
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Ulama perempuan telah berperan penting dalam penyebaran Islam dan kajian keagamaan di Indonesia. Mereka terlibat dalam pendidikan keagamaan di pengajian umum, majelis taklim, pesantren, juga melalui media seperti televisi, radio, dan media sosial.
Mereka tidak hanya memainkan peran sebagai ustadzah, muballighah, ibu nyai. Melainkan, juga sebagai tempat rujukan atas pertanyaan dan problem jamaah terkait etika Islam dan fikih sehari-hari.
Advertisement
Mencakup shalat, puasa, haji, zakat, pernikahan, dan muamalah. Bahkan, fikih kontemporer. Peran terakhir ini bisa disebut juga dengan peran ulama perempuan sebagai pemberi pendapat keagamaan atau fatwa.
Peran ulama perempuan sebagai pemberi fatwa memang belum banyak dikenal dan bisa diterima oleh pandangan mainstream. Selama ini kita mengenal istilah fatwa sebagai pendapat keagamaan yang dikeluarkan oleh ulama kolektif melalui proses diskusi yang dilakukan di lembaga-lembaga fatwa seperti Bahtsul Masail NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia.
Di luar pengertian itu, kita tidak mengenal pendapat keagamaan yang diberikan oleh individu ulama, apalagi oleh perempuan. Kontroversinya berkaitan dengan apakah si perempuan memiliki pengetahuan turots keislaman yang baik, dan apakah pendapat keagamaan yang diberikan memenuhi derajat kualitas sebagai sebuah fatwa.
Studi yang saya lakukan untuk tugas akhir jenjang doktoral mencoba menggambarkan bagaimana ulama perempuan memainkan peran keulamaan mereka dan memberikan fatwa. Saya memotret pengalaman ulama perempuan dari latar belakang Nahdlatul Ulama yang menjadi alumni program Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima.
Uniknya, memberikan pendapat keagamaan ini sudah menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari ulama perempuan tersebut sebagai pemegang otoritas keagamaan di masyarakat dan jamaah masing-masing. Tidak hanya di ruang konsultasi pribadi, mereka biasa memberikan pendapat keagamaan melalui organisasi keagamaan, di majelis taklim, gerakan sosial keagamaan seperti Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), dan media baik cetak maupun media sosial.
Untuk dapat mengkaji peran pemberian fatwa oleh ulama perempuan, saya tidak hanya menggunakan kerangka Studi Islam, tetapi juga perspektif antropologis dan gender. Kerangka Studi Islam membekali saya dengan pengertian, elemen-elemen, dan proses sebuah fatwa dihasilkan.
Sementara itu, dari perspektif antropologis dan gender saya dapat memosisikan fatwa sebagai sebuah proses interaksi tanya-jawab antara individu Muslim dengan ulama dan bagaimana latar belakang individu masing-masing mempengaruhi pertanyaan dan jawaban dikeluarkan, dan proses itu juga terjadi dan dialami oleh ulama yang berjenis kelamin perempuan.
Hasilnya, pengalaman ulama perempuan dalam pemberian fatwa ini menunjukkan kekayaan istilah, makna, dan praktik. Fatwa bisa disebut ngendikan (bahasa Jawa: pernyataan), dhebu (bahasa Madura: pernyataan), pendapat, jawaban, dan sikap dan pandangan keagamaan.
Dalam konteks ini, bagian penting dari sebuah fatwa adalah bagaimana seorang Muslim menganggap pendapat keagamaan tersebut dapat diterapkan dan mampu menyelesaikan masalah keagamaannya. Fatwa dengan demikian dapat menjadi media perbaikan etika dan perubahan doktrinal dengan interpretasi yang lebih sensitif terhadap keadilan gender.
Praktik pembuatan fatwa oleh ulama perempuan ini juga menunjukkan fatwa sebagai praktik yang disruptif. Artinya, ketika praktik pemberian pendapat keagamaan ini meluas, terjadi di mana-mana, memperlihatkan keterlibatan perempuan, praktik-praktik tersebut dapat mengubah seluruh wacana seputar pemberian fatwa, memecah gagasan mainstream mengenai peran pemberian fatwa yang selama ini hanya disematkan kepada ulama laki-laki dan kolektif.
Selain itu, fatwa sebagai media untuk menunjukkan otoritas hukum tidak hanya terjadi dalam konteks lembaga keagamaan, tetapi juga dapat menjadi bagian dari gerakan feminisme Islam. Sebagai contoh adalah gerakan KUPI yang mengeluarkan sikap dan pandangan keagamaan pada kongresnya yang pertama tahun 2017 terkait persoalan pernikahan di bawah usia, kekerasan seksual, dan perusakan alam. (9, bersambung).
***
*) Penulis adalah Dr. Nor Ismah, Direktur Lembaga Penelitian, Pengabdian, dan Pengembangan Masyarakat (LP3M) UNU Yogyakarta.
*) Artikel rubrikasi Kajian Ramadan Bersama UNU Yogyakarta (KAMANDANU) ini merupakan hasil kerjasama TIMES Indonesia dengan UNU Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Amar Riyadi |
Publisher | : Rochmat Shobirin |