Kopi TIMES

Siapakah Presiden Ke-8 Indonesia, Anies, Ganjar, atau Prabowo?

Sabtu, 13 Mei 2023 - 10:22 | 236.16k
Imam Fauzi Surahmat, S.AB, M.AB, Pengamat politik dan Kandidat Doktor Kebijakan Publik di Universitas Brawijaya
Imam Fauzi Surahmat, S.AB, M.AB, Pengamat politik dan Kandidat Doktor Kebijakan Publik di Universitas Brawijaya
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kontestasi Pilpres semakin dekat. Baik dari segi waktu pelaksanaan maupun dekat secara emosional. Pilpres pun menjadi perbincangan hangat oleh sebagian besar lapisan masyarakat dari berbagai kalangan. Mulai dari elit parpol, pengamat politik, hingga obrolan ala ala warung kopi dan para emak-emak di pasar pun tidak luput ikut memperbincangkannya. 

Tentu saja, pembahasan  menyesuaikan dengan tingkat pemahaman masing-masing mereka. Dengan berbagai argumentasi yang beragam pula. Meski ada berbagai pandangan dan perbedaan dalam diskusi mengenai pilpres ini, namun ada satu pertanyaan utama yang selalu menjadi benang merah. Yakni, siapakah yang akan menjadi Presiden Indonesia ke-8 di 2024 nantinya, Anies, Ganjar, atau Prabowo?

Advertisement

Tentu jawabannya akan sangat beragam dan tendensius jika hanya didasarkan pada fanatisme dukungan saja tanpa didasari analisis yang didukung oleh berbagai data yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Untuk menjawab pertanyaan dari khalayak publik tentang siapa yang akan menjadi Presiden berikutnya, setidaknya harus disesuaikan dengan simulasi atas jumlah kandidat yang dimungkinkan maju, apakah hanya dua pasang atau lebih. Hal ini penting karena kedua format tersebut relatif akan memberikan hasil jawaban yang berbeda. 

Skema Satu atau Dua Putaran

Dalam konteks teknis pelaksanaan misalnya, jika hanya ada dua pasang kandidat, maka pilpres ini dipastikan hanya akan ada satu putaran saja. Di mana pemenangnya adalah kandidat yang mampu meraup dukungan setidaknya 50% + 1 suara. 

Namun, jika lebih dari dua pasangan kandidat, misalnya tiga pasangan kandidat, maka dapat dipastikan pilpres ini akan dilaksanakan dalam dua putaran. Putaran pertama adalah proses eliminasi untuk kandidat dengan perolehan suara terkecil, kemudian hanya dua kandidat dengan perolehan suara teratas yang akan melanjutkan ke putaran kedua untuk mencari pemenangnya.

Kembali pada format awal, jika hanya ada dua pasang kandidat, hampir bisa dipastikan salah satu kandidatnya adalah Ganjar Pranowo yang sudah secara resmi diusung dan diumumkan oleh PDIP. Ganjar sudah memenuhi persyaratan 20% dukungan parlemen. Kemungkinan kandidat kedua adalah Anies Baswedan, yang diusung oleh Nasdem, PKS dan Demokrat.

Bagaimana dengan Prabowo? Kemungkinan jika terjadi pertarungan hanya antara Ganjar vs Anies, maka posisi Prabowo secara elit lebih dimungkinkan memberikan dukungannya kepada Ganjar Pranowo. Di mana Prabowo hari ini lebih memiliki kedekatan dengan partai penguasa dan juga Prabowo ada dalam pemerintahan Jokowi saat ini. 

Di sisi lain, Jokowi juga dimungkinkan lebih cenderung mendukung format orkestrasi seperti itu, yang secara signifikan lebih menguntungkan posisi Ganjar untuk memenangkan pilpres 2024 dengan lebih mudah jika hanya berlangsung secara head to head antara dua pasangan saja. Dari sudut pandang pemerintahan saat ini, format dua pasangan kandidat tentunya lebih efektif dan efisien dari sisi stabilitas anggaran. 

Hal ini juga bisa dimungkinkan menjadi pertimbangan utama Jokowi untuk lebih menginginkan pilpres 2024 cukup dengan satu putaran saja. Meskipun dukungan prabowo secara elit diyakini tidak otomatis linier dengan pendukung arus bawahnya yang lebih terlihat beririsan dengan pemilih Anies baswedan.

Jika dilihat dari proyeksi peta politik pun relatif sangat menguntungkan Ganjar Pranowo jika hanya bermain dengan 2 pasang kandidat, hal itu terjadi karena peta politik di putaran pertama relatif tidak terlihat secara vulgar. Kalaupun ada pemetaan hasil survei tentu itu masih bersifat proyektif yang tetap butuh validasi yang lebih akurat secara dukungan faktualnya. 

Di sisi lain euforia pemilih Ganjar ada dalam ruang antusiasme yang cukup tinggi jika dilihat dari posisi Ganjar diberbagai rilis hasil survei yang memang cukup diatas angin, hal ini sangat mungkin untuk memberikan Bandwagon effect kepada pemilih yang relatif masih mengambang untuk kemudian memberikan dukungan kepada Ganjar dalam euforia kemenangan nya, karena secara psikologis publik akan lebih tertarik dan kemudian lebih menempatkan posisinya pada suara ‘mayoritas’ yang berkembang di tengah masyarakat. 

Belajar dari Pilpres 2014 dan 2019

Cerita manis strategi pemenangan dalam format 2 pasangan kandidat juga sudah terbukti efektif di dua event pilpres. Baik 2014 maupun 2019, di mana semuanya dimenangkan oleh Jokowi. Hal itulah yang mungkin juga menjadi pertimbangan yang cukup logis dan strategis bagi kubu “petahana” untuk mengulangnya di 2024 dengan format dua pasang kandidat saja.

Potensi kemenangan Ganjar pun relatif tidak akan terelakan bahkan jika berhadapan head to head dengan Prabowo. Format ini juga dimungkinkan jika nantinya Anies tidak bisa maju jika ada faktor lain yang memunculkan ketidakmungkinan seorang Anies lolos dalam proses pencapresan. 

Baik dari bubarnya partai koalisi pengusung, yaitu tidak adanya titik temu dalam pengusungan nama cawapres pendamping Anies, atau mungkin ada ‘penjegalan’ lewat kasus hukum yang mengharuskan Anies tidak memungkinkan maju, rumors politisasi kasus formula E misalnya. Tentu apapun masih sangat mungkin terjadi dalam dinamisasi politik terkini, karena faktanya semua bakal calon kandidat dan pengusung masih dalam ruang wacana sampai nanti betul betul terdaftar secara definitif oleh penyelenggara pemilu.

Terus bagaimana jika 3 poros pasang kandidat Anies, Ganjar, dan Prabowo? Maka dipastikan Pilpres akan dilaksanakan dalam skema 2 putaran.

Mengingat Pilkada DKI 2017

Di skema inilah justru bisa menjadi titik lemah dan format yang kurang menguntungkan Ganjar Pranowo, karena apa? Karena dimungkinkan pemilih Ganjar yang relatif sangat antusias akan ada di zona maximum vote sedari awal dan itu dimungkinkan adalah angka stagnan yang relatif tidak akan jauh berbeda dengan perolehan suara diputaran kedua nantinya, case ini dimungkinkan akan mirip dengan pilgub DKI 2017 di mana suara Ahok diputaran pertama dan kedua ada diangka stagnasi 42%. 

Sedangkan Anies dari posisi 39% menjadi 57.98% dimana posisi Anies diputaran kedua tersebut adalah hasil akumulasi dengan pemilih AHY ( 39,98% + 17,06%) artinya mutlak pemilih AHY-Silfi melimpahkan total suaranya kepada Anies Sandi, bahkan mampu sedikit mengambil pemilihnya Ahok Djarot.

Skema seperti dalam pilgub DKI 2017 tersebut sangat mungkin akan kembali dijalankan mengingat antara pemilih Prabowo dan Anies relatif berada pada zona pemilih yang beririsan. Dan sangat dimungkinkan, siapapun diantara mereka yang lolos diputaran kedua akan dapat limpahan suara dari yang tidak lolos, karena pada dasarnya market basennya mereka sama jika merujuk pada kosntalasi 2019 yang lalu dan platform pendukung jaringan 212. 

Hal inilah yang menjadi potensi menguntungkan bagi Anies maupun Prabowo untuk memenangkan Pilpres 2024 kali ini, asal mampu mampu lolos keputaran kedua.

Dan strategi 3 poros kandidat Capres sepeti itu sangat dimungkinkan diinginkan oleh Demokrat karena mereka punya pengalaman manis di 2004 dan pilkada DKI 2017 di mana pada akhirnya menang diputaran ke dua meskipun kalah diputaran pertamanya. Ini terjadi karena di putaran pertama peta dukungan masing masing poros akan menjadi terlihat secara vulgar. 

Hal itu tentu sangat menguntungkan sebagai mapping strategi yang faktual dimana mereka tinggal saling mem-barrier, saling mengunci dan saling maintenance masing-masing basis dukungan untuk kemudian kembali di galang pada putaran keduanya. 

Untuk mereview kembali ingatan kita berikut data pada Pilkada DKI 2017:
Putaran 1: Agus – Sylvi (17,06%), Ahok-Jarot (42,99%), Anies-Sandi (39,95%). Pada Putaran 2: Ahok-Jarot (42,04%) dan Anies-Sandi (57,96%). (*)

*) Oleh: Imam Fauzi Surahmat, M.AB, Pengamat Politik Jawa Timur dan Kandidat Doktor Kebijakan Publik di Universitas Brawijaya

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES