Belenggu Modern Slavery dan Akar Kolonialisme Abad Silam
TIMESINDONESIA, SUMATERA – Perbudakan masih terus berlangsung di era kita saat ini, meskipun wajahnya mungkin berubah dari masa lalu. Fenomena modern slavery, istilah yang mencakup berbagai bentuk perbudakan, terus menyelimuti kehidupan kita. Di Indonesia, kelas pekerja sering kali mengistilahkan dirinya sebagai budak korporat.
Sederhananya, modern slavery adalah kondisi ketika seseorang dieksploitasi demi keuntungan pribadi atau komersial oleh orang lain dan mereka terjebak dalam sistem kerja modern. Mereka mungkin tertipu, dipaksa, atau hidup dalam ancaman yang merampas hak-hak kebebasan dasar mereka. Modern slavery juga mencakup perdagangan manusia, kerja paksa, dan jeratan hutang kerja yang mengorbankan banyak nyawa.
Advertisement
Organisasi Anti-Slavery International sebenarnya telah berkomitmen untuk memberantas perbudakan dan memperjuangkan kebebasan bagi setiap individu di seluruh dunia.
Namun, modern slavery terselubung aman di sekeliling kita, bahkan dalam hal-hal yang tampak sepele. Di industri pakaian, sektor pangan, pertanian, pabrik, hingga pekerjaan rumah tangga sebagai koki, pembersih, atau pengasuh anak, terdapat korban perbudakan yang menderita di balik layar.
Fakta-fakta yang terungkap dalam Global Estimates of Modern Slavery (2022) oleh Walk Free, International Labour Organization, dan International Organization for Migration, menggambarkan skala masalah ini yang mengkhawatirkan. Hampir 50 juta orang hidup dalam modern slavery, dengan seperempat dari mereka adalah anak-anak yang rentan. Pernikahan paksa, kerja paksa, dan eksploitasi oleh pihak berwenang menghantui jutaan orang, sementara pandemi Covid-19 telah memperburuk kondisi yang memicu perbudakan.
Pekerja migran merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap kerja paksa, mencerminkan ketidakadilan yang terus berlanjut dalam sistem global. Modern slavery adalah serangan terhadap hak asasi manusia yang membutuhkan perhatian dan tindakan kolektif dari kita semua.
Melepaskan Diri dari Bayang-bayang Modern Slavery
Modern slavery telah menjalar dengan berbagai wujud. Namun, di balik keberagaman itu, satu kenyataan terungkap: perbudakan masih hidup di zaman kita yang disebut modern. Berbagai bentuk perbudakan ini mengungkapkan tantangan kompleks yang harus kita hadapi.
Perdagangan manusia, kerja paksa, dan hutang kerja merajalela di seluruh dunia. Orang-orang terperangkap dalam siksaan, ancaman, dan pemaksaan demi kepentingan orang lain. Bahkan, hutang telah menjadi senjata kuasa yang meluas, memaksa mereka yang hidup dalam kemiskinan menjadi budak pekerjaan yang tak manusiawi. Kini, bayangan itu juga muncul dalam pinjaman online (pinjol) yang marak.
Kita harus menyadari bahwa modern slavery tak hanya terbatas pada sektor tertentu, melainkan merayap ke segala lapisan masyarakat. Pekerjaan domestik, meskipun sering diatur dengan baik, masih membawa risiko penyalahgunaan dan eksploitasi. Tidak boleh ada celah lagi bagi perbudakan untuk mengintip ke dalam rumah kita.
Untuk menghentikan modern slavery, diperlukan peningkatan kesadaran publik, penguatan hukum, dan perlindungan bagi para korban, serta keterlibatan komunitas global dalam menangani akar masalah ini. Bersama-sama, kita harus bersatu untuk menciptakan dunia di mana setiap individu, di mana pun mereka berada, dapat hidup dalam kebebasan yang layak dan bebas dari rasa takut menjadi korban perbudakan. Hanya melalui tindakan kolektif, kita dapat mengakhiri modern slavery dan menuju masa depan yang lebih manusiawi dan adil.
Meneropong Sejarah Perbudakan dan Perdagangan Budak di Daerah Jajahan Belanda
Dalam perjalanan sejarah, Belanda tak luput dari peranan kelam dalam perbudakan dan perdagangan budak di kawasan Samudera Hindia. Markus Vink dalam artikelnya "The World's Oldest Trade: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century" di Journal of World History menyebut perdagangan budak di kawasan Trans-Atlantik dan Samudera Hindia merupakan yang tertua pada era kolonialisme dan imperialisme. dan Terutama di daerah jajahannya seperti Nederlands-Indië (Hindia Belanda), praktik ini menemukan wadah untuk tumbuh dan berkembang.
Melalui tulisan ini, kita mencoba memahami lebih dalam tentang berbagai bentuk slavernij (perbudakan) dan slavenhandel (perdagangan budak) yang terjadi dalam kekuasaan Belanda dan VOC di wilayah jajahannya.
Pengertian slavernij, pada umumnya, merujuk pada sistem di mana seseorang terjebak sebagai budak dan kebebasan serta hak-haknya dirampas oleh tuannya. Namun, dalam konteks Hindia Belanda, perbudakan tidak hanya terjalin dalam bentuk yang kaku seperti itu, melainkan lahir dalam beragam bentuk, seperti dwangarbeid (kerja paksa), pandelingschap (hutang kerja), herendiensten (pelayanan kewajiban), perkhorigen (pekerja paksa di perkebunan), Afrikaanse rekruten (tantara rekrutan dari Afrika), serta zeeroverij dan mensenroof (pembajakan dan perampokan manusia).
Salah satu bentuk perbudakan yang umum di Hindia Belanda adalah pandelingen, yaitu "budak utang" yang terbelenggu oleh utang pada seorang tuan tanah atau pemberi pinjaman. Mereka dipaksa bekerja sebagai pembayaran utang tersebut. Meski pandelingen tidak diakui sebagai budak oleh penguasa lokal, pemerintah Belanda menetapkannya sebagai budak dalam klasifikasi mereka.
Herendiensten merupakan bentuk perbudakan di mana penduduk setempat dipaksa oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melayani bangsawan atau raja. Tugas-tugas seperti bertani atau merawat jalan menjadi kewajiban mereka. Hal serupa berlaku pula dalam dwangarbeid (kerja paksa) dan pekerja paksa di Hindia Belanda.
Perkhorigen adalah pekerja paksa yang ditempatkan di perkebunan di Kepulauan Banda. Mereka diangkut dari pulau-pulau lain di Indonesia dan dipaksa bekerja di perkebunan-perkebunan tersebut, salah satunya perkebunan pala.
Kisah yang menarik terjadi saat Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) merekrut tentara dari Guinea, di mana banyak di antaranya awalnya menjadi budak di tangan penguasa lokal Afrika. Tentara-tentara itu, gajinya sebagian ditahan untuk melunasi utang pembebasan. Tak hanya itu, zeeroverij dan mensenroof turut memainkan peran penting dalam perdagangan budak.
Serangan bajak laut di perairan, termasuk penculikan manusia di pulau-pulau, mengakibatkan penderitaan dan penjualan sebagai budak kepada penguasa lokal. Meski jumlah budak di Hindia Belanda tak sebesar negara kolonial lainnya, kehadiran dan dampaknya tetap signifikan.
Sebenarnya, di Belanda sendiri praktik perbudakan menuai kontroversi berkepanjangan. Sampai pada tahun 1859, Parlemen Tweede Kamer Belanda menyetujui undang-undang penghapusan perbudakan di Hindia Belanda dengan perbandingan suara 48 banding 10.
Meskipun di atas kertas undang-undang ini diberlakukan pada 1 Januari 1860, perbudakan hanya berakhir di wilayah yang diperintah secara sentral seperti Jawa dan Madura, dan berangsur-angsur untuk wilayah lainnya. Pembebasan ini dilakukan setelah pembayaran ganti rugi sekitar 30 hingga 60 gulden oleh pemerintah kolonial kepada pemilik budak.
Di daerah jajahan Belanda yang luas dan rumit ini, perbudakan memiliki tradisi yang panjang. Budak digunakan dalam berbagai situasi dan pasar budak yang ramai. Memang sejak empat abad silam, budak adalah komoditas yang laku untuk diperjualbelikan, terutama di kawasan Samudera Hindia.
Hal ini juga membuat perbudakan di Hindia Timur kurang terdefinisi dan terlihat dibandingkan dengan koloni-koloni Belanda di Hindia Barat seperti Suriname, Guyana, dan Curaçao, di mana budak dari Afrika diimpor dan bekerja di perkebunan yang dimiliki oleh orang Eropa.
Kekejaman praktik perbudakan dan perdagangan budak di daerah bekas jajahan Belanda semestinya tak terlupakan dalam sejarah. Sayangnya, cerita tentang perbudakan dan perdagangan budak di daerah jajahan Belanda masih sering terlupakan dalam narasi sejarah yang lebih umum.
Pengakuan terhadap peran Belanda dalam praktik ini penting dalam upaya memahami warisan sejarah dan merangkul masa lalu dengan jujur. Hal ini juga mengingatkan kita tentang perlunya penghapusan perbudakan dan pekerja sama global dalam memerangi segala bentuk eksploitasi manusia.
***
*) Oleh: Ahmad Muhajir, M.Hum, Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
_______
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |