Polemik Kurikulum Pendidikan dengan Tongkat Kepemimpinan Kemendikbud

TIMESINDONESIA, MALANG – Kontestasi politik yang akan digelar pada tahun depan (2024) sudah gencar digaungkan. Beberapa calon presiden sudah mulai timbul di permukaan samudera perpolitikan di Indonesia. Penyiaran bakal presiden dari berbagai fraksi partai telah disebarluaskan di berbagai macam media, baik elektronik ataupun sosial. Jual beli kekuatan dan prestasi sang calon, selalu menjadi sorotan atau boleh jadi dikatakan pamer “reputasi” semasih menjadi kepala maupun ketua sebuah lembaga.
Namun pertanyaan yang sangat sederhana adalah akankah setiap program pemerintah, lebih – lebih dimensi pendidikan dapat mendapatkan ruang luas untuk mendapati aktualisasinya?
Advertisement
Sudah menjadi tradisi dimana setiap ganti presiden, pada saat yang sama kabinet pemerintahan dalam hal ini adalah kementrian akan terjadi perombakan. Disisi lain, fokus dari setiap kementrian sudah barang tentu memiliki sekian banyak rencana demi visi yang di cita.
Sejak era presiden Joko Widodo dalam dua periode terakhir, Kemendikbud sendiri dikomandoi oleh tiga “kapten”, diantaranya adalah Anies Rasyid Baswedan (2014-2016), Muhadjir Effendy (2016-2019) dan Nadiem Anwar Makarim (2019-sekarang). Perbedaan latar belakang sangat jelas dari ketiganya, terutama “sang kapten” terakhir, yang notabene adalah seorang Pebisnis.
Kurikulum menjadi momok tersendiri bagi sebagian kalangan, baik guru, siswa dan orang tua. Lantaran, perubahan dari kurikulum meniscayakan adaptasi bagi ketiga tokoh tersebut. Kita mengetahui dari berbagai pengalaman sebelumnya, kurikulum mengalami berbagi perubahan; KTSP, K13, perevisian K13, hingga teranyar ialah Merdeka Belajar. Bahkan, pada masa pandemi beberapa tahun silam terjadi signifikansi alterasi yang mana proses pendidikan dilakukan serba online.
Pernyataan menarik dari salah satu pegiat pendidikan di Indonesia yakni Najeela Shihab bahwa “dari pada kita sibuk dengan metode apa yang cocok dalam pendidikan, lebih baik kita bersatu padu menuju orientasi pendidikan.”
Berbagai macam metode dan teori yang telah dikemukakan oleh beberapa pemikir, psikolog, dan tokoh, siapapun itu, kesemuanya akan terhimpun pada satu garis finis, yakni (secara umum) menjadikan individu guna memiliki kecakapan untuk mencerdasi kehidupan.
Jika kita melihat dari sisi kebudayaan Indonesia, maka mau tidak mau tujuan pendidikan disandarkan pada berbagai keberagaman budaya yang eksis di wajah kita.
Kita kembali ke kurikulum, jika maksud dari kurikulum adalah sebuah sistem sebagai sebuah acuan pendidikan di Indonesia, maka tak sadarkah akan heterogenitas yang haidr di tengah-tengah kita? Lebih-lebih apabila kurikulum bertujuan sebagai satu-satunya jangkar yang menjadi tumpuan “kapal-kapal” di lautan Nusantara. Jauh panggang dari pada api!
Terlepas dari itu semua, hemat saya sebagai mahasiswa yang bergelut di dunia pendidikan tetap optimis terhadap apa yang diupayakan oleh pemerintah. Terakhir, siapapun menteri pendidikan nanti, saya harap dapat memberikan secercah cahaya bagi langit pendidikan kita.
***
*) Oleh: Abdur Rohman, Santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Rizal Dani |