Kopi TIMES

Paradox of Plenety, Kualitas SDM, dan Pendidikan Kita

Jumat, 26 Mei 2023 - 02:26 | 134.99k
Arie Hendrawan, Kepala SMA Islam Al Azhar 14, KS PSP Kemendikburistek Angkatan 3.
Arie Hendrawan, Kepala SMA Islam Al Azhar 14, KS PSP Kemendikburistek Angkatan 3.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Masih teringat dengan jelas, ketika saya duduk di bangku pendidikan Sekolah Dasar (SD). Guru kelas saya menjelaskan, bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya akan sumber daya alam. Bahkan, dalam sebuah lirik lagu berjudul Kolam Susu (1973) yang menjadi ikon grup legendaris Koes Plus disebut, “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.

Ajaib, bukan? Itulah Indonesia. Tanahnya subur dengan kekayaan alam tiada duanya. Namun ternyata, secara praksis, kekayaan sumber daya alam tersebut tak sepenuhnya berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakatnya. Berdasarkan data PDB per kapita IMF tahun 2023, Indonesia hanya berada di peringkat 116 dari 237 negara.

Di tingkat ASEAN, Indonesia menempati urutan kelima, setelah Singapura (6), Brunei Darussalam (26), Malaysia (67), dan Thailand (89). Adapun, untuk peringkat 10 besar justru didominasi oleh negara-negara kecil, seperti Luksemburg (1), Irlandia (2), dan Swiss (3), serta negara-negara Skandinavia, yakni Norwegia (5), Islandia (8), dan Denmark (10).

Hal tersebut menarik, sebab jika dibandingkan Indonesia, negara-negara di atas bahkan sebenarnya tidak lebih luas dari Papua yang notabene hanya salah satu pulau di wilayah teritorial Indonesia. Lantas, mengapa kontradiksi itu bisa terjadi? Dalam diskursus atau kajian ekonomi politik, dikenal istilah paradox of plenety (kutukan sumber daya).

Paradox of plenety

Tesis kutukan sumber daya pertama kali dipakai oleh Richard Auty (1993), mengacu pada paradoks negara-negara yang kaya akan sumber daya alam non terbarukan, tetapi cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang lebih “payah” daripada negara-negara yang sumber daya alamnya langka.

Salah satu faktor yang diyakini berdampak signifikan terhadap kutukan sumber daya adalah kualitas sumber daya manusia. Negara-negara yang memiliki ketergantungan pada sumber daya alam cenderung mengabaikan pentingnya kualitas sumber daya manusia, hal sebaliknya terjadi pada negara-negara miskin sumber daya alam.

Lebih jauh, dalam buku berjudul Why Nations Fail (2012) karya Daron Acemoğlu dan James A. Robinson dijelaskan, latar belakang historis mengapa negara-negara Amerika Utara lebih makmur dari Amerika Selatan. Hal tersebut tidak terlepas dari eksistensi lembaga politik dan ekonomi di Amerika Latin yang lebih bersifat ekstraktif karena tergantung atas sumber daya alam, tanpa peduli sumber daya manusianya.

Kita juga dapat mencermati Zimbabwe sebagai studi. Sebenarnya, Zimbabwe adalah negara dengan sumber daya mineral berlimpah, seperti lithium dan kromium. Sayang, potensi itu tidak dikelola secara efektif, karena keterbatasan sumber daya manusia. Sebagai catatan, menurut data Human Development Index (HDI) UNDP tahun 2021, Zimbabwe hanya menempati ranking 146 dari 191 negara.

Kondisi itu berbanding terbalik dengan Singapura. Negara mungil yang wilayahnya tidak lebih luas dari pulau Madura tersebu, sejatinya adalah negara di kawasan Asia Tenggara yang hampir tidak memiliki hasil tambang. Namun, seperti yang sering kali diungkapkan oleh founding fathers Singapura, Lee Kwan Yew, “Sumber daya utama Singapura terletak pada rakyatnya dan ketekadan dalam bekerja”.

Jadi, meskipun sumber daya ekstraktifnya minim, Singapura tetap bisa maju karena fokus terhadap upaya-upaya pembangunan manusia yang komprehensif. Terbukti, dari data HDI yang dirilis UNDP tahun 2021, Singapura mampu meraih peringkat 12 dari 191 negara dengan rata-rata pertumbuhan 0,29% selama 10 tahun terakhir.

Pembangunan manusia

Analisis komparatif di atas ingin menunjukkan, bahwa kekayaan sumber daya alam negara bukanlah jaminan mutlak bagi suatu negara untuk sejahtera. Kegagalan negara dalam mengelola “berkah” sumber daya alam sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusianya. Penting disorot, negara-negara dengan GDP besar seperti Irlandia, Swiss, Islandia, Norwegia, dan Denmark juga menjadi negara ber-HDI sangat tinggi.

Pertanyaan fundamentalnya, bagaimana cara meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia? Ya, tidak lain adalah melalui bidang pendidikan. Jika kita menyigi report HDI yang dikeluarkan oleh UNDP setiap tahun, aspek pendidikan memang menjadi salah satu dari tiga komponen yang digunakan sebagai perhitungan.

Jadi, logis ketika Singapura memperoleh kategori HDI “sangat tinggi”, sebab ekosistem pendidikan di sana juga berjalan sangat baik. Pada tahun 2018, Singapura mendapatkan ranking 29 dari 161 negara untuk indeks pendidikan yang dirilis UNESCO. Kemudian, berdasarkan hasil PISA oleh OECD tahun 2018, Singapura sukses meraih peringkat 2 dari 80 negara untuk performa literasi, sains, dan matematika.

Kondisi di Indonesia

Bagaimana dengan kondisi pendidikan di Indonesia? Mari kita kesampingkan dahulu  “indeksasi” di atas. Akhir-akhir ini, di berbagai media, kita justru kerap disuguhi berita kasus-kasus kriminalitas di bawah umur yang semakin meningkat. Pelakunya, banyak yang berasal dari kalangan anak-anak maupun remaja yang berstatus pelajar. 

Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), kasus anak berhadapan dengan hukum yang ditangani BPHN Kemenkumham melalui Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di bawah koordinasi BPHN, sangat memprihatinkan. Dari data yang berhasil dihimpun oleh BPHN, selama tahun 2020-2022 terdapat 2.304 kasus kejahatan dengan pelaku anak/ di bawah umur (bphn.go.id, 28/3/2023).

Jadi, alih-alih mengejar skor indeks pendidikan, HDI, dan PISA, persoalan elementer dekadensi moral anak juga terkait dengan dunia pendidikan dan perlu segera diatasi. 
Hal tersebut tidak mungkin tersentuh oleh ukuran-ukuran/ indikator di atas. Hemat saya, tentu masalah ini bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi harus menjadi tanggung jawab kolektif dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Meminjam istilah Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, ada konsep Tri Pusat Pendidikan. Istilah tersebut menerangkan, bahwa pendidikan berlangsung pada tiga ranah, baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Jadi, institusi pendidikan dalam arti luas, bukan hanya sekolah, melainkan juga keluarga dan masyarakat.

Generasi stroberi

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum anak sendiri dapat dipicu beberapa faktor eksternal, salah satunya pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua yang tidak memiliki kelekatan dengan anak akan membuat mereka tertutup dan mencari kedekatan dengan sosok lain, sehingga anak mudah terjerumus pergaulan bebas dan terlibat kriminalitas.

Di sisi lain, banyak anak-anak sekarang yang dikenal sebagai generasi stroberi, yakni  generasi yang manja, arogan, berdaya juang rendah, dan sangat rapuh. Menurut Khasali (2017), generasi ini dibesarkan dengan gaya didik strawberry parents. Mereka terlalu dilindungi orang tuanya dan berada dalam lingkungan ekonomi yang mapan.

Padahal, berkaca pada paradox of plenety (kutukan sumber daya), anak yang terlahir dari keluarga kaya juga tidak secara otomatis akan terus sejahtera. Ada banyak contoh bisnis keluarga yang bubar di generasi kesekian. Sebaliknya, untuk anak yang berasal dari keluarga miskin, juga bukan berarti akan miskin selamanya. 

Di sinilah letak urgensi pendidikan, tidak mengenal batas lapisan sosial atau kelompok masyarakat. Pendidikan merupakan investasi universal untuk mengembangkan “human capital” bagi semua. Pada akhirnya, ketika seluruh masyarakat di republik ini terdidik dengan utuh (cipta, rasa, dan karsa), kelak negara akan mampu mengolah anugerah sumber daya alam menjadi kemakmuran, bukan kutukan.

***

*) Oleh: Arie Hendrawan – Kepala SMA Islam Al Azhar 14, KS PSP Kemendikburistek Angkatan 3.

 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES