Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Dilema Perjanjian Pranikah Serta Keraguan Kepastian Hukum

Jumat, 26 Mei 2023 - 10:18 | 106.12k
Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Perjanjian pranikah umumnya oleh masyarakat sering disebut dengan perjanjian pranikah/ Perjanjian perkawinan (Prenuptial Agreement). Perjanjian pranikah/ perjanjian perkawinan (Prenuptial Agreement) adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan/ perkawinan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan menikah. Isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau istri dan apa saja yang menjadi tanggungjawab suami dan istri ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian di salah satu pasangan.

Dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 29 ayat 1 adalah Perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua pihak atas persetujuan bersama pada waktu atau pada saat pernikahan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan mengenai kedudukan harta dalam pernikahan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Manfaat adanya Perjanjian pranikah tentunya untuk melindungi secara hukum harta bawaan masing-masing pihak (suami istri). Artinya perjajian dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan masalah rumah tangga yang terpaksa harus berakhir, baik karena perceraian atau pun kematian.

Manfaat kedua Perjanjian pranikah juga berguna untuk mengamankan aset dan kondisi ekonomi keluarga. Ketika hendak membuat perjanjian pranikah calon pasangan pengantin biasanya memandang bahwa pernikahan tidak hanya membentuk keluarga saja, namun ada sisi lain yang harus dimasukkan dalam poin-poin perjanjian. Tujuannya, tidak lain agar kepentingan mereka tetap terjaga.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sedangkan manfaat yang terakhir dari Perjanjian pranikah juga sangat bermanfaat bagi kepentingan kaum perempuan. Dengan adanya perjanjian pranikah maka hak-hak dan keadilan kaum perempuan (istri) dapat terlindungi. Perjanjian pranikah dapat dijadikan pegangan agar suami tidak memonopoli harta gono gini dan harta kekayaan pribadi istrinya. Disamping itu perjanjian tersebut dapat menjadi alat perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Sedangkan dalam hukum agama islam adanya perjanjian pranikah ini bisa sah jika ada Ijab kabul dalam sebuah perikatan dapat dilaksanakan dengan ucapan secara lisan atau tulisan. Menurut Wahbah Zuhaili, setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab dan kabul dipandang sah serta memiliki akibat hukum, yakni: pertama, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis perikatan atau perjanjian yang dikehendaki, kedua, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul, ketiga, yaitu tidak adanya keraguan antara ijab dan qabul, tidak berada di bawah tekanan, dan tidak sedang dalam keadaan terpaksa

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan mengenai relevansi perjanjian pranikah antara hukum negara dan hukum agama islam, keduanya masih saling berkaitan yang mengatur tentang perjanjian pada umumnya. Khususnya perjanjian pranikah yang merupakan hubungan hukum yang mengikat antara calon suami dan istri yang memuat butir-butir kesepakatan yang diajukan oleh para pihak yang berlaku sebagai undang-undang. Baik hukum negara maupun hukum agama islam memberikan landasan hukum yang cukup jelas untuk membuat perjanjian pranikah, mengatur batasan hal-hal yang boleh diperjanjikan dan mekanisme penyelesaian apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dikemudian hari.

Akan tetapi pertimbangan lain yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah dengan adanya korelasi antara hukum negara dan agama islam mengenai perjanjian pranikah tersebut, masih ada beberapa pihak yang ragu untuk melakukan perjanjian antara pasangan suami istri ini.

Salah satu alasannya adalah masih banyak terdapat kekurangan, selain pengaturan perjanjian kawin dalam UUP tidak selengkap KUH Perdata terdapat juga kekurangan lain, khususnya pasal yang mengatur tentang Perjanjian kawin. Itu tampak dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada ayat 4 dikatakan bahwa “perjanjian tidak dapat diubah kecuali atas persetujuan dari para pihak”.

Hal ini bisa membuat keluasan bagi para pihak bisa seenaknya dalam membuat perjanjian, karena jika diubah pada saat perkawinan sudah dilangsungkan maka bukan Perjanjian Pra Nikah lagi namanya dan hal tersebut bisa berpengaruh terhadap anak. Dan hal lain juga bahwa UUP masih menghidupkan dualisme hukum.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES