Kopi TIMES

Drama Cawapres; Dari Kalkulasi Politik dan Saling Tunggu

Sabtu, 10 Juni 2023 - 17:39 | 180.66k
Moh. Syaeful Bahar.
Moh. Syaeful Bahar.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Rabu, 14 Februari 2024, Pemilihan Umum Presiden Indonesia akan digelar. Artinya, tidak sampai delapan bulan ke depan rakyat Indonesia akan memilih pasangan presiden dan wakil presiden mereka. Menariknya, hingga sekarang pasangan Capres dan Cawapres belum satupun solid dan diumumkan. Ketiga Capres, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto belum menentukan siapa yang akan mendampinginya dalam running Pilpres 2024. Berbagai spekulasi bermunculan, berbagai analisis bertubi-tubi disampaikan bahkan berbagai prediksi telah dipaparkan. Namun, semua prediksi, spekulasi dan analisis tersebut tetaplah misteri dan teka-teki politik yang tak bisa dibaca dengan kaca mata sederhana. Semuanya sebatas pembacaan dari para penonton yang berada di luar gelanggang politik sebenarnya. Karena, sejatinya, realitas politik hanya diketahui oleh para elit partai, para king maker pemegang veto decision  di partai.

Tulisan ini hanya ingin menambah ramainya misteri, hiruk pikuk dan teka-teki Cawapres pendamping ketiga calon presiden di atas. Saya dengan sengaja memilih kata “menambah ramai”, karena analisis yang akan saya sampaikan hanyalah sebatas prediksi, nubuat yang dibuat oleh pemirsa, bukan realitas sebagaimana versi yang dibuat oleh para aktor di lapangan. Meskipun, prediksi atau nubuat ini tetap menyisakan kemungkinan “benar” atau mendekati “benar” atas realitas politik yang sedang terjadi.

Advertisement

Kalkulasi Politik Capres

Ketiga Capres yang telah muncul tak akan maju untuk kalah, mereka bersama tim suksesnya akan berusaha keras untuk keluar sebagai pemenang di Pilpres 2024. Sebab itu pula, kalkulasi politik yang mereka lakukan, dilakukan dengan hati-hati, seksama,  cermat dan berdasarkan data yang rasional dan valid. Para Capres tersebut terus membaca peluang, membaca celah untuk menambah ceruk pemilih atau membuat ceruk pemilih baru untuk menambah besar peluang menang. Memilih Cawapres yang tepat adalah salah satu kalkulasi terpenting. Memilih Cawapres harus mempertimbangkan berbagai hal, misalnya kombinasi kekuatan politik. Nasionalis-religius, Jawa-luar Jawa, politisi-teknokrat hingga kombinasi militer-sipil akan selalu menyertai semua kalkulasi politik para Capres. Pertimbangan basis pemilih atas ikatan primordial tertentu, seperti agama, suku dan organisasi juga menjadi variable yang diperhitungkan.

Para elit partai, terutama partai pengusung Capres, seperti Nasdem, PDI-P dan Gerindra terus melakukan komunikasi politik dengan semua kekuatan politik yang ada, terutama para elit partai lain. Komunikasi politik ini merupakan ikhtiar untuk memperkuat kalkulasi politik yang telah dilakukan. Misal, komunikasi politik Anies Baswedan ke tokoh-tokoh Jawa Timur adalah merupakan upaya untuk meningkatkan akseptabilitas dan elektabilitasnya di Jawa Timur. Penyebutan nama Khofifah oleh para king maker di belakang Anies Baswedan, seperti yang telah dilakukan oleh Yusuf Kalla, adalah upaya framing serta pesan dalam bentuk “lamaran” yang dilakukan oleh Anies Baswedan untuk Khofifah. Tak ada tujuan lain selain memperbaiki basis suara Anies Baswedan yang jelas secara kasat mata tak kuat di Jawa Timur.  Dalam hitungan saya, jika tak menggandeng kader NU, terutama Khofifah, Anies Baswedan akan kalah telak di Jawa Timur. Anies Baswedan hanya berpeluang menang di beberapa kabupaten saja, misalnya di Pamekasan, selebihnya, dia akan menjadi sulit menembus kantong-kantong NU di Jawa Timur. Apalagi, stuktur NU, baik di PBNU maupun di PWNU serta PC NU se Jawa Timur nampak tak respek dengan isu-isu politik identitas yang sering diusung oleh Anies Baswedan. Maka, tanpa menggandeng kader NU sebagai Cawapresnya, hampir bisa dipastikan, Anies Baswedan akan gagal di Jawa Timur.

Dilema Anies Baswedan semakin sulit karena di saat yang sama, Demokrat terus mendesak Anies Baswedan untuk memilih AHY sebagai Cawapresnya. Tuntutan Demokrat adalah hal lumrah. Dukungan Demokrat pada pencapresan Anies Baswedan bukan pepesan kosong. Suara Demokrat di Pilleg 2019 meyakinkan, 7.77 persen, hanya terpaut sedikit dari suara Nasdem, 9.05 persen. Maka tak heran, jika Demokrat mematok posisi Cawapres bagi AHY pada Anies Baswedan, ditambah lagi, elektabilitas AHY di tingkat nasional sebagai Cawapres patut diperhitungkan, bahkan lebih baik dibandingkan dari Cawapres yang dikehendaki para king maker di belakang Anies Baswedan, semisal Khofifah.  

Tanpa menempatkan AHY dan Demokrat sebagai bagian utama dalam running Pilpres 2024, Anies Baswedan terancam gagal berangkat. Apalagi, terbaru, Puan Maharani, atas nama putri mahkota di PDIP menyebutkan AHY sebagai salah satu Cawapres potensial yang dapat mendampingi Ganjar Pranowo. Kegamangan Anies baswedan semakin kuat, satu sisi,  tanpa memilih kader NU sebagai Cawapres dia akan sulit melampui suara Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto yang lebih popular di warga NU, namun sisi lain, tanpa AHY dia bisa gagal berangkat, karena ancaman AHY lebih riel dan lebih kongkrit, yaitu hengkang dari koalisi perubahan, dan itu artinya, Anies Baswedan akan gagal berangkat dalam kontestasi Pilpres 2024.

Dilema politik juga terjadi pada Prabowo Subianto. Prabowo nampak gamang dan kesulitan menentukan Cawapresnya. Tentu Prabowo Subianto tak ingin kalah di Pilres untuk keempat kalinya. Tiga kali kegagalan dalam Pilpres tentu menjadi pelajaran penting bagi Prabowo Subianto. Prabowo Subianto dan Gerindra tak boleh salah kalkulasi. Mereka harus cermat dan titis  dalam menghitung siapa Cawapres yang tepat. Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang digawangi oleh Gerindra dan PKB dan memberikan mandat kepada Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar untuk menentukan siapa Cawapres yang mendampingi Prabowo Subianto masih belum ada kata sepakat. Adalah salah satu bukti kegamangan sekaigus kehati-hatian Prabowo Subianto. Tekanan dari para kiai PKB dan elit PKB pada Prabowo Subianto untuk segera memilih Muhaimin Iskandar sebagai Cawapresnya belum juga ditanggapi dengan kata “iya” oleh Prabowo Subianto.

Satu sisi, tanpa PKB maka Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya  terancam akan bubar, dan itu artinya, jika tidak ada partai lain yang merapat pada Prabowo Subianto, maka Prabowo Subianto tak akan bisa maju dalam Pilpres 2024. Selain itu, tanpa PKB, Prabowo Subianto akan kesulitan mendapatkan dukungan dari para kiai NU yang secara jelas-jelas telah memberikan dukungan pada PKB dan Muhaimin Iskandar. Kekuatan historis yang dimiliki oleh PKB, yaitu satu-satunya partai yang kelahirannya dibidani secara resmi oleh PBNU adalah modal besar PKB sebagai daya tawar pada Prabowo Subianto. Berikut juga, realitas Muhaimin Iskandar sebagai salah seorang cucu dari KH. Bisri Syamsuri, adalah magnet Muhaimin Iskandar di tengah-tengah pemilih NU. Saya kira dalam konteks ini, belum ada Cawapres yang memiliki nasab sebagus Muhaimin Iskandar pada pendiri NU. Jikapun ada Cawapres dari kader NU, semisal Mahfud MD, Khofifah, Erick Tohir dan Nasaruddin Umar, tapi keempatnya tidak memiliki nasab pada para pendiri NU.  

Tapi, memilih Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres dengan dalih ikatan historis PKB-NU atau karena garis nasab Muhaimin Iskandar pada KH. Bisri Syamsuri tanpa mempertimbangkan elektabilitas Muhaimin Iskandar di tingkat nasional juga adalah merupakan sebuah resiko yang harus diperhitungkan. Saya kira, Prabowo Subianto membaca resiko ini. Terkecuali, Prabowo hanya butuh suara NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah maka, memilih Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres cukuplah rasional. Sebagaimana survei PolMark, elektabilitas Muhaimin Iskandar di Jawa Timur berada di posisi ketiga setelah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Ganjar Pranowo juga mengalami nasib yang tak jaun berbeda, meskipun memiliki independensi politik yang lebih baik dibandingkan Anies Baswedan dan Prabowo Subianto karena telah memiliki golden ticket untuk melaju di Pilpres 2024, namun  kesalahan kalkulasi politik juga bisa berakibat fatal. Bisa jadi, problem komunikasi di internal partai koalisi, sebagaimana yang di alami oleh Anies Baswedan dan Prabowo Subianto tak terjadi pada Ganjar Pranowo, namun bayang-bayang ‘konflik’ dua penguasa di internal PDIP sangat mungkin akan jadi ganjalan bagi Ganjar Pranowo. Hubungan Jokowi dan Megawati yang turun naik, merupakan teka-teki politik yang tak mudah dibaca. Jika Ganjar Pranowo terlalu condong pada Megawati, maka kelompok Jokowi sangat mungkin akan menjaga jarak atau bahkan menjauh dari Ganjar Pranowo. Berikut pula jika Ganjar Pranowo terlalu mendekat pada Jokowi, sangat mungkin akan melahirkan kekecewaan di basis pemilih PDIP karena dianggap tidak solid pada ketua umum.

Belum terisinya posisi Cawapres Ganjar Pranowo pasti ada kaitan dengan hal ini. Kepada siapa Ganjar Pranowo lebih condong, Cawapres yang ditentukan oleh Megawati atau cawapres yang dipilih oleh Jokowi. Meskipun problem Cawapres Ganjar Pranowo nampak lebih sederhana dibandingkan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, namun resiko yang harus dihitung oleh Ganjar pranowo juga rumit, jlimet dan mengandung resiko politik yang serius.

Menunggu Lempengan Politik Bergerak

Hal lain yang harus dibaca adalah akselerasi para elit partai dan Capres dalam komunikasi politik. Akselerasi dalam komunikasi-komunikasi politik para elit partai tak ubahnya lempengan yang saling terhubung. Jika satu lempengan bergerak, maka lempengan lain akan menyusul bergerak. Pergerakan lempengan politik ini tak akan berhenti hingga pencalonan Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan. Semua Capres saling intip untuk saling mengawasi pergerakan kompetitornya. Mereka terus menjaga kewaspadaan. Karena sekali salah menghitung pergerakan lawan, maka seorang Capres bisa terkunci mati dalam pertarungan berikutnya. Saya kira, semua Capres tidak segera menentukan Cawapres juga karena alasan lempengan politik ini. Mereka sedang menunggu pergerakan lempengan politik ini. Sampai kapan? Sampai para king maker dan semua tim Capres telah selesai membuat kalkulasi politiknya. Yang pasti, hingga tanggal 19 Oktober 2023, saling intip dan saling goda antar Capres akan terus berlanjut. Sebagai pentonton, mari kita nikmati tarian politik para Capres ini. Kita bisa main tebak-tebakan, kerja politik mana yang hanya sekadar gimik politik dan mana yang tulus dan merupakan realitas kerja politik atas dasar kebutuhan para Capres. (*)

***

*) Penulis: Moh. Syaeful Bahar

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES