Kopi TIMES

Puasa dan Praktik Mubadalah di Dalam Keluarga

Senin, 03 April 2023 - 12:50 | 76.58k
Wiwin Siti Aminah Rohmawati S.Ag M.Ag, Direktur Direktorat Gender Equality and Social Inclusion UNU Yogyakarta
Wiwin Siti Aminah Rohmawati S.Ag M.Ag, Direktur Direktorat Gender Equality and Social Inclusion UNU Yogyakarta

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pada hakikatnya, puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum. Tetapi, juga menahan diri dari memperturutkan ego dan mengikuti hawa nafsu. Dalam konteks keluarga. Bulan puasa dapat dijadikan momen untuk mendidik sekaligus praktik mubadalah. Agar relasi di antara suami dan istri, juga di antara orang tua dan anak menjadi sehat dan ma’ruf. 

Mubadalah berasal dari bahasa Arab yang berarti mengganti, mengubah, menukar, menggilir, tukar menukar, dan makna seputar timbal balik (Al-Munawwir, 1997, Hal. 65–66). Sementara dalam bahasa Indonesia, istilah mubadalah dapat dipadankan dengan kesalingan atau resiprositas, yang bermakna kedua belah pihak, baik laki-laki dan perempuan sama-sama diuntungkan (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). 

Sementara mubadalah, yang dicetuskan oleh KH. Dr. Faqih Abdul Kodir, merupakan sebuah konsep dalam berhubungan yang memegang prinsip setara, saling, sama dan hal lainnya yang sejenis (Qiraah Mubadalah, 2019). Kesalingan yang dimaksud adalah kesalingan di antara suami istri, anak dan orang tua, guru dan murid, mahasiswa dan dosen, dan sebagainya.

Gagasan tentang mubadalah berakar dari visi Islam itu sendiri sebagai rahmat bagi alam semesta seperti yang tersurat dalam QS Al-Anbiya (21) ayat 107. Prinsip mubadalah juga tidak terpisahkan dari misi kenabian yakni untuk mewujudkan akhlak al karimah. Pada titik inilah laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah, makhluk, manusia dan khalifah yang memiliki kewajiban bersama untuk menjaga dan memakmurkan bumi.

Selain itu, terdapat ayat-ayat Alquran yang membicarakan tentang keadilan, seperti perintah untuk saling tolong menolong dalam kebaikan, menghindari kejahatan, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya (At Taubah: 71) dan perintah untuk mencintai saudara sebagaimana mencintai dirinya sendiri (H.R Bukhari, No.13). Ayat dan hadits tersebut secara tersirat menunjukkan bahwa antara perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sejajar.

Di dalam kehidupan keluarga, ada banyak contoh praktik mubadalah selama bulan puasa. Misalnya, dengan latihan saling mengendalikan diri dan mengelola emosi dan amarah. Hal ini secara langsung dan tidak langsung dapat meminimalisir terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang angkanya cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023). 

Puasa juga dapat dijadikan ajang untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi yang baik, salah satunya melatih kemampuan mendengarkan. Selama bulan Ramadan, aktivitas kerja menjadi lebih singkat. Ada lebih banyak waktu luang bagi suami dan istri atau orang tua dan anak untuk ngobrol, mendengarkan satu sama lain, tanpa menginterupsi. 

Secara psikologis hal ini tentu dapat meningkatkan kedekatan emosi di antara anggota keluarga, khususnya antara suami dan istri. Kedekatan emosi merupakan salah satu dari tiga komponen penting dalam relasi pernikahan, selain komitmen dan gairah. Kedekatan emosi itu sendiri dapat dilihat dalam bentuk rasa kasih sayang, mawaddah dan rahmah, di antara pasangan suami istri, seperti yang tercantum dalam QS Ar-Rum (30) ayat 21: 

“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Contoh lain adalah, sering kali memasuki bulan suci Ramadan ada tradisi bersih-bersih rumah dan lingkungan. Di sinilah suami istri dapat bekerjasama membersihkan dan menata rumah dan lingkungan. Anak-anak juga dapat dilibatkan untuk mengambil peran sesuai dengan kemampuan mereka. 

Sehingga sejak dini anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, dilatih  untuk bertanggung jawab, dididik life skill mereka tanpa membeda-bedakan jenis pekerjaan. Tidak dijebak pada peran gender yang tidak adil, misalnya anak laki-laki tidak boleh membantu di dapur, sehingga semuanya dibebankan kepada anak perempuan.

Selama bulan Ramadan, suami dan istri dapat saling membantu dan berbagi peran menyiapkan makanan ketika akan buka puasa dan sahur bersama. Bahkan suami bisa bangun lebih awal untuk menyiapkan makanan jika dirasa istrinya telah banyak menguras energi dalam pengasuhan anak.
Melatih praktik mubadalah dalam keluarga sangat mungkin dilakukan selama bulan Ramadhan.

Bukankah bulan Ramadhan memang diperuntukkan sebagai bulan untuk menempa diri menjadi manusia yang lebih baik? (10, bersambung)

****

*) Penulis adalah Wiwin Siti Aminah Rohmawati S.Ag M.Ag, Direktur Direktorat Gender Equality and Social Inclusion, UNU Yogyakarta.

*) Artikel rubrikasi Kajian Ramadan Bersama UNU Yogyakarta (KAMANDANU) ini merupakan hasil kerjasama TIMES Indonesia dengan UNU Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Amar Riyadi
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES