata lain bisa juga disebut sebagai pembatal puasa.
Namun di luar urusan makan minum yang lazim kita kenal, ternyata sebagian ulama ada yang meluas-luaskan kategori makan dan minum. Tidak sebatas memasukkan makanan ke dalam mulut dan menelannya saja. Tetapi, masuknya suatu benda ke dalam 'jauf' atau rongga badan ternyata juga termasuk dalam kategori makan. Meski pun tidak melalui mulut dan tidak sampai ke lambung. Meski benda yang masuk itu bukan kategori makanan. Diantaranya, ada yang masuk lewat lubang-lubang yang asli seperti telinga, hidung, mata. Ada juga yang masuk lewat lubang anus dan kemaluan.
Bahkan ada juga yang masuk lewat penyerapan pada kulit, atau juga suntikan di kulit. Pendek kata, tubuh kita kemasukan suatu benda, maka diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa semua itu termasuk membatalkan puasa.
Dengan perluasan ini, maka jumlah perkara yang membatalkan puasa menjadi semakin banyak. Jika dihitung, jumlahnya mencapai 60 perkara, menurut Al-Qaradawi. Dan seandainya perluasan itu tidak terjadi tentu pertanyaan "Batalkah puasa seseorang yang kecing di dalam air?" Dan sejenisnya tidak perlu ada.
Namun, terlepas dari perluasan dan penyederhanaan itu, sekarang marilah kita lihat beberapa ibarah atau redaksi yang mengatakan batalnya puasa seseorang yang kemasukan sesuatu katakanlah air ketika 'Kencing di dalam sungai, kolam atau lainnya'.
Salah satu redaksi yang penulis kira cukup otoritatif dan mencakup tema di atas adalah penjelasan hukum yang secara tegas disampaikan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib: Yang Artinya:
“Sama halnya dengan memasukkan jari pada dubur (dalam hal membatalkan puasa) yakni kotoran (tahi) yang sudah keluar dari dubur dan tidak terpisah (sambung dengan kotoran lainnya) lalu duburnya ia lipat (dari posisinya semula) dan terdapat sebagian kotoran yang masuk ke dalam bagian duburnya, sekiranya sangat jelas (tahaqquq) masuknya sesuatu dari kotoran tersebut setelah tampaknya kotoran tersebut (di bagian luar). Hal demikian dihukumi batal karena keluarnya kotoran dari perutnya tanpa perlu untuk melipat dubur.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 6, hal. 443).
Namun, redaksi di atas rupanya tidak begitu cukup untuk menutupi celah-celah dari ke-bias-an hukum yang terlalu menganga di atas. Selalu saja ada pertanyaan yang masuk melalui celah-celah itu. Oleh karena itu, penulis dari kitab ini menuliskan batasan-batasan di bagian yang lain dari kitabnya, berikut ibarahnya:
“Batasan masuknya sesuatu (pada dubur) yang dapat membatalkan puasa yakni ketika melewati bagian yang tidak wajib untuk dibasuh pada saat cebok (istinja’). Berbeda halnya ketika suat benda masih berada di bagian yang wajib untuk dibasuh pada saat cebok, maka tidak sampai dihukumi membatalkan puasa ketika memasukkan jari-jari (pada dubur) untuk membasuh lipatan (kotoran) yang ada di dalamnya.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 6, hal. 443).
Jadi, dengan demikian kesimpulan yang cukup proporsional dan seimbang adalah bahwa kentut atau kencing dalam air hanya dapat membatalkan puasa tatkala seseorang merasa bahwa terdapat air yang masuk ke bagian dalam anus atau kemaluan. Berbeda halnya ketika tidak ada air yang masuk ke dalam anus atau kemaluan ketika kentut dan kencing dalam air. Seseorang yang tidak merasakan adanya air yang masuk ke dalam anus dan kemaluan sama sekali, maka puasanya tetap dihukumi sah. Wallahua’lam. (4, bersambung).
***
*) Penulis adalah Hanif Muslim, Mahasiswa Studi Islam Interdisipliner Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.
*) Artikel rubrikasi Kajian Ramadan Bersama UNU Yogyakarta (KAMANDANU) ini merupakan hasil kerjasama TIMES Indonesia dengan UNU Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Amar Riyadi |
Publisher | : Rochmat Shobirin |