Kopi TIMES

Politik Identitas dan Demokrasi Berkualitas di Indonesia

Sabtu, 27 Mei 2023 - 11:10 | 217.11k
Dr. Sofiandi, Lc., M.H.I.; Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research Jakarta.
Dr. Sofiandi, Lc., M.H.I.; Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research Jakarta.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam beberapa waktu belakangan ini, jagat media daring maupun cetak di Indonesia kembali diramaikan oleh wacana politik identitas (identity politics). Perkembangan ini menimbulkan polemik mengenai apakah politik identitas seharusnya dijadikan "bahan dagang" di tengah kancah politik Indonesia.

Ada pihak yang berpendapat bahwa politik identitas merupakan alat yang efektif untuk memobilisasi massa dan memperoleh dukungan politik yang kuat. Mereka berpendapat bahwa dengan menekankan isu-isu identitas seperti agama, suku, atau daerah, partai politik dapat mengaitkan diri mereka dengan kelompok-kelompok tertentu dan menggugah emosi serta loyalitas politik yang tinggi. Ujung-ujungnya tentu jumlah suara. 

Advertisement

Di sisi lain, ada juga yang mengkritik politik identitas sebagai bentuk polarisasi yang merugikan. Mereka berpendapat bahwa politik identitas yang berfokus pada perbedaan dan konflik dapat memecah-belah masyarakat, menghalangi dialog dan kerjasama, serta mengabaikan isu-isu yang lebih mendasar seperti pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan. Polemik ini mencerminkan perdebatan yang mendalam tentang peran dan implikasi politik identitas dalam perpolitikan Indonesia. Penting untuk menganalisis dengan seksama dan obyektif untuk memahami bagaimana politik identitas dapat mempengaruhi dinamika politik, stabilitas sosial, dan kualitas demokrasi di Indonesia.

Tulisan ini diajukan dengan tujuan untuk merefleksikan kondisi demokrasi dan demokratisasi di Indonesia saat ini yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun pasca reformasi dicanangkan pada tahun 1998. Tonggak perubahan dan konsensus politik yang mencakup reformasi di semua bidang telah menghasilkan berbagai political output penting. Setidaknya jika membandingkan neraca era reformasi dengan neraca sebelumnya (rezim Orde Baru), benih-benih reformasi dan demokrasi berhasil menggiring sumber daya negara bergerak menuju babak baru di era keterbukaan dan transparansi dalam segala aspek bernegara bahkan dalam batas dan konteks tertentu, merupakan demokrasi yang terkonsolidasi.

Tidak dipungkiri lagi bahwa bangsa Indonesia sejak awal memang penuh dengan perbedaan. Indonesia adalah negara yang majemuk, dengan beragam suku, agama, budaya, dan bahasa. Inilah fakta sosial yang melekat dalam identitas bangsa ini, yang tidak bisa kita abaikan. Mengakui keberagaman ini adalah langkah penting dalam membangun solidaritas dan memperkuat persatuan di tengah masyarakat Indonesia.

Solidaritas yang kita gaungkan bukan berarti kita menjadi buta terhadap segala perbedaan yang ada. Sebaliknya, solidaritas yang sejati adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman sebagai kekayaan budaya dan sumber kekuatan bangsa. Dalam menghadapi perbedaan, solidaritas sejati membutuhkan bahkan menuntut kemampuan untuk menghormati, mendengarkan, dan memahami sudut pandang serta kepentingan setiap kelompok dan individu. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia, pernah mengatakan, "Keberagaman adalah kekayaan bangsa kita. Melalui keragaman, kita dapat belajar, saling memahami, dan bersatu dalam mencapai kemajuan bersama."

Maka,  mindset yang harus ditanam adalah bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk mencapai kesatuan dan kemajuan. Malah sebaliknya, perbedaan dapat menjadi sumber inspirasi, kreativitas, dan inovasi yang mendorong kemajuan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam membangun solidaritas, kita perlu membangun jembatan antara perbedaan, menjalin dialog yang inklusif, dan mencari titik temu dalam menghadapi tantangan bersama.

Selain itu, penting juga untuk memastikan bahwa kesetaraan dan keadilan dihormati dalam konteks keberagaman. Solidaritas yang kita bangun harus menghindari diskriminasi, penindasan, atau marginalisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu. Setiap warga negara Indonesia harus merasa dihargai, dilibatkan, dan diberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. "Solidaritas adalah prinsip yang mendorong kita untuk saling mendukung dan berbagi dalam kesukaran maupun kebahagiaan, sehingga kita bisa tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat yang kuat." - Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Presiden keempat Indonesia.

Dengan memahami dan menerapkan prinsip solidaritas yang inklusif dalam menghadapi perbedaan, kita dapat memperkuat persatuan dan memajukan bangsa Indonesia. Solidaritas bukanlah pembenaran untuk mengabaikan perbedaan, tetapi merupakan landasan untuk membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan berkelanjutan, di mana setiap individu dan kelompok dapat berkontribusi sepenuhnya sesuai dengan identitas, potensi, dan kebutuhan mereka. Persatuan yang kita jalin adalah anugerah terbesar bangsa Indonesia. Kita berharap persatuan bangsa tidak tergadaikan oleh kepentingan golongan manapun yang mengabaikan kepentingan bersama bangsa. Setidaknya, demikian yang dimaksudkan oleh Gus Dur tadi.

Dari sejumlah polemik terkait politik identitas di Indonesia, terdapat kesalahpahaman konseptual yang perlu diklarifikasi, antara lain: (1) Politik identitas bisa dimainkan oleh kelompok mayoritas, (2) Politik kebangsaan juga mengusung politik identitas, dan (3) Politik praktis sebenarnya juga merupakan politik identitas.

Jika kita menjadi pendukung penggunaan politik identitas secara salah dalam kontestasi politik di Indonesia, tampaknya kita sudah kehilangan hak untuk mengkritisi apa yang terjadi di tempat lain, seperti di Amerika Serikat. Ini bukanlah masalah tentang siapa yang kita dukung dalam konteks politik, tetapi lebih pada kepedulian terhadap potensi keterbelahan bangsa akibat politik identitas yang eksploitatif. Contoh-contoh dari beberapa negara dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang dampak politik identitas yang salah arah.

Di Amerika Serikat, politik identitas telah menjadi tema yang mendominasi dalam pemilihan presiden dan kampanye politik pada tahun-tahun terakhir. Dalam konteks ini, kelompok-kelompok politik menggalang dukungan berdasarkan identitas ras, agama, gender, atau orientasi seksual. Akibatnya, terjadi polarisasi yang tajam di antara pendukung masing-masing kandidat, dan terjadi keterbelahan dalam masyarakat. Politik identitas yang eksploitatif mengabaikan isu-isu yang lebih mendasar dan memperkuat pertentangan antar kelompok, mengancam persatuan sosial dan stabilitas politik negara.

Negara lain seperti India juga menghadapi tantangan serupa terkait politik identitas. Politik identitas berbasis agama, kasta, atau suku telah menjadi faktor dominan dalam proses politik di negara ini. Hal ini telah menyebabkan konflik sosial, ketegangan antarkelompok, dan memperlemah kohesi sosial. Ketika politik identitas menjadi alat untuk memenangkan kekuasaan, risiko terjadinya perpecahan dan merosotnya kualitas demokrasi menjadi sangat nyata.

Namun, tidak semua negara mengalami dampak negatif dari politik identitas. Di Kanada, misalnya, pemerintah dan masyarakat secara aktif mempromosikan politik identitas yang inklusif dan menghormati keberagaman. Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk menghargai dan merayakan perbedaan, sambil tetap mempertahankan kesatuan dan kohesi sosial. Hasilnya adalah sebuah negara yang relatif stabil secara politik dan sosial, di mana warga negara merasa dihargai dan diberikan kesempatan yang sama.

Contoh-contoh ini menggarisbawahi pentingnya memperhatikan dan mengkritisi penggunaan politik identitas yang salah arah dalam kontestasi politik di Indonesia. Mengutamakan kepedulian terhadap potensi keterbelahan dan konflik sosial sebagai akibat dari politik identitas yang eksploitatif adalah langkah penting untuk menjaga stabilitas dan kualitas demokrasi.

Indonesia dapat mengambil beberapa pelajaran penting dari contoh negara-negara yang telah disebutkan sebelumnya terkait politik identitas. Negara-negara seperti Kanada menunjukkan bahwa inklusi dan penghormatan terhadap keberagaman merupakan landasan yang kuat dalam membangun persatuan sosial dan stabilitas politik. Indonesia dapat mengambil contoh dalam membangun kerangka kerja yang inklusif yang menghormati keberagaman dan mengakui serta menghargai perbedaan identitas dalam masyarakat.

Selanjutnya, penting bagi Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara politik identitas dan isu-isu yang lebih mendasar seperti pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan. Politik identitas tidak boleh mengesampingkan isu-isu yang fundamental bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Oleh karena itu, polarisasi dan konflik sosial harus dicegah. Dampak negatif politik identitas yang eksploitatif seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan India dapat memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia. Pemerintah, partai politik, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mencegah polarisasi yang tajam antara kelompok-kelompok dan membangun dialog yang inklusif untuk mengatasi perbedaan yang ada.

Disinilah kemudian pentingnya kepemimpinan yang bertanggung jawab. Pemimpin politik memiliki peran penting dalam membentuk budaya politik yang inklusif dan mengedepankan persatuan dalam keberagaman. Pemimpin harus menjadi contoh dalam menghormati dan menghargai perbedaan serta mendorong kerjasama antar kelompok dalam mencapai tujuan bersama.

Bagaimanapun, kesadaran akan risiko politik identitas yang salah arah harus tetap menjadi alarm pengingat. Contoh-contoh negara-negara di atas mengingatkan Indonesia tentang risiko politik identitas yang salah arah. Kesadaran akan bahaya perpecahan dan keterbelahan dalam masyarakat harus memotivasi upaya yang lebih besar untuk mendorong politik identitas yang inklusif, yang memperkuat persatuan dan mempromosikan kerjasama antar kelompok. Dengan memahami dan menerapkan pelajaran ini, Indonesia dapat membangun landasan yang lebih kuat untuk menjaga stabilitas sosial, meningkatkan kualitas demokrasi, dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan sebagai bangsa yang majemuk.

Bangsa Indonesia sejak kelahirannya sudah kaya dengan perbedaaan. Indonesia adalah bangsa yang plural, ‘full of identity’. Ini adalah fakta sosial bangsa ini yang tidak bisa kita nafikan. Semangat persatuan yang kita gaungkan pun bukan berarti dibarengi dengan menutup mata dari semua perbedaan identitas yang ada. Persatuan yang selama kita kita rajut merupakan anugerah indah dari Yang Maha Megah untuk bangsa Indonesia. "Keragaman adalah karunia Tuhan. Jangan biarkan perbedaan memecah belah kita, melainkan jadikanlah sebagai kekuatan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan di dalam masyarakat." – Gus Dur. Semoga jangan sampai persatuan bangsa itu tergadaikan untuk kepentingan kelompok manapun yang mengabaikan kebaikan bersama sebagai sebuah bangsa.

***

 

*) Oleh: Dr. Sofiandi, Lc., M.H.I.; Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research Jakarta, IRDAK Institute of Singapore, Asia-Pacific Journal on Religion and Society, Institute for Southeast Asian Islamic Studies, Islamic Linkage for Southeast Asia, Dosen IAI Arrisalah, Anggota Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Badan Koordinasi Muballigh Indonesia Prov. Kepri, Anggota ICMI Prov. Kepri, Pemimpin Redaksi ACADEMICS TV, Direktur Swara Akademika Indonesia Foundation.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES